Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Perbandingan Pemberian Cairan Koloid Co-loading dengan Infus Efedrin terhadap Pencegahan Hipotensi akibat Anestesi Spinal pada Seksio Sesarea Alifan Wijaya; Dewi Yulianti Bisri; Tatang Bisri
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 2 No 1 (2019): Maret
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v2i1.29

Abstract

Latar Belakang: Hipotensi merupakan komplikasi anestesi spinal pada seksio sesarea karena blokade simpatis akibat vasodilatasi arteri dan vena. Pemberian koloid co-loading dapat meningkatkan volume intravaskular sedangkan infus efedrin diharapkan terjadi vasokonstriksi. Tujuan: Untuk membandingkan pemberian efedrin dan cairan koloid co-loading dalam mencegah hipotensi akibat anestesi spinal pada seksio sesarea. Metode: Uji terkontrol acak buta tunggal pada 42 pasien seksio sesarea dengan anestesi spinal yang dilakukan di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung pada September sampai Oktober 2018. Subjek penelitian dibagi secara acak menjadi 2 kelompok yaitu kelompok pemberian infus efedrin dan kelompok pemberian koloid secara co-loading. Kelompok koloid diberikan cairan koloid sebanyak 7 mL/KgBB selama 20 menit sedangkan kelompok efedrin diberikan efedrin bolus 5 mg pada menit pertama dan kedua, kemudian 15 mg dalam infus selama 15 menit. Tekanan darah diukur setiap 1 menit selama 10 menit, kemudian setiap 3 menit sampai menit ke-45. Analisis statistik yang digunakan adalah uji T tidak berpasangan dan Mann Whitney. Hasil: penelitian menunjukan angka kejadian hipotensi lebih sedikit pada kelompok infus efedrin (5/21) dibandingkan dengan kelompok koloid (15/21) dengan perbedaan yang bermakna (p<0,05). Simpulan: penelitian ini menunjukan bahwa kejadian hipotensi pada pasien seksio sesarea yang dilakukan anestesi spinal lebih banyak pada kelompok koloid co-loading dibandingkan dengan kelompok infus efedrin. Comparison of Colloid Co-loading with Ephedrine Infusion on Prevention of Hypotension Due to Spinal Anesthesia in Cesarean Section Abstract Background: Hypotension is a complication of spinal anesthesia in cesarean section due to sympathetic blockade that causes arterial and venodilation. Administration co-loading of colloid can increase intravascular volume, whereas administration of ephedrine infusion expected to vasoconstric. Objective: To compare administration of co-loading colloid with ephedrine infusion on preventing hypotension due to spinal anesthesia in cesarean section. Method: A single blind randomized controlled trial in 42 patients who underwent cesarean section under spinal anesthesia, the physical status of ASA II which was randomly divided into 2 group administering ephedrine infusion and colloid co-loading. Colloid was given 7 ml/ Kg for 20 minutes, whereas ephedrine bolus 5 mg was given in the first and second minutes, then 15 mg in infusion for 15 minutes. Blood pressure is measured every 1 minute for 10 minutes, then every 3 minutes until the 45th minute. the statistical analysis used is unpaired T test and Mann Whitney. Results: The study showed a lower incidence of hypotension in the ephedrine infusion group (5/21) compared with the colloid group (15/21), this difference was statistically significant (p <0.05). Conclusions: This study show that the incidence of hypotension in cesarean section patients was more in the colloid group compared to the ephedrine group.
Pengelolaan Anestesi untuk Seksio Sesarea Kehamilan Triplet dengan Skor LAS Intraoperatif 6 Dewi Yulianti Bisri; Tatang Bisri
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 4 No 1 (2021): Maret
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v4i1.56

Abstract

Triplet (kembar tiga) dan kehamilan kembar yang lebih banyak lagi (higher multiple gestations) dihubungkan dengan peningkatan morbiditas ibu dan anak dibandingkan dengan kehamilan ganda atau kehamilan tunggal. Seksio sesarea adalah rute yang disukai untuk melahirkan pasien dengan kehamilan triplet. Seorang wanita, 31 tahun, G1P0A0 gravida aterm triplet hasil inseminasi, BB 72,5 kg, TB 168 cm, Mallampati 1, tekanan darah 130/90 mmHg, laju nadi 97x/menit, SpO2 100% dengan kanul binasal. Induksi dengan propofol 140 mg, atracurium 35 mg, intubasi dengan pipa endotrakheal no 6,5. Ventilasi mekanik dengan volume tidal 560 mL, laju nafas 12 x per menit, postive end expiratory pressure (PEEP) 5. Rumatan anestesi dengan N2O 40%, sevofluran 1-2 vol%. Analgetik fentanyl 100 ug diberikan setelah bayi lahir. Cairan RL 1500 mL, gelofusin 500 mL. Obat-obat lain: misoprostol 800 mcg perrectal, oxytocin 40 IU, methylergometrine 0,6 mg, asam traneksamat 1 gram, dextrose 40% 25 mL. Bayi ke-1 BB 2650 gr, pada jam 19.1, Apgar score 1 menit dan 5 menit 9, 10, Bayi ke-2 BB 2100 gr, Apgar score 1 menit dan 5 menit 9, 10, Bayi ke-3 BB 1900 gr, Apgar score 1 menit dan 5 menit 9, 10 lahir selang 1 menit. Tidak terjadi hipotensi, dan karena skor linear analog scale (LAS) 4-6 setelah terapi medikal maka dilakukan pengikatan uterus dengan tehnik B-Lynch suture, tidak terjadi postpartum hemorrhage, Hb postoperatif 10 g/dL, hematokrit 29%, tidak dilakukan transfusi darah. Analgetik pascabedah dengan petidin 100 mg dan dexketoprofen 100 mg dilarutkan dalam NaCl 0,9% 500 mL yang diberikan untuk 24 jam. Anesthesia Management for Caesarean Section Triplet Pregnancy with Intraoperative LAS Score 6 Abstract Triplet and higher multiple gestations associated with increase maternal and fetal morbidity compare with twin or singleton pregnancy. Caesarean section is route for delivery patient with triplet gestations. A woman, 31 years, G1P0A0 gravida aterm triplet insemination result, BW 72,5 kg, height 168 cm, Mallampati 1, blood pressure 130/90 mmHg, heart rate 97x/minute, SpO2 100% with canul binasal. Induction anesthesia with propofol 140 mg, atracurium 35 mg, intubated with endotracheal tube no 6,5. Mechanical ventilation with tidal volume 560 mL, respiratory rate 12 x per minutes, postive end expiratory pressure (PEEP) 5. Maintenance anesthesia with N2O 40%, sevoflurane 1-2 vol%. Analgetic fentanyl 100 ug given after baby delivery. Fluids with RL 1500 mL, gelofusin 500 mL. Other drugs are misoprostol 800 mcg perrectal, oxytocine 40 IU, methylergometrine 0.6 mg, tranexamic acid 1 gram, dextrose 40% 25 mL. First baby BW 2650 gr, Apgar score 1 minute and 5 minute 9, 10 at 19.21, second baby BW 2100 gr, Apgar score 1 minute and 5 minute 9, 10, third baby BW 1900 gr, Apgar score 1 minute and 5 minute 9, 10 delivered 1 minute interval. No evidence of hypotension and linear analog scale (LAS) score is 4-6 and so needed uterus binding with B-Lynch suture technique, no evidence of postpartum hemorrhage, postoperative Hb 19 g/dL, hematocrit 29%, no blood transfusion. Postoperative analgesia with petidine 100 mg and dexketoprofen 100 mg in NaCl 0,9% 500 mL for 24 hours.
Hematoma Subdural pada Bayi dengan Acquired Prothrombine Complex Deficiency (Apcd) Syndrome Di Rs. Hasan Sadikin Dari Juli 2010 Sampai Februari 2011 Fitri Sepviyanti Sumardi; Dewi Yulianti Bisri; Tatang Bisri
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 1, No 4 (2012)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (238.038 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol1i4.179

Abstract

Latar Belakang dan Tujuan: Acquired Prothrombine Complex Deficiency (APCD) adalah salah satu penyakit serius bayi, menyebabkan tingkat kematian yang tinggi, dan gejala sisa neurologis permanen pada penderita dengan hematoma subdural (SDH). Beberapa penelitian menyatakan tentang hubungan APCD dengan tingginya prevalensi menggunakan minuman ramuan tradisional disertai pembatasan asupan makanan pada ibu menyusui. Kadar Vitamin K2MK4 pada air susu ibu (ASI) yang menggunakan minuman ramuan tradisional ditemukan lebih rendah dari dibandingkan ASI dari ibu yang tidak menggunakan minuman ramuan tradisional.Subyek dan Metode: Enam kasus bayi dengan diagnosis SDH spontan karena APCD, ditinjau dari Juli 2010 sampai Februari 2011 di RS Hasan Sadikin Bandung. Data diambil meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, hasil CT-scan, hasil laboratorium, manajemen dan temuan selama pembedahan serta setelah pembedahan.Hasil: Semua enam bayi menunjukkan bukti memiliki riwayat, tanda dan gejala, dan gangguan perdarahan yang menuju kearah SDH karena APCD. Manajemen pada seluruh kasus di atas termasuk evaluasi awal CT scan, pengobatan intervensi APCD dan bedah menghasilkan hasil keluaran yang baik pada pasca pembedahan dan pemulangan dari rumah sakit.Simpulan: Faktor koagulasi berkepanjangan pada semua kasus menunjukkan risiko lebih tinggi untuk APCD pada bayi. Penatalaksanaan dini APCD prabedah dan pascabedah memberikan hasil yang baik. Tindakan kraniotomi evakuasi kurang dari 3 hari dari interval onset memberikan hasil yang baik pada skor Children Coma Scale (CCS). Subdural Hematoma in Neonates with Acquired Prothrombine Complex Deficiency (Apcd) Syndrome at Hasan Sadikin Hospital from July 2010 till February 2011 Background and Objective: APCD syndrome is one of the most serious diseases affecting infants. It leads to a high mortality rate and permanent neurological sequelae among the survivors when related with SDH. There are reports about high prevalence of using herb-liquor extracts and diet restriction among mothers of infants with the APCD syndrome. Vitamin K2MK4 levels in breast milk obtained from mothers who had used herb-liquor extracts were lower than vitamin K2MK4 levels in breast milk obtained from mothers who had not used herb-liquor extracts.Subject and Method: Six infant cases which diagnosed with spontaneous SDH due to APCD syndrome, reviewed from July 2010 to February 2011 at Hasan Sadikin Hospital Bandung. Data reviewed include history taking, physical examination, CT-scan results, laboratory results, management and findings during operationResult: All six infants showed evidence of having history, sign and symptoms, and bleeding disorder suggesting SDH due to APCD. Management on all cases above included early CT-scan evaluation, the treatment of APCD and immediate surgical intervention resulted on good outcome on post surgery result and hospital disposalConclusions: Prolonged coagulation factors on all cases suggest higher risk for APCD on the infant. Craniotomy evacuation surgery less than 3 days interval from onset immediately gave better outcome on Children Coma Scale (CSS) score.
Perbandingan Kejadian Agitasi pada Pasien Dewasa Bedah Rawat Jalan yang menjalani Anestesi Umum dengan Menggunakan Desfluran atau Sevofluran Andika C. Putri; A. Muthalib Nawawi; Tatang Bisri
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 2, No 1 (2013)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (11946.878 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol2i1.184

Abstract

Latar Bekang dan Tujuan: Agitasi pascaanestesi merupakan masalah yang kadang muncul pada pasien yang dilakukan anestesi umum. Masih terdapat kontroversi mengenai keuntungan relatif perioperatif dari penggunaan inhalasi desfluran atau sevofluran sebagai pemeliharaan anestesi pada pasien bedah rawat jalan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan besarnya kejadian agitasi pascaanestesi pada pasien bedah rawat jalan yang dilakukan anestesi umum dengan menggunakan desfluran atau sevofluran.Subjek dan Metode: Penelitian bersifat eksperimental prospektif dengan uji acak terkontrol buta tunggal, dilakukan pada 94 pasien bedah rawat jalan ASA I yang mendapat anestesi umum. Subjek dipilih acak dan dibagi dalam dua kelompok: kelompuk desfluran mendapat anestesi pemeliharaan dengan desfluran dan kelompok sevofluran mendapat sevofluran. Kedua kelompok di induksi dengan propofol 2 mg/kgbb, fentanyl 2µ/kgbb, atrakurium 0,1 mg/kgbb, kemudian dilakukan pemasangan LMA (Laryngeal Mask Airway). Untuk pemeliharaan anestesi, subjek dipilih secara acak mendapatkan desfluran atau sevofluran. Monitoring standar termasuk laju nadi, laju napas, tekanan darah non invasif, saturasi, temperatur, dikur secara kontinyu dengan mesin monitor. Anestetika volatil dihentikan ketika prosedur bedah telah selesai dilakukan. Dilakukan penilaian agitasi pada pasien sejak LMA dilepaskan, penggunaan obat-obat anestesi telah dihentikan, kemudian pada menit ke 5, 10, 15, 20, 25, 30, dst setiap lima menit sampai dengan 120 menit setelahnya dengan menggunakan Riker Agitation-Sedation Scale/Skala Agitasi-Sedasi Riker. Di ruang pemulihan, dilakukan juga pencatatan data hemodinamik, penilaian VAS pada pasien, pemberian analgetik tambahan serta Modified Aldrete Score.Hasil: Dari hasil pengamatan didapatkan 7 pasien mengalami agitasi pascaanestesi dari 47 sampel kelompok desfluran (14,9%), sedangkan hanya 5 pasien yang mengalami agitasi dari 47 sampel kelompok sevofluran (10,6%). Meskipun secara frekuensi kejadian agitasi pascaanestesi pada kelompok desfluran lebih besar dibandingkan dengan kelompok sevofluran, namun perbedaan tersebut tidak bermakna secara statistik. Tidak terdapat perbedaan bermakna dari data hemodinamik kedua kelompok perlakuan selama observasi masa pemulihan anestesi. Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik dalam hal perbandingan lama bangun, kelompok desfluran lebih cepat bangun dibanding dengan kelompok sevofluran. Kelompok desfluran lebih cepat mencapai skor 10 dari modifikasi Aldrete dibvandingkan dengan kelompok sevofluran.Simpulan: Perbandingan besarnya kejadian agitasi pada kelompok yang dilakukan anestesi umum menggunakan desfluran dengan kelompok yang menggunakan sevofluran secara statistik tidak terdapat perbedaan yang bermakna. Prosentase agitasi pada kedua kelompok dapat dikatakan tidak terlalu tinggi jumlahnya, sehingga desfluran maupun sevofluran masih baik digunakan untuk pasien bedah rawat jalanThe Comparative of Agitation Incidency in Adult one day Surgery with General Anesthesia Desflurane or SevofluraneBackground and Objective: Postoperative agitation is a problem that sometimes occurs in patients who underwent general anesthesia. There is still controversy about the relative advantages of the use perioperative desflurane or sevoflurane inhalation as maintenance of anesthesia in ambulatory surgical patients. This study aims to determine the comparative magnitude of the incidence of post-operative agitation with ambulatory sugery performed under general anesthesia using desflurane or sevoflurane.Subjects and Methods: Experimental studies with a prospective single blind randomized controlled trial conducted in 94 surgical patients ASA I outpatient who received general anesthesia. Subjects were randomly selected and divided into two groups: group desflurane received maintenance anesthesia with sevoflurane group received desflurane and sevoflurane. The two groups in induction with propofol 2 mg / kgbb, fentanyl 2µ / kgbb, atrakurium 0.1mg / kgbb, then do  the installation of LMA (Laryngeal Mask Airway) was installed. For maintenance of anesthesia, subjects were randomly selected to get desflurane or sevoflurane. Standard monitoring including pulse rate, breathing rate, non-invasive blood pressure, saturation, temperature, measured continuously with engine monitor. Anestetika volatile suspended when the surgical procedure has been completed. An assessment of agitation in patients since the LMA is released, the use of anesthetic drugs have been discontinued, and at minute 5, 10, 15, 20, 25, 30, and so on every five minute to  120 minutes later by using the using the Riker Agitation-Sedation Scale / Riker's Agitation-Sedation Scale. In the recovery room, also performed hemodynamic data recording, the patients VAS  assessment, provision of additional analgesic and Modified Aldrete Score.Results: result found 7 patients experienced postoperative agitation desflurane group of 47 samples (14.9%), whereas only 5 patients with agitation of 47 samples sevoflurane group (10.6%). Although the frequency of occurance of postoperative agitation in desflurane group large than the sevoflurane group, but the difference was not statiscally significant. There were no significant differences in hemodynamic data from both treatment groups during the observation period of anethesia recovery. There was no statiscally significant differences in terms of comparison longer wake up, wake up faster desflurane group compared with the sevoflurane group. Desflurane group more quickly achieve a score of 10 from the scoring modification aldrete compared with sevoflurane groupConclusion: The Comparative magnitude of the incidence of agitation in the group that performed under general anesthesia using desflurane with the use of sevoflurane group was statistically no significant difference. The percentage of agitation in two groups can be said is not very high number, so desflurane and sevoflurane are both used for outpatient surgery patients
Terapi Hipotermi setelah Cedera Otak Traumatik Dewi Yulianti Bisri; Tatang Bisri
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 3, No 3 (2014)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2235.805 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol3i3.148

Abstract

Mekanisme proteksi otak hipotermi adalah mengurangi kebutuhan metabolik, cerebral metabolic rate for oxygen (CMRO2), eksitotoksisitas, menurunkan pelepasan glutamat, menurunkan pembentukan radikal bebas, mengurangi pembentukan edema, stabilisasi membran, memelihara adenosine triphosphate (ATP), menurunkan influx Ca, dan tekanan intrakranial. Sedangkan komplikasi hipotermi berat adalah pneumonia, sepsis, disritmia jantung, hipotensi, masalah perdarahan dan menggigil. Temperatur ideal untuk hipotermia terapeutik adalah 35 0C. Pertanyaan untuk terapi hipotermik (HT) adalah bagaimana mekanisme terapi hipotermi sebagai protektor otak? Berapa derajat C penurunan suhu tubuhnya? Bagaimana cara melakukan penurunan suhu? Berapa cepat hipotermia harus dicapai? Berapa lama hipotermi dipertahankan? Bagaimana memulihkan ke normotermi (rewarming)? Bagaimana hasilnya? Apakah ada penelitian yang sedang berlangsung? Untuk menggunakan hipotermia sebagai neuroprotektor, diperlukan mencapai keadaan hipotermi secepat mungkin setelah cedera dan pertahankan pada level aman. Metode hipotermi terapeutik adalah pendinginan permukaan tubuh, pendinginan endovaskuler, pendinginan kepala. Selama penghangatan kembali pasien dengan hipertensi intrakranial telah diketahui bisa terjadi peningkatan tekanan intrakranial selama pemanasan yang cepat. Dianjurkan pemanasan lambat lebih dari 12 jam dengan kecepatan 0,1 0C/jam. Sebagai simpulan, hipotermi terapeutik masih kontroversi, tapi dalam situasi klinik pertahankan suhu pasien 35 0C dan harus dihindari temperatur lebih dari 37 0C. Untuk mencapai suhu inti 35 0C dianjurkan digunakan metode pendinginan permukaan tubuh. Hypothermia Therapy after Traumatic Brain InjuryThe mechanism of hypothermia as neuro protector are by reducing metabolic demand of the brain, cerebral metabolic rate of oxygen (CMRO2), excitotoxicity, decrease the glutamate release, reduction of free radical formation, edema formation, membrane stabilization, maintains adenosine triphosphate (ATP), decrease in Ca influx, and intracranial pressure. In the order hand, complication of deep hypothermia are pneumonia, sepsis, cardiac dysrrhythmia, hypotension, bleeding problem and shivering. The ideal temperature for therapeutic hypothermia is 35 0C. Question arised for hypothermic therapy (HT) are what is the therapeutic mechanism of HT as neuroprotective? What is the proper degree for hypothermia? What can we do to induce hypothermia? How soon should we do the HT? How long hypothermia should be maintain? How to restore normothermia (rewarming)? What is the result? Is there any ongoing research?. For the use hypothermia as one of neuroprotective therapy, it is necessary to implement it as soon as possible after the insult and to maintain it at the lowest safe level. Methods of therapeutic hypothermia are surface cooling, endovascular cooling, as well as selective head cooling. During rewarming, patients with intracranial hypertension are known to have reflex that would increase ICP during rapid rewarming. Slow rewarming over a period of 12 hrs at the rate of 0.1 0C/hr is desirable. As conclusion, therapeutic hypothermia still controversial, but in clinical situation keep the patient 35 0C is desirable and temperature more than 37 0C should be avoided. To reach core temperature 35 0C, surface cooling is recommended.
Penatalaksanaan Anestesi untuk Tumor Neuroendokrin Syafruddin Gaus; Tatang Bisri
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 1, No 3 (2012)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (711.938 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol1i3.172

Abstract

Tumor neuroendokrin sering ditemukan pada orang dewasa dengan angka kejadian 10%-15% dari seluruh neoplasma intrakranial dan tertinggi pada dekade ke 4 sampai ke 6 kehidupan. Penderita dengan tumor neuroendokrin mempunyai tantangan yang unik untuk dokter ahli anestesi karena peranan yang penting kelenjar hipofise pada sistem endokrin.Tantangan ini mulai saat pemeriksaan prabedah dan berlanjut selama operasi serta periode pascabedah. Banyak teknik anestesi dan obat anestesi yang dapat diberikan pada pembedahan tumor neuroendokrin. Pemilihan obat anestesi tergantung pada penyakit komorbititas penderita dan riwayat anestesi sebelumnya. Apabila diinginkan penderita cepat sadar untuk segera dilakukan pemeriksaan neurologik maka dapat digunakan obat-obat yang cepat dieliminasi (misalnya propofol dan remifentanil) atau anestetika inhalasi dengan kelarutan dalam darah yang rendah (misalnya sevofluran) merupakan pilihan yang rasional. Keberhasilan pembedahan dan penatalaksaan anestesi pada penderita tumor neuroendokrin memerlukan pendekatan multidisiplin dan sangat tergantung pada kualitas perawatan perioperatif. Anesthesia Management for Neuroendocrine TumorNeuroendocrine tumor is commonly in adult patient with incidence 10-15% in all of intracranial neoplasm and highest at 4th-6th of life decade. Patients with neuroendocrine tumor have an unique challange for anesthesiologist because the important role of pituitary gland in endocrine system. The challange came during preoperative, intraoperative and postoperative periode. Many of anesthesia technique and anesthetics can use for neuroendocrine tumors surgery. The choice of anesthetics depend on comorbid diseases and history of anesthesia previously. If needed fast emergens for neurological evaluation, it can be use drug with fast elimination (ex propofol and remifentanil) or inhalation anesthetic with low coefficient partition (ex sevoflurane) is rational choice. The successful surgery and anesthesia management for neuroendocrine patient need multidisipline approach and depend on the quality of postoperative care.
Anestesi untuk Bedah Saraf pada wanita Hamil Dewi Yulianti Bisri; Tatang Bisri
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 2, No 1 (2013)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (11248.623 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol2i1.192

Abstract

Kelainan neurologic yang memerlukan intervensi bedah dari waktu ke waktu bertambah banyak, yang dapat berupa cedera otak traumatic stroke perdarahan atau tumor serebri pengelolaan anestesi pada pasien-pasien ini sulit dengan adanya perubahan fisiologik ibu yang terjadi selama kehamilan. Perubahan-perubahan ini memerlukan perhatian dalam pengeloalaan anestesi yang dipertimbangkan tidak tepat untuk wanita yang tidak hamil dengan kondisi neurologic yang sama. Bedah saraf jarang dilakukan pada wanita hamil, tapi diperlukan pendekatan multi disiplin dan pertimbangan hati-hati untuk operasi dan melahirkan bayi. Diperlukan modifikasi praktik obstetric dan neuroanestesi untuk mengakomodasi tindakan yang aman untyuk ibu dan fetus. Anesthesia  for Neurosurgery in The Pregnant PatientNeurologic disorders requiring surgical intervention more and more caused by traumatic brain injury, haemorrhagic strokes, or brain tumors. The anesthetic management of these patients can be complicated by the significant maternal physiologic changes that occurs during pregnancy. These changes may require alteration in anesthetic management that would considered inappropriate for a nonpregnant patient with the same neurological condition. Neurosurgery is infrequent required during pregnancy, but mandates multidisciplinary approach and careful  cionsideration of the time of both surgery and delivery. Modification of neuroanesthetic and obstetrics practice to accodate  the safety requirements of the mother and fetus may be required