Tiaraizza Cempaka Putri
Unknown Affiliation

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

NARASI CITRA PEREMPUAN DALAM CERPEN “RACUN UNTUK TUAN” KARYA IKSAKA BANU: KAJIAN FEMINISME POSKOLONIAL Yacub Fahmilda; Tiaraizza Cempaka Putri
E- ISSN : 2684-8
Publisher : Universitas Pakuan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (719.652 KB) | DOI: 10.33751/jurnal salaka.v3i1.3321

Abstract

Isu perempuan di negara bekas jajahan tidak pernah bisa berhenti didiskusikan. Narasi perempuan sebagai subjek selalu bergeser tergantung pada narator dalam teks-teks yang menarasikannya. Narasi pada teks-teks mengonstruksi identitas perempuan apalagi menjadi media untuk menyuarakan sudut pandangnya terhadap praktik kolonialisme. Tokoh perempuan dalam “Racun untuk Tuan” (RUT) dan pengarang sebagai narator yang tidak pernah merasakan penjajahan sekaligus bertemu dengan sosok nyai selama kolonialisme berlangsung dimungkinkan memiliki kesan serta imajinasi yang berbeda. Cerpen RUT terbitan tahun 2010 merupakan hasil generasi pembaca buku sejarah dan pewaris traumatis bangsa jajahan. Hal dilematik tersebut menjadi diskusi utama dalam tulisan ini dengan menganalisis teks RUT sebagai representasi teks yang telah merekonstruksi kisah kolonialisme dan citra perempuan. Berdasar beberapa hal tersebut, tulisan ini bertujuan untuk memahami bagaimana citra perempuan dinarasikan oleh pengarang dalam RUT. Untuk mengurai diskusi tersebut, penelitian ini mengunakan metode deskriptif-analitis. Data pada penelitian ini berupa kutipan-kutipan RUT yang menggambarkan posisi pengarang, tokoh Belanda, dan tokoh nyai. Kumpulan kutipan tersebut dianalisis melalui teori feminisme poskolonial untuk melihat bagaimana pengarang melalui tokoh Belanda menarasikan perempuan dalam cerpen. Hasil penelitian ini diungkapkan bahwa pengarang yang tidak mengalami praktik penjajahan dan bertemu dengan tokoh nyai mampu menyuarakan pandangannya melalui cerpen. Tokoh Belanda dipinjam oleh pengarang sebagai narator untuk mendeskripsikan identintas tokoh nyai. Pengarang memosisikan diri sebagai tokoh Belanda untuk menyuarakan apa yang dimungkinkan para pegawai Belanda alami selama kolonialisme. Dengan demikian, pengarang di negara bekas jajahan mampu merekonstruksi kisah dan citra perempuan selama kolonialisme melalui pembacaan buku sejarah dan perenungan ke bentuk cerpen.
NARASI CITRA PEREMPUAN DALAM CERPEN RACUN UNTUK TUAN” KARYA IKSAKA BANU: KAJIAN FEMINISME POSKOLONIAL Yacub Fahmilda; Tiaraizza Cempaka Putri
Jurnal Salaka : Jurnal Bahasa, Sastra, dan Budaya Indonesia Vol 3, No 1 (2021): Volume 3 Nomor 1 Tahun 2021
Publisher : Universitas Pakuan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (719.652 KB) | DOI: 10.33751/jsalaka.v3i1.3321

Abstract

Isu perempuan di negara bekas jajahan tidak pernah bisa berhenti didiskusikan. Narasi perempuan sebagai subjek selalu bergeser tergantung pada narator dalam teks-teks yang menarasikannya. Narasi pada teks-teks mengonstruksi identitas perempuan apalagi menjadi media untuk menyuarakan sudut pandangnya terhadap praktik kolonialisme. Tokoh perempuan dalam Racun untuk Tuan” (RUT) dan pengarang sebagai narator yang tidak pernah merasakan penjajahan sekaligus bertemu dengan sosok nyai selama kolonialisme berlangsung dimungkinkan memiliki kesan serta imajinasi yang berbeda. Cerpen RUT terbitan tahun 2010 merupakan hasil generasi pembaca buku sejarah dan pewaris traumatis bangsa jajahan. Hal dilematik tersebut menjadi diskusi utama dalam tulisan ini dengan menganalisis teks RUT sebagai representasi teks yang telah merekonstruksi kisah kolonialisme dan citra perempuan. Berdasar beberapa hal tersebut, tulisan ini bertujuan untuk memahami bagaimana citra perempuan dinarasikan oleh pengarang dalam RUT. Untuk mengurai diskusi tersebut, penelitian ini mengunakan metode deskriptif-analitis. Data pada penelitian ini berupa kutipan-kutipan RUT yang menggambarkan posisi pengarang, tokoh Belanda, dan tokoh nyai. Kumpulan kutipan tersebut dianalisis melalui teori feminisme poskolonial untuk melihat bagaimana pengarang melalui tokoh Belanda menarasikan perempuan dalam cerpen. Hasil penelitian ini diungkapkan bahwa pengarang yang tidak mengalami praktik penjajahan dan bertemu dengan tokoh nyai mampu menyuarakan pandangannya melalui cerpen. Tokoh Belanda dipinjam oleh pengarang sebagai narator untuk mendeskripsikan identintas tokoh nyai. Pengarang memosisikan diri sebagai tokoh Belanda untuk menyuarakan apa yang dimungkinkan para pegawai Belanda alami selama kolonialisme. Dengan demikian, pengarang di negara bekas jajahan mampu merekonstruksi kisah dan citra perempuan selama kolonialisme melalui pembacaan buku sejarah dan perenungan ke bentuk cerpen.