Hariani Santiko
Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

PUJA CARU PADA MASYARAKAT JAWA KUNA Santiko, Hariani
Paramita: Historical Studies Journal Vol 21, No 2 (2011)
Publisher : Paramita: Historical Studies Journal

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The offering known as caru or macaru is still done in Bali. This macaru in Bali is actually blood sacrifice offered to the lords of the demonds (bebutan or butabala) before the Balinese doing a special ritual for instance the Nyepi ceremony. The most important caru is called “caru mancasanak”, they sacrifice animals and other ingredients. The word caru is known in Old-Javanese inscriptions and Old-Javanese/Middle-Javanese texts among others are the Adiparwa, Rāmāyana, Sutasoma, Korawasrama, Calon Arang. However no special explanation on the meaning of the word caru and its rituals.   Keywords: pūjā caru, ambhūtayajña, buburpēhan, pindapitryājña, kunda, homayajña, skul-dinyun.   Korban yang dikenal sebagai caru atau macaru masih dilakukan di Bali. Hal ini macaru di Bali sebenarnya darah pengorbanan yang ditawarkan kepada raja butha (bebutan atau butabala) sebelum Bali melakukan ritual khusus misalnya upacara Nyepi. Yang paling penting adalah caru disebut "caru mancasanak", mereka mengorbankan hewan dan bahan lainnya. Kata caru dikenal di prasasti Jawa kuno dan karya sastra Jawa Kuno/Jawa Tengah antara lain adalah Adiparwa, Ramayana, Sutasoma, Korawasrama, Calon Arang. Namun tidak ada penjelasan khusus arti kata caru dan ritualnya. kata kunci: pūjā caru, ambhūtayajña, buburpēhan, pindapitryājña, Kunda, homayajña, skul-dinyun.  
Candi Panataran: Candi Kerajaan Masa Majapahit. Santiko, Hariani
KALPATARU Vol 21, No 1 (2012)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (343.689 KB) | DOI: 10.24832/kpt.v21i1.103

Abstract

Candi Panataran adalah candi kerajaan (State Temple) Kerajaan Majapahit, didirikan di sebuah tanah yang berpotensi sakral karena di tempat itu terdapat prasasti Palah dari jaman Kadiri, berisi tentang pemujaan Bhatara ri Palah. Berdasarkan angka tahun yang ditemukan di kompleks candi, setidaknya Candi Panataran dipakai sejak pemerintahan Raja Jayanagara hingga Ratu Suhita. Pada jaman Majapahit, Candi Panataran adalah candi untuk memuja Paramasiwa yang disebut dengan berbagai nama, tattwa tertinggi dalam agama Siwasiddhanta. Bahkan ada kemungkinan sebuah Kadewaguruan (tempat pendidikan agama) dibangun di sekitar kompleks candi, tetapi dimana kepastian letaknya, belum jelas. Candi Panataran adalah “pusat spiritual” kerajaan Majapahit. Abstract. Panataran Temple was a state temple of the Majapahit Kingdom, which was built on a piece of land that had the potency to be sacred because there was an inscription, the Palah inscription, from the Kadiri period. The inscription is about devotion to Bhatara ri Palah. Based on a date found within the temple complex, it is assumed that at least the Panataran Temple was functioned since the reigning periods of King Jayanagara until Queen Suhita. During the Majapahit period, the Panataran Temple was a temple dedicated to Paramasiwa, who was known by various names, the highest tattwa in Siwasiddhanta religion. In fact, there is a possibility that a Kadewaguruan (centre of religious teachings) was built around the temple complex, but the exact location is yet to be found. The Panataran Temple was the “spiritual centre” of the Majapahit Kingdom.
The Structure of Stupas at Muara Jambi. Santiko, Hariani
KALPATARU Vol 23, No 2 (2014)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1395.069 KB) | DOI: 10.24832/kpt.v23i2.58

Abstract

Struktur Stūpa di Muara Jambi. Di Muara Jambi dan sekitarnya terdapat tinggalan arkeologi berupa bangunan-bangunan sakral, di antaranya Candi Gumpung, Candi Tinggi, Candi Gedong I dan II, Candi Kedaton, dan Candi Astano yang dibuat dari bata. Tinggalan tersebut bersifat agama Buddha, karena banyak terdapat sisa-sisa bata dengan inskripsi “bija-mantra”, gambar-gambar bunga padmā, dan beberapa patung. Struktur bangunan-bangunan khususnya candi induk pada umumnya berdenah segiempat, dengan perpanjangan ke arah timur atau utara, perkecualian terdapat pada Candi Gumpung. Di atas candi induk tersebut kemungkinan diletakkan sebuah stūpa besar seperti Candi Tinggi. Struktur bangunan stūpa semacam itu dikenal sebagai “terrace-stūpa” yang pertama kali didapati di daerah Gandara pada masa pra-Kushana. Candi Gumpung berdenah hampir bujursangkar, tanpa tangga dan tanpa ruang dalam (garbhagŗha). Boechari pada tahun 1985 membaca inskripsi sebagai peripih candi dan berpendapat bahwa peripih berupa susunan dewa-dewa dalam Vajradhātu-maṇḍala, berarti Candi Gumpung bersifat agama Buddha Vajrayāna. Dengan demikian menurut penulis struktur pertama Candi Gumpung hanya berupa lapik dengan 5 buah stūpa di atasnya yang menggambarkan susunan Vajradhātu- maṇḍala. Dari berbagai data yang dilaporkan dan perbandingan dengan sisa-sisa bangunan di Muara Takus dan Biaro Bahal, penulis perkirakan bahwa tinggalan arkeologi di Muara Jambi adalah sisa-sisa bangunan stūpa, khususnya dalam bentuk “terrace-stūpa”. Abstract. In the vicinity of Muara Jambi are found a lot of archaeological remains, among others a group of brick monuments believed to date from the 9th to 13th Century AD, among others are Candi Tinggi, Candi Gumpung, Candi Gedong I and II, Candi Kedaton, Candi Astano. These monuments are Buddhist, because the majority of the finds in this area are Buddhist statues, many bricks with “bija mantra” inscriptions and drawing such as padmā motives on them. The structures of the main temple, except Candi Gumpung, are generally square in plan with projecting portico on the east or north, and terrace platform that may well served for the enthronement of the big stūpa like the one at Candi Tinggi. The type of this stūpa structure is called the terrace- stūpa, known for the first time in the Gandhāran regions from pre-Kushana period. In Indonesia terrace-stūpas are found at Muara Takus (Candi Tua) and also candi Borobudur in Central Jawa. Candi Gumpung has different structure, a square ground plan measuring 18 x 18 metres without any trace of an inner-room (garbhagŗha). Boechari in 1985 read the inscriptions found in the deposit boxes found inside the temple floor. He recognized the plan of Vajradhātu-maṇḍala found in the base of candi Gumpung. It means that candi Gumpung is a Vajrayāna temple and it embodies the maṇḍala of the five Tathāgath as with Wairocana in the centre. So I assume that the first candi Gumpung in the 9-10th Century was a square platform with five stūpas on it to form the Vajradhātu-maṇḍala. By studying the archaeological data from Muara Jambi and comparing them with the monuments from Muara Takus and Biaro Bahal, I consider the remains of brick monuments at Muara Jambi belonged to stūpas, especially the terrace-stūpas.
PUJA CARU PADA MASYARAKAT JAWA KUNA Santiko, Hariani
Paramita: Historical Studies Journal Vol 21, No 2 (2011)
Publisher : History Department, Semarang State University and Historian Society of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/paramita.v21i2.1034

Abstract

The offering known as caru or macaru is still done in Bali. This macaru in Bali is actually blood sacrifice offered to the lords of the demonds (bebutan or butabala) before the Balinese doing a special ritual for instance the Nyepi ceremony. The most important caru is called “caru mancasanak”, they sacrifice animals and other ingredients. The word caru is known in Old-Javanese inscriptions and Old-Javanese/Middle-Javanese texts among others are the Adiparwa, Rāmāyana, Sutasoma, Korawasrama, Calon Arang. However no special explanation on the meaning of the word caru and its rituals.   Keywords: pÅ«jā caru, ambhÅ«tayajña, buburpÄ“han, pindapitryājña, kunda, homayajña, skul-dinyun.   Korban yang dikenal sebagai caru atau macaru masih dilakukan di Bali. Hal ini macaru di Bali sebenarnya darah pengorbanan yang ditawarkan kepada raja butha (bebutan atau butabala) sebelum Bali melakukan ritual khusus misalnya upacara Nyepi. Yang paling penting adalah caru disebut "caru mancasanak", mereka mengorbankan hewan dan bahan lainnya. Kata caru dikenal di prasasti Jawa kuno dan karya sastra Jawa Kuno/Jawa Tengah antara lain adalah Adiparwa, Ramayana, Sutasoma, Korawasrama, Calon Arang. Namun tidak ada penjelasan khusus arti kata caru dan ritualnya. kata kunci: pÅ«jā caru, ambhÅ«tayajña, buburpÄ“han, pindapitryājña, Kunda, homayajña, skul-dinyun. ÂÂ