Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

On the Nature of Gravity Currents Tjipto Prastowo
Jurnal Matematika & Sains Vol 14, No 3 (2009)
Publisher : Institut Teknologi Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

A series of laboratory experiments are used to examine the nature of a gravity current propagating along the base of a horizontal channel. The shear instability formed at the interface between two counter-flowing layers generates turbulence and mixing, particularly above the head of the current. While the resulting mixing is in part examined through its effects on the flow dynamics, the characteristics of the gravity current is determined by measuring the depth and speed of the current. The results for both shallow and deep currents reveal that the current depth is found to be 0.36-0.47 H, where H is the full water depth. The non-dimensional current speed is measured to be 0.48±0.02, independent of flow processes and dynamic variables.
Theoretical Prediction of Mixing Efficiency in Stratified Shear Exchange Flows Tjipto Prastowo
Jurnal Matematika & Sains Vol 14, No 2 (2009)
Publisher : Institut Teknologi Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Mixing efficiency in stratified shear exchange flows between two reservoirs of water of differing densities is analytically investigated in detail in the light of a two-layer flow. The theoretical prediction of mixing efficiency is presented here in terms of a scaling analysis developed for such flows. The prediction is compared with that derived from measurements of normalised density profiles. The predicted mixing efficiency is found to be 0.125, independent of flow conditions and external parameters used. This value is approximately the same as 0.12, obtained from the averaged density profiles, and is close to a half of 0.2, the widely proposed value for the average efficiency in the oceans that is frequently assumed in general ocean circulation modeling.
STUDI b-VALUE UNTUK PENGAMATAN SEISMISITAS WILAYAH PULAU JAWA PERIODE 1964-2012 AFIFI MUTIARANI; Madlazim Madlazim; Tjipto Prastowo
Inovasi Fisika Indonesia Vol 2 No 2 (2013)
Publisher : Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (887.457 KB) | DOI: 10.26740/ifi.v2n2.p%p

Abstract

Abstrak Dinamika tektonik pulau Jawa didominasi oleh gerakan lempeng Indo-Australia yang bergerak ke utara bertumbukan dengan lempeng Eurasia yang relatif diam. Tunjaman lempeng tersebut mengakibatkan pergerakan batuan. Kondisi ini menjadikan pulau Jawa sebagai daerah tektonik aktif dengan tingkat seismisitas yang tinggi. Dalam konteks ini, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh frekuensi gempa terhadap magnitudo gempa bumi dan mengetahui tingkat kerapuhan batuan pulau Jawa sebagai estimasi bencana gempa bumi. Parameter seismo-tektonik suatu wilayah dapat diketahui dari relasi Gutenberg-Richter, yaitu log N = a – bM, di mana N adalah frekuensi gempa, M adalah magnitudo gempa, nilai a merupakan tingkat seismisitas suatu wilayah dan nilai b merupakan tingkat kerapuhan batuan. Untuk mencapai tujuan tersebut maka kedua parameter dapat dianalisis dengan menggunakan metode kuadrat terkecil. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data parameter gempa bumi yang  diperoleh dari IRIS katalog ISC dan NEIC 1964-2012 dengan magnitudo ≥ 5 dan kedalaman 0-655 km di pulau Jawa yang berlokasi di 105⁰-114⁰ BT dan 6.5⁰-12⁰ LS. Koordinat lintang dan bujur dibagi menjadi 3 bagian, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Berdasarkan hasil analisis data dari ketiga sebaran wilayah pulau Jawa didapatkan pengaruh frekuensi gempa terhadap magnitudo gempa bumi yaitu semakin besar frekuensi gempa maka semakin kecil magnitudo gempa bumi. Perbandingan parameter seismo-tektonik memberikan nilai b di Jawa Barat (0,721), lebih tinggi dari wilayah Jawa Tengah (0,65) dan Jawa Timur (0,503). Temuan-temuan tersebut ditafsirkan sebagai wilayah Jawa Barat merupakan daerah yang memiliki tingkat kerapuhan batuan yang lebih tinggi dibandingkan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hasil analisis tersebut juga menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kerapuhan batuan, maka semakin tinggi pula aktivitas seismik yang terjadi di wilayah tersebut. Kata Kunci: seismisitas, b-value Abstract Tectonic of java dominated by Australian Eurasian plate movement that moves to the north, and get crushed with Eurasia plate that relative silent. Crushed zone is that plate beget rock movement. This condition make java as tectonic region active with high level of seismicity. In this context, research is done to know influence of frequency to magnitude earthquake and knows rock crispness zoom java as estimation of earthquake disaster. Seismotectonic parameter a region gets to be known from Gutenberg Richter's relation, which is logarithm N =  a –  bM , where N is frequency, M is magnitude earthquake point, a is seismicity's zoom a region and point b is rock crispness zoom. To reach the purpose of research, both of parameter gets analyzed by use of least squares methods. Data that is utilized in this research is earthquake parameter data that acquired of IRIS catalogue ISC and NEIC 1964-2012 by magnitudes ≥ 5 and depths 0-655 km at java that  location at 105°-114°  BT and 6.5°-12°  LS. Transversal and longitudinal coordinate divided as 3 a part, which are Western Java, Intermediate java and East Java. Base on analysis's result of third spread territorial java was gotten by influence of frequency to earthquake magnitude which is the greater frequency therefore make magnitude of earthquake getting smaller. Comparison of seismotectonic parameter assigns b-value at West Java (0,721) higher than Intermediate Javanese region (0,65) and East Java (0,501). That finding are paraphrased as region of West Java is constitute region that have increase superordinate rock crispness than Intermediate Java and East Java. The result of analyzing also points out that crispness level excelsior rock, therefore excelsior too happening seismic activity territorial that. Key Words : Seismicity, b-Value
Analisis Tingkat Resiko Gempa Bumi Tektonik di Papua pada Periode 1960-2010 LILIK WAHYUNI PURLISSTYOWATI; Madlazim Madlazim; Tjipto Prastowo
Inovasi Fisika Indonesia Vol 2 No 2 (2013)
Publisher : Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (865.387 KB) | DOI: 10.26740/ifi.v2n2.p%p

Abstract

Abstrak   Papua merupakan salah satu wilayah rawan gempa bumi karena Papua terletak pada pertemuan dua lempeng yaitu lempeng Pasifik dan lempeng Samudera Indo-Australia yang membentuk daerah subduksi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keadaan seismisitas dan tingkat resiko gempa bumi di Papua. Distribusi aktivitas seismik suatu wilayah diketahui dari hubungan frekuensi (N) dan magnitudo (M) gempa bumi dengan menggunakan relasi Gutenberg-Richter yaitu Log N = a – bM. Nilai a merupakan tingkat seismisitas suatu daerah sedangkan nilai b merupakan tingkat kerapuhan batuan. Data yang digunakan merupakan data sekunder yang diperoleh dari IRIS, periode 1960-2010 dengan magnitudo momen ≥ 3,0 SR dan kedalaman 0-220 km. Daerah penelitian berlokasi antara 2°LS-9°LU dan 130°BT-141°BT. Prosedur yang digunakan setelah data didapatkan yaitu membagi wilayah berdasarkan koordinat lintang dan bujur, menjadi dua kluster dengan kluster 1 terletak pada 2°LS-9°LU dan 130°BT-135,39°BT serta kluster 2 terletak pada 2°LS-9°LU dan 135,4°BT-141°BT. Berdasarkan hasil analisis menggunakan metode kuadrat terkecil diketahui bahwa nilai a pada kluster 1 dan kluster 2 masing masing sebesar 6,644 dan 5,624 maka kluster 1 mempunyai tingkat seismisitas lebih besar dari kluster 2. Nilai b pada kluster 1 dan kluster 2 masing masing sebesar 0,840 dan 0,662 maka kluster 1 mempunyai tingkat kerapuhan batuan lebih besar dari kluster 2. Gempa bumi yang terjadi di daratan kluster 2 memiliki magnitudo yang lebih besar dari gempa bumi yang terjadi di daratan kluster 1. Oleh karena itu, gempa bumi pada kluster 2 lebih berpotensi menimbulkan kerusakan dan ancaman korban jiwa dibandingkan dengan gempa bumi pada kluster 1. Jadi, kluster 2 memiliki tingkat resiko gempa bumi yang lebih besar daripada kluster 1. Kata Kunci: seismisitas, kluster, tingkat resiko.   Abstract   Papua is an area that prone of earthquakes because Papua is located at the confluence of two plates. They are Pacific plate and Indo-Australian ocean plate that make the subduction zones. This study aims to analyze the state of seismicity and earthquake risk in Papua. Distribution of seismic activity in a region known from relationship of frequency (N) and magnitude (M). This research used the Gutenberg-Richter relationship is log N = a - bm. a-value is seismic activity of a region and b-value is level of fragility rock. The data used are secondary data obtained from IRIS, the period 1960-2010 with a magnitude moment ≥ 3.0 SR and depth of 0-220 km. The research area is located between 2oS – 9oN and 130oE – 141oE. The procedure used after the data is obtained then dividing the area of latitude and longitude coordinates into two clusters. Cluster 1 is located at 2°S-9°N and 130°E-135.39°E and cluster 2 is located at 2°S-9°N and 135.4°E-141°E. Based on the analysis using the least squares method is known that a-value in cluster 1 and cluster 2 respectively at 6.644 and 5.624. Cluster 1 had a greater seismic activity than cluster 2. b-values in cluster 1 and cluster 2 respectively at 0.840 and 0.662. Cluster 1 has a greater level of fragility rock than cluster 2. Some earthquake was happened on the mainland in cluster 2 have bigger magnitude than earthquake was happened on the mainland in cluster 1. Therefore, cluster 2’s earthquake more potentially to make a building damage and treaths of victim than cluster 1’s earthquake. Thus, cluster 2 has a greater earthquake risk than the cluster 1. Keywords: seismicity, cluster, the level of risk.
ANALISIS TINGKAT SEISMISITAS DAN PERIODE ULANG GEMPA BUMI DI SUMATERA BARAT PADA PERIODE 1961-2010 Uswatun Chasanah; Madlazim Madlazim; Tjipto Prastowo
Inovasi Fisika Indonesia Vol 2 No 2 (2013)
Publisher : Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (932.221 KB) | DOI: 10.26740/ifi.v2n2.p%p

Abstract

Abstrak Kajian kegempaan suatu wilayah terutama di daerah rawan gempa seperti Sumatera Barat sangat diperlukan dalam rangka mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat bencana gempa bumi. Dalam konteks ini, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk menganalisis tingkat seismisitas dan periode ulang gempa bumi yaitu dengan menganalisis hubungan antara frekuensi kejadian gempa bumi (N) dan magnitudo gempa bumi (M). Rumus umum yang digunakan yaitu log N = a – bM. Gradien persamaan ini atau nilai b merupakan parameter tektonik yang menggambarkan sifat batuan pada daerah yang diteliti sedangkan nilai a menggambarkan aktivitas tektonik wilayah yang diamati. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder parameter gempa bumi dari bank data seismologi IRIS periode 1961-2010 dengan magnitudo 4,0-10,0 SR pada kedalaman 0-220 km yang berlokasi antara 1,0⁰ LU-3,0⁰LS dan 98,0⁰-102,0⁰BT. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan metode kuadrat terkecil diperoleh nilai a sebesar 6,21 dan b sebesar 0,66, serta indeks seismisitas untuk magnitudo 5-9 SR yaitu antara 10,14-0,02. Harga indeks seismisitas ini digunakan untuk analisis periode ulang gempa bumi. Periode ulang gempa bumi untuk rentang magnitudo 5-9 SR adalah berkisar antara 0,09-45,30 tahun. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa wilayah Sumatera Barat memiliki tingkat seismisitas tinggi dan rawan bencana gempa bumi yang dibuktikan dengan periode ulang gempa bumi yang singkat yaitu kurang dari 50 tahun dan sering terjadi gempa-gempa kecil baik di daratan maupun lautan.   Kata kunci : tingkat seismisitas, periode ulang gempa bumi, sumatera barat Abstract Study seismicity pattern, especially in earthquake prone areas such as West Sumatra is needed in order to reduce the impact caused by the earthquake. In this context, the research aims to analyze the level of seismicity and the return period of earthquakes by analyzing the relationship between the frequency of occurrence of earthquakes (N) and the earthquake magnitude (M). The general formula is log N = a - bM, gradient equation or b value is a parameter that describes the nature of tectonic rocks in the area studied, while a value that describes the tectonic activity of observed regions. The data used in this study is a secondary data parameter of earthquake from seismology data bank IRIS from 1961 to 2010 with a magnitude of 4,0 ≥ 10,0 RS at a depth between 0-220 km located within latitude coordinates between 1,0° N-3,0° S and longitude coordinates between 98,0°-102.0° E. Based on the results of the analysis using the least squares method obtained a value is about 6,15 and b value is about 0,65. Index of seismicity for magnitudes 5-9 RS is between 9,677 to 0,022. Further seismicity index is used for the calculation of return period of earthquake. Return period of earthquakes for magnitude 5-9 RS is between 0,10 to 44,45 years. Generally, it can also be concluded that the region of West Sumatra has a high seismicity rate as evidenced by the return period of a short earthquakes and frequent minor earthquakes both land and sea, so that in the region of West Sumatra classified areas prone to earthquakes.   Keywords: level of  seismicity, return period of earthquake, west sumatera
Aplikasi Modifikasi Hukum Green Untuk Estimasi Tsunami Run-Up NUR ALISSA ANWAR; TJIPTO PRASTOWO
Inovasi Fisika Indonesia Vol 8 No 3 (2019)
Publisher : Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26740/ifi.v8n3.p%p

Abstract

AbstrakPengetahuan tentang evolusi tinggi amplitudo gelombang tsunami selama perambatan dari lepas pantai menujugaris pantai diperlukan untuk studi mitigasi. Ketika tiba di pantai, kecepatan fase tsunami tereduksi yang menyebabkanpeningkatan amplitudo, biasa dikenal dengan tsunami run-up yang menimbulkan korban jiwa dan kerusakan properti.Dalam konteks pengurangan risiko bencana, estimasi tinggi run-up adalah vital. Dengan menggunakan data run-up darisurvei lapangan kasus Samoa 2009 dan Palu-Donggala 2018, validitas the basic Green’s Law berbasis efek shoaling sajadiuji untuk estimasi tinggi run-up, di mana kegagalan hukum dasar Green tersebut terjadi pada sebagian besar lokasipengamatan. Sebagai respons, kekekalan energi diterapkan untuk menurunkan the modified Green’s Law denganmenyertakan efek refraksi. The modified Green’s Law diuji untuk estimasi run-up dua kasus yang dipelajari, di manatinggi run-up diparameterisasi oleh dua faktor sekaligus, yaitu efek shoaling karena perubahan kedalaman lokal dan efekrefraksi karena kecepatan fase yang tereduksi saat tsunami mendekati garis pantai. Tujuan utama penelitian ini adalahmengkaji keberlakuan the modified Green’s Law untuk estimasi tinggi run-up dengan memanfaatkan data kedalamanlokal sebagai parameter eksternal dan jarak antar muka gelombang sebagai parameter internal. Estimasi run-up denganbantuan the modified Green’s Law adalah akurat karena 95% hasil-hasil estimasi sesuai dengan nilai yang terukur darisurvei lapangan, jauh lebih baik dari prediksi berbasis the basic Green’s Law yang memberikan kesesuaian sebesar 20%.Kompleksitas batimetri dan topografi, morfologi pantai, dan efek refleksi belum ikut dipertimbangkan. Faktor-faktortersebut juga penting, oleh karena itu perlu diselidiki dalam penelitian mendatang.Kata Kunci : modifikasi Hukum Green, efek refraksi, efek shoaling, run-upAbstractThe evolution of tsunami wave height during its propagation from open seas to coastal zones is required formitigation study. When arriving at a shoreline, tsunami phase speed decreases causing increased wave height onshore,commonly known as tsunami run-up that leads to fatalities on population and infrastructures. In the context of disasterrisk reduction, run-up estimate is of great importance. Using field data of run-up available from 2009 Samoa and 2018Palu-Donggala events, we examined the applicability of the basic Green’s law based on shoaling only to calculate run-upheights and found that it failed to predict run-ups in the majority of observational sites for all the events considered. Wethen applied concept of energy conservation to derive the modified Green’s Law by incorporating refraction effect intothe basic one. The modified Green’s Law was tested for run-up estimates of all occurrences, where run-up height wasparameterized with shoaling effect owing to changes in local ocean depth and refraction effect due to reduction in tsunamiphase speed when approaching coastal lines. The objective of this study is thus to determine if the modified Green’s lawis applicable for run-up estimate using both local depths as external parameters and tsunami wave-front separation asinternal parameters. The results are obtained with high accuracy as 95% of estimates are consistent with the measuredrun-up heights, much accurate than 20% of those derived from the basic Green’s Law. Factors such as bathymetry andtopography complexity, beach morphology, and wave reflection are not yet explored in the present study. These are alsocrucial and need to include for further investigation in future work.Keywords: modified Green’s law, refraction effect, shoaling effect, run-up
Analisis Travel Time Delay Untuk Kasus Tsunami Lintas Samudra BERTIN BINTORO PUTRI; TJIPTO PRASTOWO
Inovasi Fisika Indonesia Vol 8 No 3 (2019)
Publisher : Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26740/ifi.v8n3.p%p

Abstract

Abstrak Waktu kedatangan gelombang tsunami dan time delay di lokasi tertentu merupakan isu penting terkait dengan studi mitigasi bencana. Time delay dihitung dari perbedaan waktu antara observed travel time dan estimated travel time. Observed travel time diperoleh dari instrumen DART buoys dan tide gauges sedangkan estimasi waktu tempuh perambatan gelombang tsunami diperoleh dari solusi asumsi kecepatan gelombang panjang. Dalam penelitian ini, time delay dihitung untuk 3 kasus tsunami lintas samudra, yaitu Tohoku 2011, Sumatra 2012, dan Iquique-Chili 2014. Untuk semua kasus yang dipelajari, temuan penting adalah time delay meningkat secara linier dengan pertambahan jarak episentral. Hal itu menunjukkan bahwa kecepatan tsunami berkurang selama propagasi setidaknya karena dua faktor, yaitu variasi topografi dan batimetri dasar laut dan serta stratifikasi laut. Reduksi kecepatan tsunami untuk 2 kasus tsunami di Samudra Pasifik berada pada kisaran 1,3-1,4% sedangkan kasus tsunami di Samudra Hindia reduksi kecepatan ditemukan sebesar 4% karena kompleksitas batimetri dan topografi. Kata Kunci: time delay, estimasi waktu tempuh, reduksi kecepatan tsunami Abstract Tsunami arrival time and its corresponding time delay at a particular location or station has been an important issue in recent years. The delay in time is calculated from a difference in arrival times between observed and estimated travel times. While the observed travel times were obtained from records of DART buoys and gauge stations, the predicted travel times were derived from the basic solution for a long wave speed of propagating tsunami. In this study, we estimated time delay for trans-oceanic tsunamis, that is, 2011 Tohoku, 2012 Sumatra, and 2014 Iquique-Chili occurrences. We found for all cases that the delay increases linearly with increasing epicentral distance. It follows that tsunami speed is reduced during propagation due to at least two possible factors. These factors include varying ocean floor topography and ocean stratification. Speed reduction for 2 cases in the Pacific Ocean is lying in the range 1,3-1,4% whereas the case in the Indian Ocean takes a bit larger for the reduction in speed by 4%, owing to complex bathymetry and topography. Keywords: time delay, observed travel time, estimated travel time, reduced speed
Kajian Konseptual Problem Solving pada Perkuliahan Fisika Dasar I Trisnawaty Junus Buhungo; P Prabowo; Tjipto Prastowo
Prosiding SNPBS (Seminar Nasional Pendidikan Biologi dan Saintek) 2016: Prosiding SNPBS (Seminar Nasional Pendidikan Biologi dan Saintek)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (399.402 KB)

Abstract

Tujuan penting pendidikan adalah membangun kemampuan manusia untuk menggunakan pengetahuannya, bagaimana pebelajar mengakses dan menggunakan pengetahuannya dalam pemecahan masalah. Bagi individu atau kelompok yang mendapatkan masalah, sudah barang tentu mereka ingin memecahkan masalah tersebut, dan pemecahan masalah merupakan sesuatu yang dilakukan orang setiap hari. Ilmu fisika merupakan salah satu ilmu yang penting untuk diajarkan di perguruan tinggi yang memerlukan pengembangan kemampuan problem solving dalam memecahkan sejumlah masalah fisika secara tepat oleh pebelajar. Berdasarkan tahapan yang dikemukakan Heller (2010) tentang tahapan problem solving yaitu fokus pada masalah, mengaitkan masalah dengan konsep fisika, merencanakan solusi, menjalankan rencana dan evaluasi solusi, dikembangkan instrumen yang dilengkapi rubrik untuk mengukur keterampilan problem solving dengan 5 indikator yaitu: useful description (penjelasan yang bermanfaat), physics approach (pendekatan fisika), specific application of physics (penerapan khusus fisika), mathematical procedures (prosedur matematika) dan logical progression (kemajuan yang logis). Rubrik dikembangkan dalam batasan yang mudah digunakan untuk pengajar fisika, dan dapat digeneralisasikan ke beberapa jenis masalah dan topik, serta fokus pada pekerjaan tertulis.
Kajian Konseptual Proses Berpikir Kreatif dan Pemecahan Masalah Ritin Uloli; P Probowo; Tjipto Prastowo
Prosiding SNPBS (Seminar Nasional Pendidikan Biologi dan Saintek) 2016: Prosiding SNPBS (Seminar Nasional Pendidikan Biologi dan Saintek)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (391.083 KB)

Abstract

Manusia selalu diperhadapkan pada permasalahan sehingga diperlukan suatu proses berpikir kreatif untuk memecahkan masalah tersebut. Siswono (2004) menjelaskan proses berpikir kreatif merupakan suatu proses yang mengkombinasikan berpikir logis dan berpikir divergen. Berpikir divergen digunakan untuk mencari ideide untuk menyelesaikan masalah sedangkan berpikir logis digunakan untuk memferivikasi ide-ide tersebut menjadi sebuah penyelesaian yang kreatif. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk melatihkan keterampilan berpikir kreatif melalui pembelajaran fisika karena konsep dan prinsipnya dapat digunakan untuk menyelesaikan berbagai masalah. Tujuan utama pendidikan adalah mengembangkan sepenuhnya bakat individu, mewujudkan potensi kreatif, pencapaian tujuan pribadi serta tanggung jawab terhadap kehidupan sosial dalam masyarakat. Saat ini mahasiswa belum mampu memberikan jawaban secara divergen dan proses berpikir kreatif mahasiswa belum maksimal dalam memahami konsep fisika. Untuk itu perlu dilakukan suatu usaha bagaimana proses berpikir kreatif mahasiswa dalam memecahkan masalah. Hubungan proses berpikir kreatif dan pemecahan masalah penting untuk dikaji. Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh dalam memecahkan masalah fisika adalah meliputi tahap persiapan, inkubasi, iluminasi, dan verifikasi. Dalam makalah ini akan dieksplorasi hubungan antara proses berpikir kreatif dengan pemecahan masalah.
ANALISIS ATENUASI MAXIMUM TSUNAMI AMPLITUDE DAN ENERGY DECAY TIME UNTUK TSUNAMI LINTAS SAMUDERA PASIFIK Dwi Maulidia; Tjipto Prastowo
Jurnal Inovasi Fisika Indonesia (IFI) Vol 12 No 1 (2023): Vol 12 No 1
Publisher : Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26740/ifi.v12n1.p88-103

Abstract

Abstrak Saat merambat di laut lepas, tsunami mengalami pelemahan energi yang terukur sebagai pelemahan amplitudo maksimum. Dalam hal ini, evolusi amplitudo maksimum bisa digunakan untuk menentukan energy decay time yang didefinisikan sebagai waktu dari saat pembangkitan tsunami sampai saat tsunami tidak lagi mendapat pasokan energi dari sumber. Grafik atenuasi amplitudo maksimum untuk ketujuh kasus tsunami dalam penelitian ini (Samoa 2009; Maule, Chili 2010; Tohoku, Jepang 2011; Iquique, Chili 2014; Illapel, Chili 2015; Chiapas, Mexico 2017 dan Hunga Tonga–Hunga Haʻapai (HTHH), Tonga 2022) menunjukkan pelemahan amplitudo maksimum melalui dua fase. Fase pertama ditandai pelemahan amplitudo maksimum secara cepat terhadap jarak dan waktu tempuh dalam pengamatan medan dekat (3200 km). Fase kedua ditandai amplitudo maksimum yang relatif konstan dalam pengamatan medan jauh (> 3200 km). Penentuan energy decay time ketujuh kasus telah mempertimbangkan sebaran energi gelombang tsunami dalam perimeter Samudera Pasifik. Untuk kasus Maule, Chili 2010; Tohoku, Jepang 2011; Iquique, Chili 2014 dan Illapel, Chili 2015, energy decay time adalah 22,5 jam tidak berbeda jauh dari temuan terdahulu. Untuk kasus Samoa 2009, energy decay time adalah 16,36 jam tidak berbeda jauh dari temuan terdahulu pada kasus yang sama dan untuk volcanic tsunami (HTHH, Tonga 2022), energy decay time adalah 14,46 jam, indikasi serapan internal yang dipicu oleh distribusi frekuensi tsunami. Untuk kasus Chiapas, Mexico 2017, energy decay time hanya 9,23 jam, indikasi large power dissipation karena serapan eksternal oleh continental shelves dekat episenter gempa. Kata Kunci: maximum tsunami amplitude, jarak dan waktu tempuh, energy decay time Abstract When propagating at sea, a tsunami experiences energy attenuation measured as maximum amplitude reduction used to determine energy decay time defined as the time taken from tsunami generation to a time when the wave no longer gets energy supply from the source. Graphs of the amplitude reduction for seven cases in this study (2009 Samoa; 2010 Maule, Chile; 2011 Tohoku, Japan; 2014 Iquique, Chile; 2015 Illapel, Chile; 2017 Chiapas, Mexico and 2022 Hunga Tonga–Hunga Haʻapai (HTHH, Tonga) showed systematically attenuated maximum amplitude through two phases. The first phase was characterized by rapid attenuation of the amplitude with respect to travel distance and time in near-field observations (3200 km). The second one was characterized by a relatively constant maximum amplitude in far-field observations (> 3200 km). Energy decay time determination has considered tsunami energy distribution in the Pacific perimeter. For the case of the 2010 Maule, Chile; 2011 Tohoku, Japan; 2014 Iquique, Chile and 2015 Illapel, Chile, mean decay time was 22.5 hours, slightly different from previous finding. For the 2009 Samoa, the decay time was 16.36 hours, slightly different from previous finding for the same case while for a volcanic tsunami (HTHH, Tonga 2022), the decay time was 14.46 hours, indicating internal absorption due to frequency distribution. For the 2017 Chiapas, Mexico, the decay time was only 9.23 hours, showing large power dissipation due to external factors, such as continental shelves near the epicenter. Keywords: maximum tsunami amplitude, travel distance, travel time, energy decay time