p-Index From 2020 - 2025
1.332
P-Index
This Author published in this journals
All Journal Jurnal Yustitia
I Dewa Made Rasta
Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai

Published : 16 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 16 Documents
Search

PENDAFTARAN TANAH LABA PURA DI BALI SETELAH KELUARNYA SURAT KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI Nomor: SK.556/DJA/1986 I Dewa Made Rasta
Jurnal Yustitia Vol 12 No 2 (2018): Yustitia
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tanah tidak saja diperlukan oleh semua makhluk hidup, tapi juga oleh badan- badan hukum termasuk badan hukum keagamaan dalam hal ini adalah Pura. Walaupun UUPA dengan PP No. 38 tahun 1963 telah menentukan badan-badan hukum yang boleh mempunyai hak milik atas tanah, namun untuk Pura di Bali karena belum ditunjuk sebagai badan hukum keagamaan yang boleh mempunyai hak milik atas tanah, maka status kepemilikan tanahnya masih pemilikan menurut hukum adat. Kemudian dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor : SK.556/DJA/1986 tentang penunjukkan Pura sebagai badan hukum keagamaan yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, maka sejak itu status tanah laba Pura di Bali adalah berstatus hak milik Pura (hak milik menurut UUPA dan tidak lagi hak milik menurut hukum adat). Dengan demikian, maka tanah-tanah Laba Pura tersebut wajib didaftarkan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 dan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 yang telah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Namun dalam kenyataan masih banyak tanah-tanah Laba Pura di Bali yang belum didaftarkan di Kantor Pertanahan guna memperoleh Sertipikat sebagai tanda bukti hak milik atas tanah dan untuk menjamin adanya kepastian hukum.
FUNGSI AWIG-AWIG DALAM MENGATUR KRAMA DESA PAKRAMAN DI BALI I Dewa Made Rasta
Jurnal Yustitia Vol 12 No 1 (2018): Yustitia
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Manusia berdasarkan kodratnya selalu hidup bersama dengan manusia lainnya baik dalam kelompok yang kecil maupun kelompok yang besar. Adapun yang mendorong manusia hidup bersama (bermasyarakat) adalah faktor biologis seperti kodrat untuk memenuhi keperluan hidup, hasrat membela diri dan hasrat untuk mengadakan keturunan. Disamping itu mereka hidup bersama juga karena faktor lain yang bersifat non biologis seperti, adanya ikatan darah, persamaan nasib, agama dan bahasa. Manusia di dalam kehidupan bermasyarakat sudah jelas memiliki berbagai kepentingan. Kepentingan manusia yang satu dengan yang lainnya adakalanya bersamaan dan ada kalanya bertentangan. Di dalam pemenuhan berbagai kepentingan dan kebutuhan hidup tersebut, agar tidak terjadi kekacauan, melainkan suatu keteraturan atau ketertiban dan kedamaian, maka diperlukan adanya petunjuk hidup. Petunjuk hidup ini lazim disebut dengan kaedah (norma), yaitu memberi petunjuk kepada manusia tentang perbuatan apa yang boleh dilakukan dan perbuatan apa yang tidak boleh dilakukan. Kaedah (norma) yang terdapat di Desa Pakraman di Bali dituangkan di dalam Awig-awig Desa/Banjar Pakraman. Awig-awig inilah berfungsi dipakai sebagai pedoman dan ditaati agar tercipta ketertiban, ketentraman dan kedamaian diantara anggota masyarakat (krama desa) itu sendiri.
KORBAN KEKERASAN PEMBANTU RUMAH TANGGA DI DESA BURUAN, KECAMATAN BLAHBATUH, KABUPATEN GIANYAR I Dewa Made Rasta
Jurnal Yustitia Vol 13 No 1 (2019): Yustitia
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Dengan banyaknya terjadi kasus kekerasan dalam lingkup rumah tangga, maka pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Penetapan Undang-Undang ini diharapkan mampu memberi perlindungan hukum bagi mereka yang menjadi korban kekerasan dalam lingkup rumah tangga, baik itu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, atau penelantaran rumah tangga. Disamping itu dengan ditetapkan undang-undang tersebut pula untuk mencegah terjadinya segala bentuk kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Namun dalam kenyataannya masih banyak juga terjadi kekerasan dalam lingkup rumah tangga di Indonesia. Pada tanggal 7 Mei 2019 terjadi kekerasan terhadap pembantu rumah tangga yang dilakukan oleh majikannya di Desa Buruan, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 disebutkan; kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Lingkup rumah tangga seperti yang dimaksud dalam undang-undang tersebut diatas meliputi suami, istri dan anak, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga yang menetap dalam rumah tangga, dan/atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Pelaku kekerasan dalam lingkup rumah tangga dapat dikenakan sanksi pidana menurut undang-undang.
TINDAK PIDANA ADAT DI BALI DAN SANKSI ADATNYA I Dewa Made Rasta
Jurnal Yustitia Vol 13 No 2 (2019): YUSTITIA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Menurut hukum adat segala perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum adat merupakan perbuatan illegal sehingga hukum adat mengenal ikhtiar-ikhtiar untuk memperbaiki hukum (Rechsherstel) jika hukum itu dilanggar. Perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat ini, sering disebut dengan “delik adat” atau “tindak pidana adat”. Tindak pidana adat adalah semua perbuatan atau kejadian yang bertentangan dengan kerukunan, ketertiban, keamanan, rasa keadilan, dan kesadaran masyarakat yang bersangkutan, baik hal itu sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, sekelompok orang maupun perbuatan yang dilakukan oleh pengurus adat itu sendiri. Perbuatan yang demikian itu dipandang dapat menimbulkan kegoncangan karena mengganggu keseimbangan kosmos serta menimbulkan reaksi dari masyarakat berupa sanksi adat. Dalam tindak pidana adat itu, pada pokoknya terdapat empat unsur penting yaitu ada perbuatan yang dilakukan oleh perseorangan, kelompok atau pengurus adat sendiri, perbuatan itu bertentangan dengan norma-norma hukum adat, Perbuatan itu dipandang dapat menimbulkan kegoncangan karena mengganggu keseimbangan dalam masyarakat, dan atas perbuatan itu timbul reaksi dari masyarakat yang berupa sanksi/kewajiban adat. Di Bali masih dikenal empat jenis tindak pidana adat/pelanggaran adat/delik adat yaitu tindak pidana adat yang menyangkut kesusilaan, tindak pidana adat yang menyangkut harta benda, tindak pidana yang berhubungan dengan kepentingan pribadi dan pelanggaran adat karena kelalaian atau tidak menjalankan kewajiban terhadap desa adat. Begitu pula mengenai sanksi adat, di Bali terdapat tiga jenis sanksi adat yang dikenal dengan sebutan tri danda yang terdiri dari artha danda, yaitu tindakan hukum berupa penjatuhan denda (berupa uang atau barang), jiwa danda, tindakan hukum berupa pengenaan penderitaan jasmani maupun rohani bagi pelaku pelanggaran (hukuman fisik dan psikis) dan sangaskara danda, berupa tindakan hukum untuk mengembalikan keseimbangan magis (hukuman dalam bentuk melakukan upacara agama).
KEKERASAN SEKSUAL YANG DILAKKAN OLEH AYAH TERHADAP ANAK DI DESA ADAT MUNTIGUNUNG KECAMATAN KUBU KABUPATEN KARANGASEM I Dewa Made Rasta
Jurnal Yustitia Vol 14 No 1 (2020): Yustitia
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Undang-Undang mengamanatkan bahwa Anak sebagai tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak sebagaimana diadakan perubahan pertama dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dan perubahan kedua dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 yang mengamanatkan adanya kontrol kolektif dalam bentuk keterlibatan negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga dan orang tua atau wali dalam memberikan perlindungan terhadap anak, hal itu seharusnya dapat mencegah munculnya segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan seksual terhadap anak. Dengan banyaknya kasus kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga, maka pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Penetapan Undang-Undang ini diharapkan mampu memberi perlindungan hukum bagi mereka yang menjadi korban kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Disamping itu dengan ditetapkannya Undang-Undang tersebut diharapkan pula untuk mencegah terjadinya segala bentuk kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Namun dalam kenyataannya masih banyak juga terjadi kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga di beberapa daerah di Indonesia, termasuk di beberapa daerah di Bali. Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada pasal 1 angka 1 disebutkan kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Dalam butir 2 Undang - Undang Nomor 23 tahun 2004 menyatakan Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DI KAFE JELITA JALAN DANAU TEMPE SANUR DENPASAR SELATAN KODYA DENPASAR I Dewa Made Rasta
Jurnal Yustitia Vol 14 No 2 (2020): Yustitia
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tindak pidana pembunuhan, penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang lain belakangan ini banyak sekali terjadi dibeberapa daerah di Indonesia, termasuk di Bali seperti salah satu contoh kasus yang terjadi di Kafe Jelita Jalan Danau Tempe Sanur Denpasar Selatan, Oktober 2020. Pemilik Kafe nekat menebas seorang pengunjung hingga menewaskan korban bernama I Gusti Made Suarjana alias Gung Monjong. Pada kasus ini dapat dikemukakan faktor penyebabnya yaitu, pertama korban I Gusti Made Suarjana alias Gung Monjong menodongkan pisau ke wajah Farhatin pelayan Kafe Jelita masalah tarif hubungan badan. Kedua, korban I Gusti Made Suarjana melakukan penusukan dengan pisau terhadap penjaga Kafe Jelita, Paris Pratama Putra. Faktor penyebab berikutnya yaitu dari si pelaku Imam Arifin pemilik Kafe Jelita yang emosinya tidak bisa terbendung setelah melihat penjata kafe miliknya ditusuk dengan pisau oleh korban I Gusti Made Suarjana. Dalam hal ini I Gusti Made Suarjana adalah sebagai tindak pidana dan juga sebagai korban tindak pidana. Tersangka Imam Arifin dijerat pasal 338 KUHP tentang tindak pidana pembunuhan dengan ancaman pidana penjara paling lama lima belas tahun, atau pasal 351 ayat (3) KUHP tentang penganiayaan yang mengakibakan mati dengan ancaman pidana penjara paling lama tujuh tahun.
PENCURIAN YANG DIDAHULUI DENGAN PEMBUNUHAN DILAKUKAN OLEH ANAK DI DESA UBUNG KAJA KECAMATAN DENPASAR UTARA KOTA DENPASAR I Dewa Made Rasta
Jurnal Yustitia Vol 15 No 1 (2021): YUSTITIA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Seorang wanita pegawai Bank Mandiri Cabang Kuta, Badung bernama Ni Putu Widiastuti, 24 tahun, ditemukan tewas bersimbah darah di rumahnya di Desa Ubung Kaja, Kecamatan Denpasar Utara, Senin, 28 Desember 2020 pagi pukul 09.00 wita. Kasus pembunuhan sadis dan pencurian tersebut, akhirnya berhasil diungkap. Pelaku pembunuhan adalah anak berusia 14 tahun berinisial Putu AHP, kelahiran Singaraja (Buleleng), 30 Juni 2006, tinggal di rumah kos-kosan bersama orang tuanya yang berjarak ± 25 meter dari rumah korban. Pelaku ditangkap polisi di Terminal Penarukan Singaraja, Kecamatan Buleleng, Kamis 31 Desember 2020, selanjutnya pelaku dibawa ke Denpasar untuk diamankan dan diproses di Mapolresta Denpasar. Sidang kasus pencurian dengan kekerasan digelar secara online/teleconference di Pengadilan Negeri Denpasar. Majelis hakim yang diketuai Hari Suprianto dalam amar putusannya menyatakan terdakwa Putu AHP terbukti bersalah melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan korban Ni Putu Widiastuti meninggal dunia, sesuai dengan ketentuan pasal 365 ayat (3) KUHP, dengan ancaman pidana paling lama 15 tahun. Oleh karena terdakwa masih dibawah umur atau anak, maka majelis hakim menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa Putu AHP selama 7,5 tahun. Hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa diluar batas kewajaran menghilangkan nyawa seseorang. Terdakwa dalam melakukan perbuatannya sudah mempersiapkan senjata, jadi ada niat jahat disini. Sedangkan hal yang meringankan, terdakwa masih anak-anak, masa depannya masih panjang dan bisa dibina. Atas putusan majelis hakim tersebut, jaksa, terdakwa, menerima putusan hakim tersebut. Membahas masalah kejahatan maupun pelaku kejahatan, tidak cukup hanya pada penjatuhan hukuman/pidana. Namun yang lebih penting adalah mencari faktor penyebab pelaku melakukan kejahatan dan upaya penanggulangannya. Kata kunci : pembunuhan, pencurian, anak, faktor penyebab, penerapan sanksi Abstract A young woman, who was an employee of Bank Mandiri Kuta Branch, Badung, named Ni Putu Widiastuti, 24 years old, was found dead covered in blood at her house in Ubung Kaja Village, North Denpasar District, on Monday morning, December 28, 2020 at 09.00 WITA. This sadistic murder and theft case was finally resolved. The perpetrator of the murder was a 14-year-old boy with the initials Putu AHP, born in Singaraja (Buleleng), on June 30, 2006, living in a boarding house with his parents, which is about 25 meters from the victim's house. The perpetrator was arrested by the police at Penarukan Terminal in Singaraja, Buleleng, on Thursday 31 December 2020, then the perpetrator was taken to Denpasar to be secured and processed at the Denpasar Police Headquarters. The trial of violent theft case is held online / by teleconference at the Denpasar District Court. The panel of judges chaired by Hari Suprianto in the verdict stated that the defendant Putu AHP was found guilty of committing a crime of theft with violence which resulted in the death of victim Ni Putu Widiastuti, in accordance with the provisions of Article 365 paragraph (3) of the Criminal Code, with a maximum sentence of 15 years. As the defendant was still a minor or an underaged, the panel of judges sentenced defendant Putu AHP to 7.5 years. The burdensome thing was that the defendant's actions were out of the ordinary, which would take someone's life. In doing his action, the defendant had prepared a weapon, so there was an evil intent here. Meanwhile, to moderate it, the defendant is still an underaged, his future is still long and can be developed. On the judges panel verdict, the prosecutor and the defendant accepted the judge's decision. Discussing the problem of crime and criminals, it is not only just to impose a sentence / crime. What is more important is to find the factors that cause the perpetrators to commit crimes and efforts to overcome them. Keywords: murder, theft, children, causative factors, application of sanctions
KEKERASAN SEKSUAL DILAKUKAN AYAH TERHADAP ANAKNYA SELAMA 4 TAHUN DI DESA KEROBOKAN KECAMATAN SAWAN KABUPATEN BULELENG I Dewa Made Rasta
Jurnal Yustitia Vol 15 No 2 (2021): Yustitia
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, diadakan perubahan pertama dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, diadakan perubahan kedua dengan Peraturan Pemerntah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016. Begitu pula Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Ruman Tangga, diharapkan mampu untuk mencegah segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan seksual terutama kekerasan seksual terhadap anak. Namun belakangan ini banyak sekali terjadi kasus kekerasan seksual terhadap anak di beberapa kabupaten di Bali. Mirisnya kekerasan seksual dalam bentuk persetubuhan dilakukan oleh ayah terhadap anaknya sendiri, seperti yang terjadi di Kabupaten Tabanan, Gianyar, Klungkung, Karangasem dan Buleleng. Di Buleleng kasus kekerasan seksual sejak awal Januari hingga Agustus 2021 tercatat sudah ada 6 kasus. Kasus seorang ayah berinisial Nyoman S, umur 47 tahun tega melakukan kekerasan seksual/ menyetubuhi anaknya sendiri berinisial Putu LM, selama 4 tahun sejak anaknya berumur 15 tahun hingga berumur 19 tahun di Desa Kerobokan, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng. Yang menjadi permasalahan dalam pembahasan kasus ini yaitu faktor apa yang menyebabkan ayah melakukan kekerasan seksual terhadap anaknya, dan bagaimana sanksi terhadap ayah yang melakukan kekerasan seksual terhadap anaknya di Desa Kerobokan, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng.
PENDAFTARAN TANAH LABA PURA DI BALI SETELAH KELUARNYA SURAT KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI Nomor: SK.556/DJA/1986 I Dewa Made Rasta
Jurnal Yustitia Vol 12 No 2 (2018): Yustitia
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62279/yustitia.v12i2.168

Abstract

Tanah tidak saja diperlukan oleh semua makhluk hidup, tapi juga oleh badan- badan hukum termasuk badan hukum keagamaan dalam hal ini adalah Pura. Walaupun UUPA dengan PP No. 38 tahun 1963 telah menentukan badan-badan hukum yang boleh mempunyai hak milik atas tanah, namun untuk Pura di Bali karena belum ditunjuk sebagai badan hukum keagamaan yang boleh mempunyai hak milik atas tanah, maka status kepemilikan tanahnya masih pemilikan menurut hukum adat. Kemudian dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor : SK.556/DJA/1986 tentang penunjukkan Pura sebagai badan hukum keagamaan yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, maka sejak itu status tanah laba Pura di Bali adalah berstatus hak milik Pura (hak milik menurut UUPA dan tidak lagi hak milik menurut hukum adat). Dengan demikian, maka tanah-tanah Laba Pura tersebut wajib didaftarkan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 dan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 yang telah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Namun dalam kenyataan masih banyak tanah-tanah Laba Pura di Bali yang belum didaftarkan di Kantor Pertanahan guna memperoleh Sertipikat sebagai tanda bukti hak milik atas tanah dan untuk menjamin adanya kepastian hukum.
FUNGSI AWIG-AWIG DALAM MENGATUR KRAMA DESA PAKRAMAN DI BALI I Dewa Made Rasta
Jurnal Yustitia Vol 12 No 1 (2018): Yustitia
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62279/yustitia.v12i1.171

Abstract

Manusia berdasarkan kodratnya selalu hidup bersama dengan manusia lainnya baik dalam kelompok yang kecil maupun kelompok yang besar. Adapun yang mendorong manusia hidup bersama (bermasyarakat) adalah faktor biologis seperti kodrat untuk memenuhi keperluan hidup, hasrat membela diri dan hasrat untuk mengadakan keturunan. Disamping itu mereka hidup bersama juga karena faktor lain yang bersifat non biologis seperti, adanya ikatan darah, persamaan nasib, agama dan bahasa. Manusia di dalam kehidupan bermasyarakat sudah jelas memiliki berbagai kepentingan. Kepentingan manusia yang satu dengan yang lainnya adakalanya bersamaan dan ada kalanya bertentangan. Di dalam pemenuhan berbagai kepentingan dan kebutuhan hidup tersebut, agar tidak terjadi kekacauan, melainkan suatu keteraturan atau ketertiban dan kedamaian, maka diperlukan adanya petunjuk hidup. Petunjuk hidup ini lazim disebut dengan kaedah (norma), yaitu memberi petunjuk kepada manusia tentang perbuatan apa yang boleh dilakukan dan perbuatan apa yang tidak boleh dilakukan. Kaedah (norma) yang terdapat di Desa Pakraman di Bali dituangkan di dalam Awig-awig Desa/Banjar Pakraman. Awig-awig inilah berfungsi dipakai sebagai pedoman dan ditaati agar tercipta ketertiban, ketentraman dan kedamaian diantara anggota masyarakat (krama desa) itu sendiri.