Suherman Banon Atmaja
Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

KETIDAKSTABILAN BESARAN STOK IKAN DARI MODEL PRODUKSI SURPLUS Suherman Banon Atmaja
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol 13, No 1 (2007): (April 2007)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, BRSDM KP.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (146.206 KB) | DOI: 10.15578/jppi.13.1.2007.1-11

Abstract

Selama ini, kerangka pengelolaan sumber daya ikan berdasarkan pada titik acuan nilai potensi dan kriteria maksimum (maximum sustainable yield), mengabaikan laju pertumbuhan stok ikan dan tanpa memperhatikan dinamika perikanan yang terjadi. Dari kombinasi data yang tersedia diperoleh hasil besaran nilai stok ikan yang bersifat dinamis, akibat perubahan yang terjadi pada parameter–parameter model produksi surplus. Tingkat maximum sustainable yield menunjukkan CMSY darimetode Gompertz lebih tinggi dibandingkan dengan metode logistik, sebaliknya tingkat EMSY lebih rendah dibandingkan dengan metode logistik. Konsekuensi perbedaan tersebut menghasilkan tingkat BMSY dan tercapai puncak titik jenuh dari perikanan pukat cincin berbeda, untuk metode Gompertz (37% dari biomassa awal) terjadi pada kurun waktu tahun 1978 sampai dengan 1981, sedangkan untuk metode logistik (50% dari biomassa awal) terjadi pada kurun waktu tahun 1990 sampai dengan 1992. Kondisi trend biomassa menunjukkan penurunan biomassa berkisar 92 sampai dengan 96,5% dari biomassa awal untuk metode Gompertz, sedangkan untuk metode logistik berkisar 70 sampai dengan 93%. Tampak perkembangan perikanan pukat cincin catch effort mengikuti fungsi pertumbuhan logistik daripada fungsi pertumbuhan Gompertz. Bagaimanapun, penyusutan stok ikan pelagis didukung oleh trend hasil tangkapan yang menurun, sedangkan hari operasi cenderung meningkat. During the time, framework of fisheries resources management was based on reference point of potency value and criteria (maximum sustainable yield), while net growth of fish stock and fisheries dynamics have been ignored. From data combination available obtaining result of size of fish stocks was dynamic due to change of parameters of surplus production. The Level maximum sustainable yield showes that CMSY method of Gompertz was higher than logistics method, on the contrary EMSY compared to lower than logistics method. Consequently, these results were obtained the level of BMSY (biomass at level maximum sustainable yield) and the peaks of exploitation from purse seine fishery were also diffrent, for Gompertz method revealed that the level of BMSY (37% from initially biomass) occurred in the period of 1978 to 1981, while logistics method (50% from initially biomass) occurred in the period of 1990 to 1992. Trend biomass in state of decline reached 92 to 96,5% from intially biomass for Gompertz method, while for the method of logistics reached 70 to 93% from intially biomass. Seems that the development of purse seine fisheries (catch effort) followed function growth logistics rather than the function growth Gompertz. However, the decrease of fish stock pelagic supported by the catch of pelagic fish showed a declining trend, while fishing days have tend to increase.
PERUBAHAN UPAYA DAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS KECIL DI SEKITAR LAUT JAWA: KAJIAN PASKA KOLAPS PERIKANAN PUKAT CINCIN BESAR Suwarso Suwarso; Wudianto Wudianto; Suherman Banon Atmaja
BAWAL Widya Riset Perikanan Tangkap Vol 2, No 1 (2008): (April 2008)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, BRSDM KP.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1175.775 KB) | DOI: 10.15578/bawal.2.1.2008.17-26

Abstract

Penyusutan stok (biomassa) ikan pelagis di Laut Jawa dan Selat Makassar akibat peningkatan kapasitas penangkapan yang tak terkontrol diduga menjadi sumber penyebab penurunan produktivitas pukat cincin yang berlangsung secara simultan sejak tahun 1995 sampai dengan sekarang (tahun 2006), serta memberikan hasil tangkapan semakin rendah dan tidak menguntungkan. Kajian tentang perubahan upaya dan hasil tangkapan ikan pelagis pasca collaps perikanan pukat cincin inididasarkan pada data hasil tangkapan (per spesies) dan upaya (jumlah trip, hari laut) kapal pukat cincin yang mendarat di Pekalongan dan Juwana kurun waktu tahun 1999 sampai dengan 2006. Hasil menunjukkan jumlah kapal aktif berkurang, karena sejumlah kapal tidak lagi dapat beroperasi (bangkrut), sedang kapal yang beroperasi nampak tidak efisien yang terlihat dari jumlah hari laut yang semakin lama, jumlah trip per kapal juga makin menurun. Tidak ada lagi perluasan daerah penangkapan baru karena perluasan telah mencapai maksimum pada tahun 1996. Selain itu, dalam usaha merespon ketidakseimbangan antara hasil yang diperoleh dengan tinggi biaya eksploitasi,beberapa kelompok usaha perikanan bermodal kuat juga melakukan ekspansi (relokasi) daerah penangkapan baru di luar perairan Laut Jawa dan Selat Makassar; transhipment di laut dimungkinkan banyak dilakukan. Penurunan laju tangkap terjadi di hampir seluruh daerah penangkapan, disertai dengan pergeseran komposisi spesies terutama di Jawa bagian timur (Matasirih) dan Selat Makassar. Terutama pada puncak musim hasil tangkapan (musim peralihan antara bulan September sampai dengan Nopember), kategori layang (Decapterus spp.) yang dalam keadaan normal dominan keberadaan tergeser oleh muncul spesies baru, yaitu ikan ayam-ayaman (Aluterus monoceros, Monacanthidae). Selar bentong (Selar crumenophthalmus) cenderung semakin banyak, tetapi banyar(Rastrelliger kanagurta) makin sedikit. Kontrol upaya sangat penting dilakukan kalau tujuan sustainable fisheries akan dicapai; bagi perikanan pelagis Laut Jawa kontrol tersebut dalam hal jumlah dan ukuran kapal, teknologi penangkapan, dan lama di laut.
INDIKATOR PENYUSUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS KECIL DI LAUT JAWA DAN SEKITARNYA Suherman Banon Atmaja; Duto Nugroho
BAWAL Widya Riset Perikanan Tangkap Vol 1, No 1 (2006): (April 2006)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, BRSDM KP.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (951.471 KB) | DOI: 10.15578/bawal.1.1.2006.37-41

Abstract

Sumber daya ikan pelagis telah lama dieksploitasi oleh berbagai macam alat mulai dari alat tangkap payang, pukat cincin, pukat cincin yang dilengkapi dengan lampu sorot. Motorisasi perikanan tradisional dan substitusi alat tangkap telah menyebabkan crowding etfect- Status perikanan pelagb kecil telah melampauiMYS. Semakin berkembangnya pukat cincin dengan penggunaan lampu sorot dan mesin yang lebih besar, sejak tahun 1998 pengusaha pukat cincin cenderung mengurangi kapasitas kapal, namufl penggunaan lampu sorot semakin meningkat. Dengan demikian, waktu pencarian gerombolan ikan lebih lama, sebagai indikator biomassa telah mengalami penyusutan. Telah terjadi kompetisi spesies ikan pelagis, penurunan hasil tangkapan terhadap populasi ikan akan direspon dengan cepat pulihhya biomassa ikan pelagis kecil dan nelayan akan merespon perubahan alat tangkap. Perlu kehati-hatian dalam memberikan perizinan, hari memperhitungkan dinamika usaha perikanan yaitu bagaimana nelayan akan merespon kondisi stok yangmenurun.
UPAYA-UPAYA PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN YANG BERKELANJUTAN DI INDONESIA Suherman Banon Atmaja; Duto Nugroho
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 3, No 2 (2011): (November, 2011)
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (55.447 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.3.2.2011.101-113

Abstract

Pengertian dasar untuk pengelolaan perikanan terkait dengan fungsi fungsi biologi, sosial, teknologi, ekonomi serta lingkungan sumber daya sebagai komponen yang saling berhubungan untuk terjaminnya pengelolaan secara berkelanjutan. Stok ikan, ekosistem dan masyarakat nelayan merupakan salah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam sistem yang dinamis, dimana perubahan taktik dan strategi pemanfaatan masih merupakan suatu hal yang banyak dilakukan dalam rangka penyesuaian antara faktor teknis dan ekonomis yang sering kali mengabaikan pertimbangan bio-ekologi sumberdaya ikan. Sasaran pendekatan dan kebijakan pengelolaan perikanan di berbagai negara sudah mulai berubah, diawali dengan pendekatan memaksimalkan tangkapan tahunan dan ketenaga-kerjaan menuju ke konservasi dan pengelolaan berbasis pelayanan ekosistem. Konsep pengelolaan berbasis masyarakat dan ko-manajemen masih terbatas pada pengelolaan kawasan konservasi dan habitat terumbu karang. Adanya kesenjangan dan perbedaan antara kepentingan kawasan konservasi sebagai akibat kurangnya pemahaman kolektif terhadap tujuan pengelolaan, dan kerapkali menyebabkan aktifitas perikanan tangkap sebagai bagian dari kebutuhan ekonomis berbenturan dengan fungsi kawasan konservasi dalam jangka panjang. Pengendalian upaya penangkapan dan memahami dinamika perikanan, serta mengelola nelayan menjadi prioritas untuk pengelolaan sumber daya ikan, sedangkan konsep pengelolaan berbasis masyarakat dan ko-manajemen ditempatkan sebagai pelengkap untuk menutupi kelemahan aspek legal wilayah pengelolaan perikanan atau sumber daya ikan.Basic understanding of fisheries management related to biology, social, technology and economic function of fish resources. Fish stocks, ecosystem and fishers community are the integrated component under the dynamic of fisheries system, where as changing and on fishing tactic and strategy still exist to adjust between biology, technics and economics aspects. It is obvious that all technological creeps oftenly ignored the bio-ecological consideration of fish resources. The fisheries management and its policy were gradually shifting from maximize the catch, job opportunity become conservation and ecosystem based fisheries management. The concept of community-based management and co management is still limited to the management of conservation areas and coral reef habitats. The existence of gaps and differences between the interests of the conservation area as a result of a lack of understanding collective to the management objectives and often causing fishing activities as part of the economic needs clash with the function of conservation areas in the long term. Control efforts to capture and understand the dynamics of fisheries, as well as managing fishing is a priority for the management of fish resources, while the concept of community-based management and co management issued as a supplement to cover the weakness of legal aspects of the fishery management area or fishery resource.
OVERFISHING PADA PERIKANAN PUKAT CINCIN SEMI INDUSTRI DI LAUT JAWA DAN IMPLIKASI PENGELOLAANNYA Suherman Banon Atmaja; Bambang Sadhotomo; Duto Nugroho
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 3, No 1 (2011): (Mei 2011)
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (66.744 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.3.1.2011.51-60

Abstract

Krisis perikanan merupakan akibat langsung penangkapan yang berlebihan pada sumber daya perikanan, yang antara lain disebabkan oleh teknologi penangkapan modern. Kini kemungkinan terjadi overfishing karena teknologi telah membuat armada penangkapan lebih mudah menuju ke lokasi gerombolanikan besar. Overfishing terjadi ketika suatu jenis ikan diambil lebih cepat dibanding dengan pembiakan stok spesies tersebut untuk menghasilkan penggantinya. Pada perikanan pukat cincin semi industri di Laut Jawa, paling sedikitnya telah terjadi economic overfishing, biological overfishing, dan Malthusian overfishing, di mana biaya ekonomi penangkapan yang mahal untuk hasil sedikit, dan nelayan mengorbankan biaya sosial dengan meninggalkan keluarga semakin lama akibat sulit mencari gerombolan ikan.Supposedly fisheries crisis is a direct result of the severe over harvesting of fisheries resources brought about among other by modern fishing technologies. Overfishing is possible today because technology has made it easier to locate large schools of fish and direct fishing fleets to those locations. Overfishing occurswhen a species is taken more rapidly than the breeding stock of that species can generate replacements. In the purse seiners semi industry fisheries in the Java Sea, at least there have been economic overfishing, biological overfishing, and Malthusian overfishing, where the economic cost of catching a very high price for a bit, and fishermen have to sacrifice the social cost of leaving the family longer because they are hard to find the fish schooling.