Teuku Muttaqin Mansur
Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Peralihan Harta Bersama Melalui Hibah Tanpa Izin Salah Satu Pihak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam Agustina Dewi Putri; Darmawan Darmawan; Teuku Muttaqin Mansur
Syiah Kuala Law Journal Vol 3, No 1: April 2019
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (279.467 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v3i1.12369

Abstract

Menurut Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Adanya ketentuan Pasal tersebut di atas, menunjukkan bahwa jika seorang suami atau isteri, bermaksud melakukan perbuatan hukum yang objeknya terkait dengan harta bersama (misalnya menjual, menghibahkan dan lain-lain), baik itu berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, maka perbuatan hukum tersebut harus didasarkan pada persetujuan kedua belah pihak (suami dan isteri). Untuk mengetahui dan menjelaskan akibat hukum dari peralihan harta bersama melalui hibah tanpa izin dari salah satu pihak. Metode Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum yuridis normatif dan Ketiadaan persetujuan baik suami atau isteri memberi akibat hukum bahwa peralihan harta bersama tersebut menjadi batal demi hukum.As for article 36 paragraph (1) mentions that anything regarded to the shared-property should be with the consent of both parties. It is in line with Article 92 about Compilation of Islamic Law which mentions that either husband or wife without any consent of the other partner is not allowed to sell or transfer the ownerships of the shared-property. Provisionsof the article indicate that if the husband or wife intends to carry out a legal act whose object is related to a common asset (for example selling, granting, etc). whether it is movable or immovable property, the legal action must be based on agreement of both parties (husband and wife). To figure out and explain the legal consequences of share assets transfer throght a grant without permission from one of the parties. Research method used in this is normative juridical legal research. To find out and explain the comparison of provisions on the transfer of property with husband and wife based on Law Number 1 Year 1974 and Compilation of Islamic Law Absence of approval from both husband and wife gives legal consequences that transfer of shared property becomes null and void by law.
KETIDAKTERATURAN HUKUM PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DI INDONESIA Sulaiman Sulaiman; Muhammad Adli; Teuku Muttaqin Mansur
LAW REFORM Vol 15, No 1 (2019)
Publisher : PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (96.001 KB) | DOI: 10.14710/lr.v15i1.23352

Abstract

Peraturan perundang-undangan terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat (MHA) sudah banyak dilahirkan tapi masyarakat hukum adat justru merasakan ketidakteraturan hukum. Tulisan ini membahas apa yang menyebabkan ketidakteraturan dalam pengakuan dan perlindungan MHA, bagaimana menjaga orientasi pembaruan hukum terkait MHA, dan tata pikir yang seperti apa perlu dibangun dalam rangka pengakuan dan perlindungan MHA di Indonesia. Penelitian ini menemukan bahwa ketidakteraturan dalam pengakuan dan perlindungan hukum MHA terjadi karena banyak sebab, antara lain ragam istilah dan banyaknya dimensi serta lembaga yang menangani MHA itu sendiri. Orientasi pembaruan hukum terkait MHA terlihat adanya pengajuan yudicial review terhadap UU yang tidak sejalan dengan UUD 1945. Ada empat putusan MK yang sangat penting terkait dengan keberadaan MHA, yakni Putusan MK No. 001-21-22/PUU-I/2003 dan No. 3/PUU-VIII/2010 (memperjelas tolak ukur frasa “sebesar-besar kemakmuran rakyat”), Putusan MK No. 10/PUU-I/2003 (memperjelas empat syarat MHA), Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 (membedakan hutan adat dan hutan negara), dan Putusan MK No. 006/PUU-III/2005 dan 11/PUU-V/2007 (dasar kerugian konstitusional).