Dahlan Ali
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Penggunaan Laporan Penelitian Kemasyarakatan Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Oleh Hakim Sayid Andi Maulana; Dahlan Ali; Muhammad Saleh
Syiah Kuala Law Journal Vol 2, No 2: Agustus 2018
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (108.803 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v2i2.11635

Abstract

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 60 ayat (3) “Hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan sebelum menjatuhkan putusan perkara”, ayat (4) “Dalam hal laporan penelitian kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipertimbangkan dalam putusan Hakim, putusan batal demi hukum”. Namun hingga saat ini masih ditemukan putusan pengadilan yang sama sekali tidak mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan. Permasalahan yang perlu dikaji apakah sebab Hakim tidakmempertimbangkanLaporanPenelitianKemasyarakatan, dan bagaimanakah konsekuensihukumjikatidakdilaksanakannyaLaporanPenelitianKemasyarakatan.Tujuanpenulisanini untukmengetahuisebab Hakim tidakmempertimbangkanLaporanPenelitianKemasyarakatan dan untuk mengetahuikonsekuensihukumjikatidakdilaksanakannyaLaporanPenelitianKemasyarakatan. Metode penelitian yang digunakan yaitu yuridis empiris. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwadalammemutuskanperkaraanak yang berhadapandenganhukum,Hakim memilikialasanterhadaptidakmenguraikanlaporanpenelitiankemasyarakatanpadaputusan karena Hakim padaprinsipnyasudahmempertimbangkanlaporanpenelitiankemasyarakatan. Konsekuensihukumjika Hakim tidakmempertimbangkanLitmas yaitu anak masih tetap bisa ditahanuntuk proses peradilan yaitu perbaikan Putusan. Disarankan agar Hakim dapat mengulasisi materi dari Litmas dalam putusannya, termasukrekomendasi yang diberikanolehBapas.DisarankankepadaKementerianHukumdan HAM supayamemperhatikanketersediaantenagafungsionalBapassertapeningkatankompetensi agar menghasilkanLitmas yang semakinbaik sehingga jauh dari persepsi “copy paste”Law Number 11 Year 2012 on the Criminal Justice System of the Child, in Article 60 paragraph (3) "The judge is obliged to consider the reports of the research community from the community Supervisor before dropping the lawsuit verdict "paragraph (4) In terms of Community research reports as referred to in paragraph (3) are not considered in the judge's verdict, the verdict is annulled by law ". However up to now still found the Court ruling that simply does not consider research report. Problems that need to be examined whether because the judge did not consider Viable research report, and how do the legal consequences if it does not tackle in the research report. The purpose of this writing is to know because the judge did not consider the report of the Research Community and to know the legal consequences if it does not tackle in the research report. The research method used i.e. empirical juridical. Based on the results of the research it is known that in deciding a child dealing with matters of law, The judge has a reason against civic research report outlines not at ruling because Judges in principle had already been considering a research report. The legal consequences if the judge does not consider Litmas i.e. children still could be detained for judicial process, namely the improvement award. It is recommended that Judges can mengulasisi material from Litmas in an award, including the recommendations given by Bapas. It is recommended to the Ministry of Justice and human rights in order that notice of the availability of functional competency enhancement as well as Bapas in order to produce better Litmas so far from the perception of "copy paste".
Kekuasaan Pengaturan Mahkamah Agung Tentang Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP Dalam Sistem Hukum Pidana Ully Herman; Mohd. Din; Dahlan Ali
Syiah Kuala Law Journal Vol 2, No 2: Agustus 2018
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (132.345 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v2i2.11636

Abstract

Dalam sistem peradilan pidana terdapat beberapa lembaga untuk melakukan penegakan hukum selain hakim, yaitu Polisi sebagai penyidik dan Jaksa sebagai penuntut umum, dalam praktiknya penerapan Perma Nomor 2 Tahun 2012 dapat menggangu tertib hukum dan menimbulkan ketidakpastian hukum baik itu penyidik dan jaksa penuntut umum. Kekuasaan pengaturan Mahkamah Agung tentang batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP dalam sistem hukum pidana yaitu peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 diperintahkan oleh peraturan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan, dan Implementasi Perma Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP dalam sistem Peradilan pidana, pada dasarnya sudah berjalan akan tetapi masih belum efektif dikarenakan masih dijumpai pro dan kontra.A criminal justice system includes several institutions for enforcing law besides judges, they are Police as investigators and prosecutors as public prosecution, in its practice the application of Perma Number 2, 2012 might have troble on legal issue and cause legal uncertainty either investigators and prosecutors. The power of regulating the Supreme Court on the limits of petty crimes and the amount of fines in the Indonesian Criminal Code in the criminal law system that is the Supreme Court Regulation Number 2, 2012 ordered by higher regulations or established by authority, and the Implementation of Perma Number 2, 2012 on the Adjustment Limit of Petty Crimes and the amount of fines in the Criminal Code in the criminal justice system, basically it has been going but it is still not effective as there are pros and cons.
Kendala Yang Dihadapi Oleh Kejaksaan Tinggi Aceh Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Muhammad Gempa Awaljon Putra; Dahlan Ali; Mahfud Mahfud
Syiah Kuala Law Journal Vol 2, No 2: Agustus 2018
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (269.182 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v2i2.11627

Abstract

Pasal 30 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia bahwa kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang, termasuk salah satu kategori tindak pidana tertentu yaitu tindak pidana korupsi. Lembaga Kejaksaan memiliki struktur organisasi di seluruh wilayah Indonesia. Dalam melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi, Jaksa Agung dibantu oleh para Kepala Kejaksaan Tinggi di seluruh Indonesia. Kejaksaan Tinggi Aceh merupakan jajaran Kejaksaan Republik Indonesia dengan wilayah tugas di Provinsi Aceh. Dengan sumber kewenangan dan struktur yang kompleks sudah seharusnya Kejaksaan Tinggi Aceh mampu memberikan dampak yang signifikan untuk menekan angka korupsi dan pengembalian kerugian negara. Pemberantasan tindak pidana korupsi pada masing-masing tahapan mempunyai kendala yang berbeda, secara umum kendala yang terjadi dari dua arah yaitu dari jajaran Kejaksaan Tinggi Aceh sendiri berupa kurangnya personil, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang harus ditingkatkan dan kendala dibidang koordinasi dengan lembaga terkait yang mendukung berjalannya penanganan dan penyelesaian perkara tindak pidana korupsi, sedangkan dari eksternal Kejaksaan kendala yang dihadapi dalam hal terbatasnya keterbukaan masyarakat atau menutupi informasi terkait dengan tindak pidana korupsi, respon auditor yang relatif lama dan sikap tersangka, terdakwa dan juga terpidana yang tidak kooperatif.Article 30 paragraph (1) subparagraph d that Public Prosecutor Office has the duty and authority to perform investigation to certain crimes under the law, including one particular category of offenses named criminal offense of corruption. The Public Prosecutor Office has an organizational structure throughout the territory of Indonesia. In implementing the eradication of corruption, the Attorney General is assisted by the Chiefs of Public Prosecutor Office throughout Indonesia. The Aceh Public Prosecutor Office is the an Indonesian Public Prosecutor Office with the duty area in Aceh Province. With a complex source of authority and structures, the Office of Aceh Public Prosecutor should be able to have a significant impact on reducing corruption and state losses. Each stage has different obstacles. In general the constraints that occured from two directions were that Office of Aceh Public Prosecutor itself lacked personnel, the quality of Human Resources had to be improved and Office of Aceh Public Prosecutor had coordination constraints with relevant institutions supporting the handling and settlement of corruption criminal offense, while the external factors were that constraints faced were in the form of limited public disclosure or covering information related to corruption crime, relatively long auditor response and the attitude of suspect, defendant as well as convict were uncooperative.