Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Judicial Activism Di Pengadilan Tata Usaha Negara Sebagai Upaya Progresivisme Hakim Dalam Melindungi Hak Konstitusional Warga Negara Zul Amirul Haq; M. Faiz Putra Syanel
SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i Vol 9, No 4 (2022)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/sjsbs.v9i4.26659

Abstract

AbstractJudicial Activism as the basis for court decisions is an event that is difficult to find. So far the practice of judicial activism has been seen several times in the decisions of the Constitutional Court. The purpose of this study is to examine the protection of citizens' constitutional rights resulting from judicial activism. The research used in this paper is a qualitative research with a descriptive type of approach. The data were collected by using the library study technique. The findings of this study indicate that judicial activism carried out by state administrative court judges is a legal breakthrough that is balanced with the concept of protecting citizens' constitutional rights. This situation is something that has happened and has been proven in several state administrative court decisions.AbstrakJudicial Activism yang merupakan basis dari putusan pngadilan merupakan peristiwa yang jarang terjadi. Sejauh ini praktek judicial activism beberapa kali muncul dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Namun di luar dari pada itu keberadaan judicial activism juga muncul di peradilan tata usaha negara. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat perlindungan hak konstitusional warga negara yang di hasilkan melalui judicial activism Penelitian yang di gunakan dalam penulisan ini ialah penelitian kualitatif dengan tipe pendekatan deskriptif. Data di kumpulkan dengan tekhnik studi Pustaka. Temua penelitian ini enunjukan bahwa judicial activism yang di lakukan oleh hakim pengadilan tata usaha negara merupakan suatu trobosan hukum yang di imbangi dengan konsep perlindungan hak konstitusional warga nwgara. Keadaa ini merupakan hal yang sudah terjadi dan di buktikan dalam beberapa putusan pengadilan tata usaha negara.
The Probability of Extra-Constitutional Amendment on the 1945 Constitution of Indonesia: The Politic of Parliament Against its Constitutionalism Muhammad Faiz Putra Syanel; Zul Amirul Haq; Muhamad Aljabar Putra
SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i Vol 9, No 6 (2022)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/sjsbs.v9i6.27336

Abstract

Is the constitution a 'product' of Parliament, or is it run its constitutionalism? This question directs the attention of this article to the distinction between glorification and constitutional amendment. The constitution has an unamendable provision that serves as a self-limitation. This restriction is enshrined in constitutional conventions, and it emphasizes that the Parliament cannot rewrite the constitution in a way that abolished the natural character of the constitution. The Parliament, on the other hand, is the organ of government. This body was given the power to amend the Constitution by the Constitution. As a result, it designates Parliament as the greater authority in charge of all organs as well as the constitution. The research of its article uses philosophy and comparative methodology. It took a doctrinal approach to determine the correlation between political will and constitutional normativity while the amendment was in place. The political wills of Parliament are essentially determined by the normativity of the constitution, as the Parliament was born from a constitutional norm. Whereas, according to Hans Kelsen, the constitution existed before all the norms. In this paradox, the constitution was born before the Parliament itself.Keywords: Constitution; Constitutionalism; Natural Character Unamendable Provision, Parliament AbstrakApakah konstitusi merupakan produk dari Parlemen, atau konstitusi menjalankan konstitusionalismenya? Pertanyaan memantik atensi dari tulisan ini yang berfokus pada distingsi antara glorifikasi konstitusi dan proses amandemen. Secara faktual, konstitusi memiliki klausula yang tidak dapat diubah sebagai batasan perubahannya. Limitasi tersebut memiliki fokus pada konvensi konstitusional, dan menegaskan bahwa Parlemen tidak dapat mengubah konstitusi hingga merubah ‘karakter awal’ dari konstitusi itu sendiri. Meskipun Parlemen merupakan Lembaga Pemerintahan, kewenangannya untuk dapat merubah konstitusi pada dasarnya diberikan oleh Konstitusi. Konsekuensinya, Parlemen terdesain secara tidak langsung sebagai lembaga tertinggi yang dimandatkan oleh konstitusi. Untuk mengelaborasi permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan metode filosofi dan komparasi hokum. Dengan pendekatan Filsafat, akan didapatkan pandangan atas determinasi hubungan antara kehendak politik dengan normatifitas konstitusi pada saat amandemen sedang berlangsung.  Secara Ideal, kehendak politik parlemen terdeterminasi oleh normatifitas konstitusi, karena parlemen dilahirkan dari Rahim konstitusi. Sedangkan, menurut Hans Kelsen, konstitusi telah lahir jauh sebelum seluruh norma. Dalam paradoks ini, disimpulkan bahwa konstitusi telah lahir jauh sebelum parlemen.Keywords: Konstitusi; Konstitusionalisme; Karakter Konstitusi; Klausula yang Tidak Dapat Diubah; Parlemen