Syarifuddin Hasyim
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Tinjauan Yuridis Akibat Berlakunya UU No. 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak Terhadap Sanksi Pidana Perpajakan Hadzil Hadzil; Mahdi Syahbandir; Syarifuddin Hasyim
Syiah Kuala Law Journal Vol 3, No 2: Agustus 2019
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (504.916 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v3i2.12084

Abstract

Terdapat cukup banyak masyarakat yang dengan sengaja melakukan kecurangan-kecurangan dan melalaikan kewajibannya dalam melaksanakan pembayaran pajak yang telah ditetapkan sehingga menyebabkan timbulnya tunggakan pajak. Menyikapi hal tersebut, Pemerintah mengesahkan Undang-undang Tax Amnesty Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak. Salah satu jenis pengampunan yang ditawarkan adalah memberikan penghapusan tindak pidana bagi Wajib Pajak (WP) yang melanggar undang-undang. Oleh sebab itu, hal ini menjadi menarik untuk diteliti karena dapat dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap rakyat miskin atau WP yang taat pajak. Masalah pokok dalam penelitian ini adalah apakah penghapusan sanksi pidana terkait pengampunan pajak (tax amnesty) sudah sesuai dengan prinsip-prinsip pemidanaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan penghapusan sanksi pidana telah sesuai atau tidak dengan prinsip-prinsip pemidanaan. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan tujuan mengkaji asas-asas dan kaidah-kaidah yang terdapat dalam ilmu hukum. Data yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam hal penghapusan sanksi pidana dalam tax amnesty tidaklah sesuai dengan prinsip-prinsip penghapusan pidana dalam konsep KUHP, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf karena apabila harta tersebut berasal dari hasil korupsi, hal tersebut bukanlah merupakan perbuatan yang patut dan benar untuk dimaafkan. Disarankan kebijakan dalam pengampunan pajak (tax amnesty) sebaiknya tidak diberlakukan penghapusan pada unsur tindak pidana, apalagi dalam tindak pidana tersebut terdapat unsur yang merugikan negara.There are enough people who deliberately commit fraud and neglect their obligations in carrying out the payment of taxes that have been set so as to cause the arrears of taxes. In response, the Government passed the Tax Amnesty Act Number 11 Year 2016 About Tax Amnesty. One type of amnesty offered is to provide the abolition of a criminal offense for a Taxpayer (WP) that violates the law. Therefore, it is interesting to investigate because it can be considered as a form of betrayal of the poor or WP who are tax-conscious. The main problem in this research is whether the abolition of criminal sanctions related to tax amnesty is in line with the principles of punishment. This study aims to determine and explain the elimination of criminal sanctions are appropriate or not with the principles of punishment. This study is a normative juridical research with the aim of studying the principles and rules contained in the science of law. The data used consist of primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials. The results indicate that of the abolition of criminal sanctions in the tax amnesty is not in accordance with the principles of criminal abolition in the concept of the Criminal Code, namely the justification and reasons for forgiveness because if the property is derived from the corruption, it is not a proper and proper act to be forgiven. It is recommended that the tax amnesty should not be abolished on the element of criminal acts, morever in the criminal act there are elements that harm the state.
Kewenangan Pengaturan Mahkamah Agung (Kajian Yuridis Terhadap Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan) Nelly Mulia Husma; Faisal A.Rani; Syarifuddin Hasyim
Syiah Kuala Law Journal Vol 1, No 1: April 2017 (Print Version)
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (288.383 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v1i1.12233

Abstract

Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2016 melarang  pengajuan peninjauan kembali terhadap putusan Praperadilan. Perma ini telah menutup kesempatan bagi Pencari keadilan untuk mengajukan Peninjauan Kembali terhadap Putusan Praperadilan. Perma ini telah memperluas objek praperadilan, yang meliputi sah tidaknya penyitaan, penggeledahan, dan penetapan tersangka. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa Mahkamah Agung berdasarkan kewenangan atas Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009  dapat menerbitkan produk hukum seperti Perma.  Namun jika substansi dari  sebuah produk hukum mengatur ataupun mencabut hak dari warga Negara maka hanya lembaga legislatif sebagai perwakilan rakyat yang sah mempunyai kewenangan untuk melakukannya.The Supreme Court Regulation (Perma) Number 4 of 2016 prohibits the submission of a review of the Pretrial ruling. This regiment has closed the opportunity for Justice seekers to file a Review of the Pretrial Decision. This regiment has expanded the pre-trial object, which includes the validity of seizure, searches, and the determination of suspects. The results of the study indicate that the Supreme Court is based on the authority over Article 79 of Law Number 14 Year 1985 regarding the Supreme Court as amended by Law Number 5 Year 2004 jo. Law Number 3 Year 2009 may issue legal products such as Perma. But if the substance of a legal product regulates or removes the rights of a citizen then only the legislative body as a legitimate representative of the people has the authority to do so.