Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Kedudukan Notaris Sebagai Pejabat Umum Ditinjau Dari Konsep Equality Before The Law Edwar Edwar; Faisal A.Rani; Dahlan Ali
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) Vol 8 No 2 (2019)
Publisher : University of Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (438.746 KB) | DOI: 10.24843/JMHU.2019.v08.i02.p05

Abstract

Notary has the authority to make authentic deeds and has authority in making, agreements and stipulations that are required for those concerned to be stated in an authentic deed that if legal problems occur by a notary then the inspection must be obtained from the Honorary Board of Notary. which resulted in the examination contradicting principle equality before the law. After the issuance of Act No. 2 of 2014 Notary Position, notary publication by law enforcers must obtain permission from MKN which creates legal discrimination. The problem examined is how the position of the notary as a witness is related to the deed or letter under the hand made by him to the judicial process. The aim is finding out how the position of the Notary a witness is related to the deed or letter under his hand made against the judicial process. The results his research were the position of the notary a witness related to the deed he made based on the Notary Position Law resulting in legal proceedings being hampered due to waiting for permission from the Honorary Board of Notaries. In connection with the above procedure, it is indicated that the calling of a notary by law enforcers must be licensed by the Honorary Board of Notaries not in accordance with the concept of equality before the law. Notaris memiliki suatu kewenangan dalam membuat akta otentik serta memiliki wewenang dalam pembuatan, perjanjian serta penetapan yang diwajibkan bagi yang berkepentingan yang dinyatakan dalam akta otentik yang apabila terjadi permasalahan hukum yang dilakukan oleh notaris maka untuk pemeriksaannya harus izin dari Majelis Kehormatan Notaris. yang mengakibatkan pemeriksaan tersebut tidak sesuai dengan equality before the law. Setelah keluarnya Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 , pemanggilan notaris oleh aparat hukum ada izin dari MKN yang menimbulkan diskriminasi hukum. Permasalahannya yang dikaji adalah Bagaimanakah kedudukan notaris sebagai saksi terkait dengan akta atau surat dibawah tangan yang dibuatnya terhadap proses peradilan. Tujuannya adalah Untuk mengetahui bagaimana kedudukan Notaris sebagai saksi terkait dengan akta atau surat dibawah tangan yang dibuatnya terhadap proses peradilan. Hasil penelitiannya adalah kedudukan notaries sebagai saksi terkait dengan akta yang dibuatnya berdasarkan Undang-Undan Jabatan Notaris mengakibatkan proses hukum terhambat akibat menunggu izin dari Majelis Kehormatan Notaris. Sehubungan dengan prosedur tersebut diatas menunjukkan bahwa pemanggilan notaris oleh penegak hukum harus izin dari Majelis Kehormatan Notaris tidak sesuai dengan Konsep equality before the law.
KEWENANGAN GUBERNUR DALAM PENGATURAN CUTI BAGI APARATUR SIPIL NEGARA Muhammad Nur Miswari; Faisal A.Rani
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 3, No 1: Februari 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pasal 325 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil menyebutkan bahwa lamanya cuti melahirkan adalah 3 bulan, dan didalam Pasal 13 ayat (2) dan (3) Qanun Aceh Nomor 06 Tahun 2009 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan cuti hamil bagi pekerja perempuan diberikan 20 hari sebelum waktu melahirkan dan 90 hari setelah melahirkan. Namun dalam Pasal 28 Peraturan Gubernur Aceh Nomor 49 Tahun 2016 tentang Pemberian ASI Eksklusif mengatur mengenai cuti bagi Pegawai Negeri Sipil yaitu 20 (dua puluh) hari sebelum waktu melahirkan serta 6 (enam) bulan setelah waktu melahirkan.  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan materi muatan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 49 Tahun 2016 tentang Pemberian Asi Eksklusif bersifat mandiri (otonom) atau heteronom, dan untuk melihat Gubernur berwenang atau tidak mengatur mengenai cuti bagi Pegawai Negeri Sipil. Metode yang digunakan dalam artikel ini metode penelitian yuridis normatif, yaitu metode penelitian kepustakaan (library research) yang didapatkan dari bahan-bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Data yang diperoleh disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mengkaji kejelasan terhadap masalah yang diteliti. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa materi muatan dalam Peraturan Gubernur Aceh Nomor 49 Tahun 2016 tentang Pemberian ASI Eksklusif adalah bersifat otonom karena lahirnya Peraturan Gubernur Aceh ini bukan atas perintah langsung dari peraturan perundang-undangan di atasnya melainkan kebijakan yang dikeluarkan Gubernur Aceh berdasarkan kewenangannya. Sedangkan mengenai kewenangaannya, Gubernur berwenang mengatur mengenai cuti bagi Pegawai Negeri Sipil hanya di ruang lingkup Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Daerahnya berdasarkan kewenangan mandiri yang miliki oleh Gubernur. Cuti yang diberikan kepada PNS adalah berdasarkan PP Nomor 11 tahun 2017 yang menjadi acuan Badan Kepegawaian Aceh, cuti 6 bulan melahirkan dapat diberikan atas rekomendasi dan persetujuan Gubernur Aceh, Sebaiknya Peraturan Gubernur Aceh Nomor 49 Tahun 2016 tentang Pemberian ASI Eksklusif diatur melalui Qanun bukan melalui Peraturan Gubernur karena aturan tersebut mencakup kepentingan orang banyak, dan Cuti melahirkan 6 (enam) bulan bagi Pegawai Negeri Sipil ini agar menjadi acuan Nasional karena dilihat dari psikologis perempuan dan anak lebih bermanfaat dari pada cuti hanya 2 (dua) bulan saja.
Kewenangan Bupati Dalam Pemberhentian Keuchik (Studi di Kecamatan Seunagan Kabupaten Nagan Raya) M. Nahyan Zulfikar; Faisal A.Rani
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 2, No 3: Agustus 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pasal 41 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Juncto Pasal 41 Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian Keuchik di Aceh, Kepala Desa/Keuchik yang dinyatakan sebagai tersangka ataupun terdakwa dalam suatu tindak pidana atas usul Badan Permusawaratan Desa (BPD)/tuha peut diberhentikan sementara oleh bupati/walikota. Namun pada kenyataannya, pemberhentian 3 (tiga) orang Keuchik oleh Bupati di Kecamatan Seunagan, Kabupaten Nagan Raya berdasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati Nagan Raya tentang Pemberhentian Sementara Keuchik Gampong Kulu, Pemberhentian Sementara Keuchik Gampong Kuta Sayeh, dan Pemberhentian Sementara Keuchik Gampong Paya Undan tidak ada penetapan tersangka ataupun terdakwa terlebih dahulu oleh Pengadilan maupun usulan pemberhentian oleh Tuha Peut Gampong. Tujuan dari penulisan artikel ini untuk mengetahui apakah Bupati berwenang memberhentikan Keuchik tanpa ada alasan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan untuk mengetahui alasan Bupati memberhentikan Keuchik di Kecamatan Seunagan Kabupaten Nagan Raya. Data yang diperoleh dalam penulisan artikel ini dilakukan dengan penelitian lapangan dan kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan sumber data secara teoritis: buku-buku, doktrin, jurnal hukum, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan penelitian lapangan untuk mendapatkan data primer: melalui wawancara dengan responden maupun informan. Hasil penelitian lapangan diketahui bahwa Bupati tidak berewenang untuk memberhentikan keuchik tanpa ada alasan yang jelas sebagaimana yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Alasan Bupati memberhentikan Keuchik di Kecamatan Seunagan bertentangan dengan hukum karena argumentasi/alasan hukum yang digunakan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Disarankan Kepada Bupati Nagan Raya untuk menjalankan kewenangannya terutama dalam hal pemberhentian keuchik, tetap berpedoman sebagaimana yang di atur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan Dalam mengambil keputusan memberhentikan keuchik agar melibatkan aparatur gampong dan menggunakan asas keterbukaan kepada masyarakat agar tidak terjadi polemik atau kegaduhan ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat khususnya di nagan raya.
Kewenangan Gubernur Dalam Mutasi Jabatan di Lingkungan Pemerintah Aceh Mudfar Alianur; Faisal A.Rani; Eddy Purnama
Syiah Kuala Law Journal Vol 1, No 1: April 2017 (Print Version)
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (288.785 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v1i1.12242

Abstract

Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang yang mana Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri. Tujuan penelitian untuk mengetahui pergantian yang dilakukan Gubernur terhadap Pejabat Eselon II Pemerintah Aceh dan mengetahui larangan pergantian pejabat oleh Undang-Undang No 10 Tahun 2016 telah membatasi jabatannya. Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif (yuridis normatif) yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif dengan pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Perundang-Undangan, Pendekatan Konseptual dan Pendekatan Kasus. Hasil penelitian menunjukan kepala daerah (Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota) dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.Article 71 verse (2) of the Act Number 10, 2016 on the change of the Act Number 1, 2015 on the Determination of the Replacement of Government Regulation Number 1, 2014 on the Election of Governor, Head of District and Mayor becomes the Act which is the Governor or vice governor, head of district, or vice of the head of district and major and vice of major is forbidden to replace the high rank official 6 (six) months before the date of its determination of the candidate couples till the end of the power except it has an approval written from the minister, This research aims to know the position changing of echelon II of Aceh Government and to know the ban on the official movement under the Act Number 10, 2016 has limited the power of the Governor that This is juridical normative legal research by focusing on the problems posed in this research, which are on exploring the implementation of the principles or norms in existing laws by applying statutory approach, and it applies conceptual approach by the implementation of conceptual approach. The research shows that the Head of Regions (Governor or vice Governor, Head of District of vice of the Head of District, Major or vice of Major) is forbidden to change high official ranks 6 (six) months before the date of the determination of candidate couple till the end of the power except it has a written approval from the Minister.
Penemuan Hukum Oleh Hakim Mahkamah Konstitusi Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang di Indonesia Safriadi Safriadi; Faisal A.Rani; Muhammad Saleh Sjafei
Syiah Kuala Law Journal Vol 2, No 3: Desember 2018
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (532.634 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v2i3.11762

Abstract

Pasal 24 UUD Tahun 1945 menjelaskan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. MK sebagai pengawal konstitusi diharapkan dapat melahirkan putusan-putusan yang objektif. Namun pada kenyataannya MK melahirkan amar putusan yang kontraversi, karena pertimbangan hukum menyimpang dari asas-asas hukum universal, seperti asas ultra petita dan ultra veres. Identifikasi masalah penelitian ini ialah (1) Mengapa Hakim MK melakukan ultra veres dan (2) Hakim MK memberikan pertimbangan hukum bersifat ultra petitadalam megadili perkara pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sebab-sebab Hakim MK melakukan ultra veres dan ultra petita dalam mengadili perkara-perkara pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945. Metode Penelitian ini adalah penelitian normatif yang terdiri dari bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan historis, pendekatan perbandingan dan pendekatan filsafat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Hakim MK melakukan ultra veres dalam mengadili perkara-perkara pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 karena karena memiliki kewenangan lebih yang diberikan oleh UUD Tahun 1945 sehingga  dapat merusak tatanan keharmonisan dalam penagakan hukum antar lembaga kekuasaan negara. Hakim MK memberikan pertimbangan hukum bersifat ultra petita karena hanya menjadikan undang-undang sebagai sumber hukum dalam penemuan hukum dan mengabaikan sumber-sumber hukum lainnya seperti hukum yang tidak tertulis yaitu nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.Article 24 of the Indonesia Republic’s Constitution 1945 provides that the Constitutional Court is eligible to try at the first and final levels which the decision is final. The Constitutional Court must be working with other institutions in enforcing law. However, the court decided controversial decision, as in treating the cases has been acting beyond its power, the legal consideration violates universal rules of law, such as ultra petita and ultra veres. The identified research problems are (1) the Constitutional Court judges commits ultra veres and (2) the Constitutional Judges provides law consideration based on ultra petita. This research aims to analyze the reasons of judges for committing ultra veres and ultra petita in treating cases reviewing the acts towards the Constitution 1945. This is normative legal research, which comprises of primary, secondary and tertiary legal sources. The research approach used in this research is historical, comparative and philosophical approaches. The research shows that the Constitutional Court judges commits ultra veres in treating cases reviewing the acts towards the Constitution 1945 having impacts on the ruin of the harmonization of law enforcement between states’ institutions. The Constitutional Judges provides law consideration based on ultra petita in treating cases reviewing the acts towards the Constitution 1945 may bring loss for wider public interest, as it ha considered individual interest  of people who has applied in civil cases. It is recommended that the constitutional court to hold its power based on the values of Pancasila and the Constitution 1945 comprehensively in order to make objective.