Patrianef Darwis
Divisi Bedah Vaskular dan Endovaskular, Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

Akan Dibawa Kemana Sistem Penjaminan Kesehatan Indonesia di tahun 2019 Patrianef Darwis
Jurnal llmu Bedah Indonesia Vol. 47 No. 1 (2019): Maret 2019
Publisher : Ikatan Ahli Bedah Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46800/jibi-ikabi.v47i1.27

Abstract

Assalamualaikum WW Sejawat sekalian, memasuki tahun 2019 akan banyak peristiwa yang menentukan perjalanan profesi kita kedepannya. Salah satunya adalah pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, hasil pemilihan ini akan mempengaruhi perjalanan profesi kita selanjutnya. Salah satu hal yang perlu kita cermati adalah bagaimana perjalanan selanjutnya dari sistem pembiayaan jaminan kesehatan yang selama ini dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan. Sebagaimana kita ketahui bahwa pembiayaan BPJS Kesehatan dalam RAPBN 2019 hanya sebanyak Rp 26,7 T hanya meningkat sebanyak Rp1,7 T dibandingkan tahun 2018 yaitu sebanyak Rp 25 T. Konsekwensi dari hal ini adalah tidak akan ada kenaikan pembiayaan BPJS Kesehatan untuk tahun 2019. Kenaikan Rp1,7 T diperkirakan hanya untuk mengakomodasi penambahan jumlah peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan tahun ini. Penambahan iuran pada segmen lain akan sulit dilakukan jika tidak ada penambahan iuran dari segmen PBI. Diperlukan dukungan politik dan kearifan dari pemimpin Negara ini untuk memperlakukan sektor kesehatan lebih baik. Menurut Standar WHO, total pembiayaan sektor kesehatan harusnya sebanyak 10% dari Produk Domestik Bruto (PDB) , sementara pembiayaan sektor kesehatan kita saat ini hanya sekitar 2,8% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Pembiayaan sektor kesehatan kita termasuk yang terendah di Asia bahkan dilingkungan Negara ASEAN kita juga termasuk yang terendah jika dihitung perkapita, bukan dihitung jumlah totalnya. Menaikkan pembiayaan sektor kesehatan bukanlah hal yang mudah, karena diperlukan pemahaman bahwa sektor kesehatan sama pentingnya dengan sektor pendidikan karena berhubungan langsung dengan kualitas sumber daya manusia. Kita berharap kedepannya, siapapun yang memerintah Negara ini akan membuat sistem pelayanan kesehatan termasuk sistem pembiayaan kesehatan yang lebih baik. Perbaikan system pembiayaan kesehatan jelas jelas harus diperbaiki agar jangan sampai timbul lagi kekisruhan yang semuanya disebabkan pembiayaan kesehatan yang defisit bahkan sampai Rp 16,5 T menurut versi BPJS Kesehatan di tahun 2018.
Kenaikan Tarif BPJS Kesehatan, Obat Defisit yang Tak Bisa Dihindari Patrianef Darwis
Jurnal llmu Bedah Indonesia Vol. 47 No. 2 (2019): Oktober 2019
Publisher : Ikatan Ahli Bedah Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46800/jibi-ikabi.v47i2.44

Abstract

Sejawat sekalian, memasuki tahun 2020 sangat banyak kejadian yang terjadi di dunia kesehatan. Masalah kenaikan tarif BPJS Kesehatan yang masih banyak dtentang oleh banyak pihak tentu saja mempengaruhi kerja para spesialis bedah secara keseluruhan. Pengaruh ini terjadi secara langsung karena sebagian besar pembiayaan pasien saat ini menggunakan dana Jaminan Kesehatan Nasional yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan. Berdasarkan pasal 34 Perpres nomor 75 tahun 2019 maka akan terjadi kenaikan iuran BPJS Kesehatan pada 1 januari 2020. Kenaikan itu secara rinci adalah sebagai berikut: Kelas III dari Rp 25.500 per bulan menjadi Rp 42.000 Kelas II dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000 Kelas I dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000 Kenaikan tersebut juga berlaku bagi Penerima Bantuan Iuran (PBI) baik dari APBN maupun PBI yang berasal dari APBD. Khusus untuk kenaikan iuran PBI yang dibayarkan pemerintah ini, akan terjadi kenaikan daari Rp 23.000 per bulan menjadi Rp 42.000. Tentu saja kenaikan tersebut berpengaruh positif bagi seluruh rumah sakit yang banyak mengandalkan pasien BPJS Kesehatan, terutama rumah sakit di daerah. Pelayanan kesehatan selama ini terganggu karena aliran dana dari pembiayaan ke rumah sakit sering terlambat beberapa bulan. Hal itu tidak terlepas akibat defisit yang dialami oleh BPJS kesehatan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Secara langsung aliran yang terhambat dan terlambat tersebut juga mempengaruhi para dokter yang bekerja di RS tersebut, termasuk dokter spesialis bedah. Defisit yang dialami oleh BPJS Kesehatan sudah berlangsung sejak than 2014. Pada tahun 2018 defisit yang dialami oleh BPJS Kesehatan sebanyak Rp 19,4 T dan ditalangi oleh pemernah sebanyak Rp 10,3 T dan defisit dibawa ke tahun 2019 sebanyak Rp 9,1 T. Pada tahun 2019 defisit semakin melebar mencapai Rp 32,84 T ini termasuk beban defisit Rp 9,1 T yang dibawa ke tahun 2019. Pada tahun 2019 ini pemerintah menalangi defisit sebanyak Rp 14 Tsehingga ada beban defisit sebanyak Rp 18,84 T yang dibawa ke tahun 2020. Tanpa adanya kenaikan iuran maka beban defisit akan semakin melebar tahun 2020. Diperkirakan defisit tahun 2020 mencapai Rp 31 T dan ditambah dengan beban defisit tahun 2019 yang dbawa ke tahun 2020 sebanyak Rp 18 T maka defsit akan semakin melebar. Hal ini akan semakin memperburuk pelayanan di rumah sakit yang sudah tertekan oleh penundaan pembayaran pelayanan pasien beberapa bulan oleh BPJS Kesehatan. Sejawat sekalian, kenaikan iuran BPJS kesehatan sepertinya memang keniscayaan yang tak dapat ditunda lagi dan sangat mendesak, hall ini akibat defisit yang dialami oeh BPJS Kesehatan yang sudah berlangsung 5 tahun terus menerus dan semakin membesar tetapi persoalannya adalah seberapa besar kenaikan tersebut dan apakah kenaikan tersebut masih mampu ditanggung oleh masyarakat. Kita paham bahwa orang miskin pembiayaannya ditanggung oleh pemerintah baik melalui dana APBN maupun dana APBD. Persoalannya adalah apakah semua orang miskin sudah terdata baik dan masuk dalam daftar penerima bantuan PBI. Sebagai seorang spesialis bedah tentu saja kita tidak bisa berlepas diri dari gonjang ganjing di dunia kesehatan tersebut, apalagi hal ini menyangkut pembiayaan pasien kita. Bagaimanapun tindakan pada pasien yang dilakukan para spesialis bedah memerlukan pembiayaan yang tidak sedikit. Harapan kita bersama tahun 2020 didepan akan lebih baik dari tahun lalu.
Factors Affecting Hospital Length of Stay in Patient with Diabetic Foot Ulcer Patrianef Darwis; Bakti H Simanjuntak; Grace Wangge; Deddy Pratama; Ahmad Bakri; Rizky Telaumbanua
Jurnal llmu Bedah Indonesia Vol. 47 No. 2 (2019): Oktober 2019
Publisher : Ikatan Ahli Bedah Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46800/jibi-ikabi.v47i2.45

Abstract

Background. Foot ulcer is one of the most common complications in diabetes mellitus patients. This condition prolongs hospital length of stay (LOS) and increases hospitalization cost. This study aims to assess factors that affect the LOS in patients with the mentioned condition. Methods. This is a retrospective cohort study of diabetes mellitus patients with foot ulcer who were hospitalized in Cipto Mangunkusumo General Hospital from January 2015 to April 2016. There were 120 patients recruited and then divided into two groups according to their hospitalization duration, which was short and long. Univariate analysis was conducted in predicted factors including gender, ankle-brachial index, ulcer size, ulcer depth, leukocyte count, treatment, cardiovascular comorbidity, blood pressure, smoking history, septicemia, ketoacidosis, hypoalbuminemia, and upper respiratory tract infection. Chi-Square tests were performed to analyze the association of those factors with LOS. The odds ratio of each variable was evaluated using logistic regression analysis. Result. In this study, the mean of LOS was 26 days (2 – 87 days). Factors that significantly correlated with LOS were ankle-brachial index (p 0.041, OR 2.275, CI 95 % 1.025 – 5.041), ulcer size (p 0.044, OR 3.038, CI 95 % 1.032 – 9.942), smoking history (p 0.022, OR 2.434, CI 95 % 1.125 – 5.265), sepsis (p < 0.001, OR 4.240, CI 95 % 1.908 – 9.423), and ketoacidosis (p < 0.001, OR 8.611, CI 95 % 3.396 – 21.835) In multivariate analysis, the most significant factor was ketoacidosis (p < 0.001, OR 8.360, CI 95 % 3.209 – 21.780). Conclusion. Ketoacidosis is the most significant factor that prolonged hospital stays in a patient with diabetic foot ulcer. Keywords: Diabetic foot ulcer, Length of stay
COVID-19 Mengubah Kehidupan Kita Patrianef Darwis
Jurnal llmu Bedah Indonesia Vol. 48 No. 1 (2020): Juni 2020
Publisher : Ikatan Ahli Bedah Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46800/jibi-ikabi.v48i1.52

Abstract

Sejawat sekalian, tahun 2020 adalah tahun yang berat bagi kita bersama. Bukan hanya bagi kita dibidang kesehatan, tetapi juga mengenai seluruh bidang kehidupan dan bukan hanya di Indonesia tetapi di seluruh dunia. Tantangan yang berat itu diakibatkan kemunculan virus COVID-19 yang mewabah di seluruh dunia. Wabah COVID-19 ini di bidang kesehatan berpengaruh besar. Terjadi peningkatan kasus COVID-19 ini diseluruh dunia termasuk di Indonesia. Di Indonesia sendiri ada kesan awalnya pemerintah khususnya Kementerian Kesehatan sedikit gagap dan terkesan lambat dalam bertindak. Bahkan untuk proses diagnostik awalnya semua spesimen pemeriksaan swab tenggorokan dipusatkan di satu tempat sehingga untuk konfirmasi diagnosis memerlukan waktu yang lama sehingga proses konfirmasi diagnosis yang diperlukan untuk membatasi penyebaran penyakit dan proses pengobatan sedikit terhambat. Di sisi lain kita sebagai dokter spesialis bedah yang melakukan pelayanan pasien terjadi perubahan besar. Proses pelayanan pasien termasuk pembedahan menyebabkan kita berkontak erat dengan pasien yang selama proses pelayanan bisa saja menderita COVID-19 dengan gejala ringan bahkan tanpa gejala. Demikian juga dokter lain yang tidak melakukan pembedahan. Angka kesakitan dan kematian dokter dan tenaga kesehatan lain meningkat dengan cepat. Angka kesakitan tersebut tinggi selain akibat faktor kontak juga akibat kekurang-siapan kita dalam penyediaan Alat Pelindung Diri (APD) yang diperlukan dalam perlindungan dokter dan tenaga kesehatan selama melayani pasien. Alhamdulillah, kekurangan APD tersebut pelan pelan dapat berkurang dan jumlah kesakitan dan kematian dokter serta tenaga kesehatan perlahan mulai menurun. Sebagai dokter, proses pelayanan pasien yang memerlukan kontak erat dengan pasien menyebabkan kita rentan terkena COVID-19. Selain berpotensi terkena kita sendiri juga berpotensi menyebarkan COVID-19 di lingkungan keluarga kita bahkan kepada pasien lain. Untuk itu kita perlu taat dan patuh serta konsisten menggunakan APD yang tepat serta protokol kesehatan lain selama pelayanan pasien. Kepada sejawat para dokter spesialis bedah, kita harus mengingat bahwa sebagai dokter, kita justru merupakan pihak yang rentan dan gampang tertular COVID-19. Untuk itu selama proses pelayanan pasien kita harus selalu menjaga jarak, mengenakan masker demikian juga selama di rumah kita harus menjaga keluarga kita dari penularan virus ini. Mudah mudahan wabah COVID-19 ini cepat berlalu bukan hanya di Indonesia, tetapi diseluruh dunia sehingga kehidupan kita sebagai tenaga medis dapat kembali seperti sedia kala. Insyaallah
Wabah COVID-19 Tahun 2021 Patrianef Darwis
Jurnal llmu Bedah Indonesia Vol. 48 No. 2 (2020): Desember 2020
Publisher : Ikatan Ahli Bedah Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46800/jibi-ikabi.v48i2.65

Abstract

Evaluasi Spektrum Gelombang USG Doppler dan Kaitannya dengan Ankle Brachial Index (ABI) dan Faktor-Faktor Risiko pada pasien Peripheral Arterial Disease (PAD) Patrianef Darwis; Faisal Ali Ahmad Kler; Karina Karina; Rizky Saputra Telaumbanua
Jurnal llmu Bedah Indonesia Vol. 48 No. 2 (2020): Desember 2020
Publisher : Ikatan Ahli Bedah Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46800/jibi-ikabi.v48i2.66

Abstract

Latar Belakang. Salah satu komplikasi dari Peripheral Arterial Disease (PAD) adalah kerusakan tungkai bawah hingga tidak dapat digunakan untuk beraktifitas. Skrining dan penegakan diagnosis lebih awal diharapkan memberikan outcome yang lebih baik. Metode. Penelitian studi potong lintang pada pasien PAD di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dari Juli 2013-Desember 2014. Terdapat 119 pasien yang sesuai dengan kriteria inklusi. Analisis univariat dilakukan untuk memperoleh gambaran distribusi frekuensi masing-masing variabel bebas dan analisis bivariat untuk menilai hubungan antara variabel terikat. Uji Mann Whitney dilakukan untuk menganalisa hubungan antara spektrum gelombang DUS dan ABI pada pasien PAD. Hasil. Didapatkan pasien PAD dengan nilai ABI rata-rata 0,7 dengan gambaran gelombang DUS yang berubah dari trifasik menjadi non-trifasik dominan pada arteri infrapopliteal. ABI di bawah 0.9 menunjukkan perubahan pada gelombang DUS dari arteri femoralis hingga a.dorsalis pedis dengan nilai p <0.05. Faktor risiko yang signifikan pada PAD adalah usia di atas 45 tahun. Terdapat hubungan signifikan dengan p<0,05 pada hubungan antara gelombang DUS, ABI dan beberapa faktor risiko PAD. Kesimpulan. Derajat keparahan PAD dapat ditentukan melalui nilai ABI dan DUS. Letak oklusi pada segmen arteri dapat diketahui dengan gelombang DUS. Penilaian ABI dan DUS memiliki hubungan positif terhadap faktor risiko PAD.