Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Pengecualian Narapidana Tertentu dalam Permenkumham No. 10 Tahun 2020 tinjauan Maslahah Mursalah Vatta Arisva; Moh. Tamtowi
Media Syari'ah : Wahana Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial Vol 24, No 2 (2022)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v24i2.14805

Abstract

Dalam pandemi covid-19 di lembaga pemasyarakatan, Menteri Hukum dan HAM sebagai perpanjangan tangan pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memberikan hak asimilasi dan intergrasi bagi dan anak dalam peraturan Menteri Nomor 10 Tahun 2020. Namun dalam pemberlakuannya, kebijakan ini untuk mendapatkan hal tertentu. Oleh karena itu, muncullah pertanyaan tentang bagaimana kebijakan yang akan diberlakukan tertentu? Dan bagaimana analisis Maslahah Mursalah terhadap kebijakan yang mengecualikan hubungan tertentu?. Penelitian ini sebagai penelitian kualitatif normatif, dengan pendekatan pendekatan undang-undang dan penggunaan data sekunder sebagai bahan hukum dan aturan hukum sebagai bahan primernya. Sehingga, hasil penelitian ini mengungkapkan fakta bahwa Pertama, kebijakan pengambilan terhadap tindakan melaluiimilasi dan integrasi dengan mengecualikan keputusan tertentu maka ditetapkan dengan dua pertimbangan yaitu, berdasarkan pertimbangan sosial terhadap masyarakat dengan rasa keadilan dan pertimbangan hukum berdasarkan aturan No. 99 Tahun 2012 sebagai perubahan terakhir tentang pengajuan pengajuan kepada terpidana. Kedua , berdasarkan asaslahah mursalah bahwa kebijakan yang menentukan spesifik pada masa pandemi covid-19 berdasarkan tingkat akan kemasatan, artinya bahwa yang lebih utamakan adalah memelihara maslahah dharuriyat dari pada maslahah hajiyah dan maslahah tahsiniyah. Pokok kemaslahatan dahuriyat yang menjadi catatan dalam hal-hal tersebut antara lain kemaslahatan dalam menjagaan terhadap memelihara umat ( hifdz ummah) dan menjagaan terhadap memelihara jiwa ( hifdz nafs ).
MINAL `ILMI ILA AL-HADHARAH (THE URGENCY OF CHARACTER BUILDING IN ISLAMIC EDUCATION) Moh. Tamtowi
Jurnal Penelitian Progresif Vol 1 No 1 (2022): MARCH 2021 - AUGUST 2022
Publisher : CV Naskah Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61992/jpp.v1i1.50

Abstract

Character building (character formation) is a basic goal in education. Character formation can be realized if the process of internalizing values ​​is successful. Values ​​that are lived and internalized in the soul will encourage the birth of new, innovative and dynamic creations. The essence of life is movement, the law of life is creation, so create a new, better world order of civilization. To build an advanced civilization, it is necessary to have a quality and forward-oriented education system. Education will be able to build an advanced mindset if the pattern of scientific development has an integralistic-encyclopedic pattern. The integralistic pattern necessitates continuous scientific dynamics in order to build an advanced civilization.
The Silent Tarekat in Islamic Law: Legal Consciousness and the Chishti Sufi Legacy of the Tablighi Jamaat Anshori, Ahmad Yani; Abdurrahman, Landy Trisna; Tamtowi, Moh.; Musaffa, Muhamad Ulul Albab
AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah Vol. 25 No. 1 (2025)
Publisher : Universitas Islam Negeri Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/ajis.v25i1.44979

Abstract

This article explores the silent legal and spiritual framework of the Tablighi Jamaat (TJ) in Indonesia, drawing on fieldwork, interviews, and textual analysis. While TJ does not claim to be a Sufi order (ṭarīqah), its practices suggest a reconfiguration of the Chishti-Ḥanafī legacy within a non-institutional framework. The study argues that TJ operates as a "silent tarekat", where fiqh is embodied through routines of taʿlīm, khurūj, and adab, rather than articulated through fatwā or formal legal discourse. The article traces how collective reasoning (mushāwarah), ethical discipline, and ritual repetition form an alternative legal consciousness that resists codification but remains deeply normative. Drawing from Talal Asad's theory of discursive tradition and Ibn' Arabi's notion of 'ilm al-aḥwāl, the paper shows how authority, legality, and spirituality are distributed through embodied discipline rather than textual claims. Contrasting with mainstream Islamic institutions in Indonesia like NU, Muhammadiyah, and MUI, which rely on fatwā issuance and formal jurisprudence, TJ emphasizes humility, action, and affective cohesion. The article concludes that TJ represents a post-ṭarīqah legal formation, silent, affective, and decentralized, redefining Islamic normativity through practice rather than proclamation.   Abstrak Artikel ini menelusuri kerangka hukum dan spiritual Jamaah Tabligh (JT) di Indonesia yang bersifat diam-diam namun terstruktur, berdasarkan observasi lapangan, wawancara, dan kajian teks. Meskipun Jamaah Tabligh tidak mengklaim diri sebagai tarekat, namun praktiknya menunjukkan konfigurasi ulang warisan Chishti-Ḥanafī dalam bentuk non-institusional. Artikel membawa argumentasi bahwa JT berfungsi sebagai “silent tarekat,” yang mana hukum Islam (fiqh) diwujudkan melalui rutinitas ta’līm, khurūj, dan adab, bukan melalui fatwa atau diskursus hukum formal. Artikel ini mencoba melacak bagaimana musawarah, disiplin etis, dan pengulangan ritual membentuk kesadaran hukum alternatif yang tidak tersusun secara kodifikasi, namun tetap normatif. Mengacu pada teori tradisi diskursif Talal Asad dan konsep ‘ilm al-aḥwāl dari Ibn ʿArabi, tulisan ini menunjukkan bahwa otoritas, legalitas, dan spiritualitas dalam JT tersebar melalui disiplin tubuh, bukan klaim tekstual. Berbeda dengan arus utama lembaga Islam di Indonesia seperti NU, Muhammadiyah, dan MUI yang bergantung pada fatwa dan fikih formal, Jamaah Tabligh menekankan kerendahan hati, amal, dan kohesi afektif. Artikel ini menyimpulkan bahwa Jamaah Tabligh merepresentasikan formasi hukum pasca-tarekat—diam, afektif, dan terdesentralisasi—yang menata ulang normativitas Islam melalui praktik, bukan pernyataan.