Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

AKU DAN “YANG LAIN” MENGAMINI PERBEDAAN, MERANGKAI PERSATUAN Atasoge, Anselmus D
SEPAKAT-Jurnal Pastoral Kateketik Vol 4, No 1 (2017): MENGHIDUPI PLURALISME
Publisher : STIPAS TAHASAK DANUM PAMBELUM KEUSKUPAN PALANGKARAYA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (0.346 KB)

Abstract

The harmony of diversity in religion-ethnic-culture- is the dream of allpluralistic Indonesian components. Dialogue is one possibility as well as ahope to make unity in diversity towards harmony despite of the pessimisticfeelings that there is no truly ideal dialogue and interfaith meeting happen.The ideas and examples in this paper open up the optimistic feelings behindthe pessimism. That is, when ‘others’ become’ friends’ to be trusted, whenpersonal assumptions are changed and ‘Me’ and ‘Others’ recognize themistakes of each other in history that have passed through historical motions,and when’ Me’ and’ Others ‘can move beyond dialogue to work together in asociety with its beginnings and small ways. At that point that’ Me ‘and’ others’can overcome the history that has divided ‘me’ and ‘the other’ into two worldsby line different sharp demarcation.
KATEKIS DAN RADIASI KOHESIF DI MEDAN POLITIK KERAGAMAN Anselmus D. Atasoge
Atma Reksa : Jurnal Pastoral dan Kateketik Vol 3, No 1 (2018): PERAN KATEKIS DI TAHUN POLITIK
Publisher : Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende, Jalan Gatot Subroto, KM 3. Tlp./Fax (0381) 250012

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.53949/ar.v3i1.61

Abstract

Sejumlah masalah besar, seperti dampak negatif globalisasi dan teknologi, internasionalisasi kejahatan, konflik sipil dan terorisme serta masalah sehari-hari yang berkaitan dengan kejahatan lokal, perilaku anti-sosial, dan intoleransi rasial sedang menghinggapi dunia dewasa ini. Homogenitas national identities, once thought so central to social cohesion, is, it is said, undermined in the 'post-national' era by the proliferation ofidentitas nasional yang menyumbang bagi kohesi sosial seakan diruntuhkan di era 'post-nasional' oleh proliferasi group and regional identities from below and by the development ofkelompok dan identitas daerah dari bawah dan oleh perkembangan supra-national political organization andof trans-national civil societyorganisasi politik supra-nasional dan masyarakat sipil trans-nasional from above (Beck 2000; OECD 1997; Touraine 2000).dari atas. Politik identitas seakan menggerogoti bangunan bhineka tunggal ika. Tahun politik 2018/2019 menjadi medan empuk pemunculan wajah sosial-politik semacam ini. Di titik ini, para katekis yang adalah bagian penting dari agen-agen pastoral masa kini ditantang untuk menghadirkan diri sebagai pribadi dan kelompok kohesif. Diskursus ini mencoba meletakkan dasar bagi penghadiran-penghadiran semacam itu.
DARI IDENTITAS SOLIDARITAS KRISTIANI MENUJU IMPIAN MASYARAKAT KOHESIF (Membaca Pesan Artikel 1 Gaudium Et Spes Di Tengah Situasi Pandemi) Anselmus D. Atasoge
Atma Reksa : Jurnal Pastoral dan Kateketik Vol 5, No 1 (2020): Kristianitas di tengah Pandemi
Publisher : Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende, Jalan Gatot Subroto, KM 3. Tlp./Fax (0381) 250012

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.53949/ar.v5i1.54

Abstract

Artikel 1 GS merupakan sebuah pembukaan yang sungguh menggugah kesadaran akan sisi kemanusiaan Gereja serentak mengundang para anggotanya untuk berkompasio kepada situasi dunia di tengah pandemi Covid 19. Artikel ini seakan menghadirkan sebuah prinsip yang disebut solidaristik inklusif. Solidaritas inklusif bersumber pada solidaritas ilahi: dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam peziarahan menuju Kerajaan Bapa. Dengan bersumber pada solidaritas ilahi, solidaritas inklusif Gereja akan bermuara pula pada misi keselamatan semesta berkat upaya pelampauan diri, kesadaran akan kesetaraan dasariah dengan manusia lain dan yang dibingkai oleh cinta kasih. Idealisme GS 1 ini dapat dipandang sebagai bagian dari usaha dunia untuk menciptakan dan memajukan masyarakat dunia yang kohesif-harmonis.             Saat ini sedang ada satu perasaan identitas bersama dan kebutuhan bersama warga dunia, yakni terbebaskan dari kerentanan dan ketularan Covid-19. Perasaan dan kebutuhan itu seakan ‘menerobos’ kebijakan pembatasan-pembatasan sosial negara bagi para warganya. Dia tak terbatas ruang dan waktu. Perasaan dan kebutuhan itu melahirkan perasaan kohesif di antara sesama manusia, dekat maupun yang nun jauh di sana. Kesadaran akan keretanan bersama menembus segregasi ‘aku-engkau’ dan merangkumkannya dalam satu bahtera ‘esse-co esse est’, adaku adalah ada bersama, seperti yang dikatakan filsuf Perancis, Gabriel Marcel.Di tengah situasi ini, komunitas negara-negara dunia tengah mengotak-atik kebijakan-kebijakan politiknya dalam pelbagai bidang terutama sosial-ekonomi untuk menghadapi ‘gempuran’ Covid-19. Institusi-institusi non-government pun mengeluarkan himbauan-himbauan bagi komunitasnya untuk mengemas kewaspadaan-kewaspadaan sosial. Komunitas sosial kemasyarakatan di pelbagai sudut dunia juga terpanggil erat untuk mengkampanyekan aksi-aksi melawan Covid-19. Semua bersatu dalam ‘keberadaannya sendiri’ untuk ‘ada bersama’. Saya kira hal ini menjadi komitmen eksistensial untuk menyelamatkan bumi dari ancaman Covid-19.Tulisan ini hendak menelusuri basis eksistensial dalam menghidupkan perasaan kohesif masyarakat dunia dalam mengurai dan menghadapi dampak pandemi Covid 19 dari sudut pandang kristiani. Dengan bersandar pada studi kepustakaan, diskursus ini menyasar kepada segenap umat beriman kristiani yang terlibat dalam mengambil kebijakan publik dan yang terpanggil untuk untuk mewujudkan panggilan sosialnya di tengah situasi pandemi memiliki perspektif yang mumpuni dalam menjalankan aktivitasnya.
Accommodative-Hybrid Religious Encounters and Interfaith Dialogue: A Study of Lamaholot Muslims and Catholics in East Flores Anselmus Dorewoho Atasoge; Fatimah Husein; Siswanto Masruri
Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan Vol 30, No 1 (2022)
Publisher : LP2M - Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21580/ws.30.1.10980

Abstract

This paper focused its attention on three main problems. First, the changes occurred when ancestral religious rituals in Lamaholot collided with Islam and Catholicism. Second, the social cohesion capital possessed by the Lamaholot community in building inter­religious and interfaith dialogue in East Flores. Third, the challenges faced, and negotiations carried out in the interreligious and interfaith interaction and dialogue. This paper is constructed upon structural functionalism theory. Data was collected using observations, interviews, and documents. Data analysis method and technique used in this paper were interpretive qualitative. This paper identified two domains as entry points for developing interreligious and interfaith dialogue. First, the concepts of divinity in local Lamaholot rituals and in the world’s religions (Islam and Catholicism) meet and strengthen each other and become the epistemological basis for dialogue. Second, Lamaholot rituals become a medium for transmitting the values of Lamaholot solidarity. 
GEMOHING IN LAMAHOLOT OF EAST FLORES: THE FOUNDATION AND PILLAR OF RELIGIOUS MODERATION Anselmus Dorewoho Atasoge; Adison Adrianus Sihombing
Analisa: Journal of Social Science and Religion Vol 7, No 2 (2022): Analisa Journal of Social Science and Religion
Publisher : Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18784/analisa.v7i2.1768

Abstract

Gemohing is a local culture of the Lamaholot people. Gemohing has had a significant impact on the attainment of the ideals of mainstreaming religious moderation in Indonesia. This study aimed at exploring the expression of gemohing as the foundation and pillar of religious moderation for the people of East Flores. This study is qualitative, built upon primary and secondary data. The primary data were collected from observations on community participation. While the materials were directly gathered from the gemohing practice and interviews with 23 cultural figures and residents of the gemohing tradition. Secondary data were obtained from relevant preceding studies and two documentary films about the practice of gemohing. Both types of data were analyzed qualitatively-interpretatively. This study was conducted from September 2019 to July 2022 in the Larantuka, Adonara, and Solor. This study found that the Lamaholot community demonstrated gemohing as the foundation and pillar of building a shared life. The gemohing praxis which is based on the Lamaholot philosophy is reflected in the principles of ina tou ama ehang and puin taan tou gahan taan ehan. These principles mean that all Lamaholot people come from one mother and father and therefore the spirit of unity must be upheld. They mandate that every citizen views each other as brothers that need to be appreciated and respected with a spirit of unity in the social order and as an individual as well. From this point of view, unity and oneness are highly emphasized aspects. This study represents a contribution to efforts to promote religious moderation.