UMKM memiliki usaha berprospek baik, namun belum cukup memiliki jaminan kebendaan, sehinga secara teknis tidak memenuhi syarat perkreditan dari bank. Hadirnya penjaminan kredit merupakan jembatan bagi mereka yang memiliki usaha yang layak (feasible) akan tetapi tidak bankable. Kegiatan penjaminan tersebut harus memenuhi fungsi sebagai pengganti atau pelengkap agunan kredit, untuk itu diperlukan bingkai hukum perjanjian antara LPK dengan bank. Karakteristik Perjanjian penjaminan, serta sistematika pelaksanaan penjaminan secara proporsional dan tidak menjadikan unjustified unrichment menjadi isu hukum. Secara normatif untuk menganalisi keduanya diperlukan suatu pendekatan perundang-undangan, selain itu dibutuhkan juga pendekatan konsep, sehingga diperoleh kesimpulan. Karakteristik perjanjian penjaminan UMKM adalah merupakan perjanjian penanggungan yang mana bersifat accessoir dan subsidiair, artinya merupakan perjanjian tambahan dari penjanjian kredit sebagai penjanjian pokok, dan bahwa LPK hanya terikat secara subsidiair, yang mana daya kerja perjanjian penjaminan ini adalah manakala debitur tidak memenuhi prestasinya dan terkait sistematika pelaksanaan penjaminan kredit UMKM dimulai dan dibuktikan dengan terbitnya sertifikat penjaminan oleh LPK yang dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: a. penjaminan langsung yang mana penjaminan tersebut lahir atas inisiatif debitor untuk itu debitorlah sebagai pemegang sertifikat penjaminan; dan b. penjaminan tidak langsung yang mana penjaminan tersebut lahir dari penjanjian kerjasama antara bank selaku kreditor dengan LPK untuk itu kreditorlah yang memegang sertifikat penjaminan.