Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Membaca Serat Gembring Baring Karya Raden Ronggo Prawirodirjo III: Sebuah Ikhtiar Pencarian Pemimpinan Idaman Rakyat Akhlis Syamsal Qomar; Warto Warto; Akhmad Arif Musadad
Social, Humanities, and Educational Studies (SHES): Conference Series Vol 5, No 1 (2022): Social, Humanities, and Educational Studies (SHEs): Conference Series
Publisher : Universitas Sebelas Maret

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (214.379 KB) | DOI: 10.20961/shes.v5i1.57768

Abstract

The old manuscript is one of the cultural heritages of the Indonesian nation which is full of noble values. One of the old literary works that has the function of piwulang is Serat Serat Gembring Baring by Raden Rangga Prawiradirja III [Madiun Regent 1796-1810]. The purpose of this study is to describe the leadership concepts contained in the Serat Gembring Baring in order to answer one of the mistakes of our state management, namely, the leadership crisis so that we can find the criteria for an ideal leader and what the people want. The content analysis method is used to reveal the leadership concept contained in the fiber, while the approach used is a historical-descriptive approach. A good leader in Fiber Gembring Baring is a leader who has the following criteria: kaṅ nĕdya hulaḥ praja  (seriously government the country), maḍĕp kawulannira (pay attention to the people),  mantĕp maraṅ hadabbiṅ nagari (be loyal to the adab [rules] of the country).
REINTERPRETASI ETNISITAS DAN RASIALITAS SEBAGAI KONSEP KETAHANAN SOSIAL (STUDI KASUS PERLAWANAN RONGGO PRAWIRODIRJO TAHUN 1810) Akhlis Syamsal Qomar; Warto .; Akhmad Arif Musadad
Prosiding Conference on Research and Community Services Vol 4, No 1 (2022): Fourth Prosiding Conference on Research and Community Services
Publisher : STKIP PGRI Jombang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Keragaman bangsa Indonesia yang tinggi merupakan sumbu yang mudah tersulut oleh konfrontasi-konfrontasi etnisitas dan rasialitas. Masalah etnisitas dan rasialitas bagi bangsa Indonesia menggejala secara kuat setelah era Reformasi 1998. Konflik yang berbau SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) terjadi di banyak daerah dan menjadi peringatan serius bagi bangsa Indonesia bahwa masalah etnisitas dan rasialitas bisa mengancam ketahanan sosial. Artikel ini mendiskusikan masalah etnisitas dan rasialitas sebagai konsep ketahanan sosial berdasarkan data sejarah perlawanan rakyat Madiun yang dipimpin oleh Raden Ronggo Prawirodirjo III tahun 1810 yang kental akan nilai-nilai. Penelitian ini menggunakan metode historis. Sumber yang digunakan yaitu sumber primer dan sekunder berupa arsip Residensi Yogyakarta 1724-1903, babad, majalah, dan pustaka berupa buku-buku. Pengumpulan data dilakukan dengan dengan teknik studi pustaka. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis historis. Prosedur penelitian dilaksanakan meliputi tahap heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Temuan penelitian menunjukkan bahwa Raden Ronggo Prawirodirjo III menyerukan kepada semua golongan masyarakat baik bumiputra maupun Timur Asing (Tionghoa) di wilayah mancanegara timur dan pesisir untuk turut serta dalam perlawanan terhadap kolonialisme Belanda pada 20 November 1810 hingga 17 Desember 1810. Fakta-fakta tersebut menunjukkan aspek ketahanan sosial, antara lain: 1) ketahanan budaya berupa keragaman ras dan etnis dalam suatu wilayah sebagai bonus demografi. 2) ketahanan politik dengan penyatuan berbagai suku bangsa untuk kepentingan yang sama, yaitu perlawanan terhadap kolonialisme. 3) ketahanan sosial sebagai tujuan bersama dengan mengutamakan kepentingan nasional di atas kepentingan individu dan kelompok. Selain memiliki kesamaan kepentingan, Raden Ronggo melihat bahwa perbedaan suku dan ras tidak serta merta menjadi penghalang untuk bersatu melawan penjajahan Belanda yang mengancam kehidupan sosial mereka. Sehingga paradigma mengenai isu etnisitas dan rasialitas mengarah pada chauvinisme, namun dapat dikelola sebagai modal ketahanan sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.