Perkawinan menurut hukum adat di Bali berlaku sistem kekerabatan Patrilinial dalam arti berguru laki (purusa), namun dapat dikecualikan jika terjadi perkawinan sentana rajeg yaitu perubahan status perempuan menjadi purusa (laki-laki). Sehingga dapat diartikan bahwa sistem kekerabatan Patrilinial berarti berpedoman kepada garis purusa. Tujuan perkawinn adalah untuk memperoleh keturunan, utamanya keturunan purusa. Permasalahan yang terjadi adalah bagaimana jika dalam perkawinan itu tidak bisa melahirkan keturunan?, sehingga untuk memperoleh anak menggunakan proses melalui suatu alat teknologi inseminasi buatan (bayi tabung), bukan melalui proses biologi, apakah anak tersebut diakui menurut adat Bali (menurut hukum Hindu)?. Pendapat tentang hal itu sangat kontroversial, karena Adat Bali sebagai pengejawantahan Hukum Hindu yang berpedoman kepada Kitab Menawa Dharmasastra. Sedangkan dalam Kitab Menawa Dharma Sastra tidak diatur tentang hal itu. Pandangan umat Hindu menganggap bahwa kelahiran anak melalui proses ini dianggap sudah melanggar ketentuan atau kuasa Tuhan. Namun dilihat dari tujuan dilakukan proses ini, sebagai jalan keluar dari kesulitan akibat tidak dapat hamil dengan cara alami (dengan cara senggama), maka perlu ditolong melalui cara inseminasi buatan dan bayi tabung, sepanjang metode yang dipergunakan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, yakni metode pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang sah yang ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum tersebut .berasal. Dengan demikian, secara inklusif kedudukan anak tersebut dapat dipersamakan dengan anak kandung, sehingga mereka mempunyai hubungan alimentasi baik secara keperdataan maupun pewarisan