Mohd. Din
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Penetapan Kerugian Negara Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi R. Bayu Ferdian; Mohd. Din; M. Gaussyah
Syiah Kuala Law Journal Vol 2, No 3: Desember 2018
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (435.157 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v2i3.11648

Abstract

Adanya kerugian negara pada sebuah perkara dan besaran nilai kerugian merupakan hal yang sangat penting, saat ini masih terdapat polemik, baik pada alat bukti yang dihadirkan maupun penafsiran tentang “kerugian negara”. Tujuan penulisan untuk mengetahui dasar penentuan kerugian negara dalam perkara tindak pidana korupsi dan mengetahui proses penetapan kerugian negara dalam perkara tindak pidana korupsi, Penulisan dilakukan dengan penelitian kepustakaan, dan pendekatan yuridis normatif, hasil penelitian diketahui dalam menentukan nilai kerugian negara pada perkara tindak pidana korupsi, jika perkaranya sederhana maka penentuan nilai kerugian negara dilakukan oleh Kejaksaan, jika perkaranya perlu audit secara mendalam maka Kejaksaan berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai alat bukti awal persidangan mengenainya nilai kerugian negara. Proses Penetapan kerugian negara yaitu dengan menghadirkan LHPKKN dari BPKP atau hasil perhitungan sendiri oleh Kejaksaan. Disarankan agar disebutkan pada setiap Undang-Undang yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi bahwa hanya BPK lembaga yang berwenang menetapkan nilai kerugian keuangan negara. Perlu diperbanyak sumber daya auditor yang mumpuni di seluruh kantor perwakilan BPK.The existence of the losses of the State on a matter and the magnitude of value of loss is very important, currently there is still debated, both on the evidence presented as well as the interpretation of the "loss of State" itself, the purpose of writing to know the basis of the determination of the loss of the State in criminal acts of corruption and know the process of determination of State losses in the case the crime of corruption, The writing is done by research libraries, and normative juridical approach, research results known in determining the value of the losses of the State on the matter a criminal offence of corruption, If a simple matter then the determination of the value of the loss of the State done by the Prosecutor's Office itself, If the matter needs to be in-depth auditing thus Prosecution Agency coordinate with the Financial Examiner (BPK) or the bodies of financial supervision and development (BPKP) as a proof of the early trials of its value losses of the State. The process of the determination of the loss of the country namely by presenting LHPKKN from BPKP or calculation result by the Prosecutor's Office. It is recommended that mentioned on any legislation governing the crime of corruption that only the authorized institution of the BPK set the value of the financial loss to the State. Need to be copied the Auditors qualified resources across the Office of the representative of the BPK.
Kekuasaan Pengaturan Mahkamah Agung Tentang Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP Dalam Sistem Hukum Pidana Ully Herman; Mohd. Din; Dahlan Ali
Syiah Kuala Law Journal Vol 2, No 2: Agustus 2018
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (132.345 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v2i2.11636

Abstract

Dalam sistem peradilan pidana terdapat beberapa lembaga untuk melakukan penegakan hukum selain hakim, yaitu Polisi sebagai penyidik dan Jaksa sebagai penuntut umum, dalam praktiknya penerapan Perma Nomor 2 Tahun 2012 dapat menggangu tertib hukum dan menimbulkan ketidakpastian hukum baik itu penyidik dan jaksa penuntut umum. Kekuasaan pengaturan Mahkamah Agung tentang batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP dalam sistem hukum pidana yaitu peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 diperintahkan oleh peraturan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan, dan Implementasi Perma Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP dalam sistem Peradilan pidana, pada dasarnya sudah berjalan akan tetapi masih belum efektif dikarenakan masih dijumpai pro dan kontra.A criminal justice system includes several institutions for enforcing law besides judges, they are Police as investigators and prosecutors as public prosecution, in its practice the application of Perma Number 2, 2012 might have troble on legal issue and cause legal uncertainty either investigators and prosecutors. The power of regulating the Supreme Court on the limits of petty crimes and the amount of fines in the Indonesian Criminal Code in the criminal law system that is the Supreme Court Regulation Number 2, 2012 ordered by higher regulations or established by authority, and the Implementation of Perma Number 2, 2012 on the Adjustment Limit of Petty Crimes and the amount of fines in the Criminal Code in the criminal justice system, basically it has been going but it is still not effective as there are pros and cons.
Ajaran Turut Serta Tindak Pidana Korupsi Harry Arfhan; Mohd. Din; Sulaiman Sulaiman
Syiah Kuala Law Journal Vol 3, No 1: April 2019
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (239.955 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v3i1.12136

Abstract

Penyertaan pada dasarnya diatur dalam pasal 55 dan 56 KUHP yang berarti bahwa ada dua orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan perkataan ada dua orangatau lebih mengambil bahagian untuk mewujudkan suatu tindak pidana. Penyertaan di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 disebut sebagai pembantuan.Dalam putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor : 1769 K/PID.SUS/2015 menyatakan bahwa Terdakwa I Indra Gunawan Bin Alm. Saleh tersebut tidak terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan dalam semua dakwaan Penuntut Umum dan Menyatakan Terdakwa II Irfan Bin Husen telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Turut Serta Melakukan Korupsi”. Majelis Hakim Judex Factie Pengadilan Tinggi/Tipikor Banda Aceh dalam memeriksa dan mengadili perkara Aquo telah salah dalam menerapkan hukum atau suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya, yaitu mengenai penerapan hukum pembuktian sehingga harus dibatalkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia.The participation is basically regulated in articles 55 and 56 of the Criminal Code, which means that there are two or more people who commit a crime or say that there are two or more people taking part to realize a crime. The participation in the Law on the Eradication of Corruption Crime namely Law Number 31 of 1999 in conjunction with Law Number 20 of 2001 is referred to as assistance. In the decision of the Supreme Court Cassation Number: 1769 K / PID.SUS / 2015 stated that Defendant I Indra Gunawan Bin Alm. Saleh is not proven legally and convincingly guilty of committing an act as charged in all charges of the Public Prosecutor and Stating Defendant II Irfan Bin Husen has been proven legally and convincingly guilty of committing a criminal offense "Also Participating in Corruption". Judex Factie Judge of the High Court / Corruption Court in Banda Aceh in examining and adjudicating the case of Aquo has been wrong in applying the law or a legal regulation was not applied or applied improperly, namely regarding the application of verification law so that it must be canceled by the Supreme Court of the Republic of Indonesia.