Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Grha Eduwisata Sains Anak di Banjarmasin Wijaya, Diana
eDimensi Arsitektur Petra Vol 2, No 1 (2014)
Publisher : eDimensi Arsitektur Petra

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (78.005 KB)

Abstract

Grha Eduwisata Sains Anak ini merupakan fasilitas yang menekankan konsep belajar sambil bermain pada bidang sains untuk anak-anak TK-SD ( 4-12 tahun), yang mengutamakan media pembelajaran yang interaktif bagi anak. Gagasan munculnya fasilitas ini dilatarbelakangi oleh pentingnya pendidikan sains bagi anak. Studi performa yang menunjukkan bahwa metode pendidikan informal lebih efektif untuk pembelajaran sains dibandingkan metode pendidikan formal di sekolah, tetapi belum ditemukan fasilitas yang memadai di Banjarmasin sebagai kota layak anak merupakan latar belakang proyek ini. Grha eduwisata sains anak ini diharapkan menjadi tempat edukasi yang rekreatif khususnya mengenai makhluk hidup, bumi dan alam semesta, energi, dan benda sesuai kurikulum pendidikan nasional.             Konsep desain yang digunakan adalah Fun and Safe Science Exploration untuk mendukung konsep belajar sambil bermain dalam desain bangunan. Pendekatan prilaku anak digunakan untuk memenuhi kriteria desain yang menyenangkan dan aman, sedangkan pendalaman karakter ruang digunakan untuk mendukung konsep desain. 
Grha Eduwisata Sains Anak di Banjarmasin Diana Wijaya
eDimensi Arsitektur Petra Vol 2, No 1 (2014): Februari 2014
Publisher : eDimensi Arsitektur Petra

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1230.627 KB)

Abstract

Grha Eduwisata Sains Anak ini merupakan fasilitas yang menekankan konsep belajar sambil bermain pada bidang sains untuk anak-anak TK-SD ( 4-12 tahun), yang mengutamakan media pembelajaran yang interaktif bagi anak. Gagasan munculnya fasilitas ini dilatarbelakangi oleh pentingnya pendidikan sains bagi anak. Studi performa yang menunjukkan bahwa metode pendidikan informal lebih efektif untuk pembelajaran sains dibandingkan metode pendidikan formal di sekolah, tetapi belum ditemukan fasilitas yang memadai di Banjarmasin sebagai kota layak anak merupakan latar belakang proyek ini. Grha eduwisata sains anak ini diharapkan menjadi tempat edukasi yang rekreatif khususnya mengenai makhluk hidup, bumi dan alam semesta, energi, dan benda sesuai kurikulum pendidikan nasional.             Konsep desain yang digunakan adalah Fun and Safe Science Exploration untuk mendukung konsep belajar sambil bermain dalam desain bangunan. Pendekatan prilaku anak digunakan untuk memenuhi kriteria desain yang menyenangkan dan aman, sedangkan pendalaman karakter ruang digunakan untuk mendukung konsep desain. 
Perbandingan Efektivitas dan Keamanan terhadap Kejadian Patent Ductus Arteriosus pada Bayi Prematur Wijaya, Diana
Jurnal MedScientiae Vol. 3 No. 1 (2024): April
Publisher : Universitas Kristen Krida Wacana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36452/JMedScientiae.v3i1.2648

Abstract

Patent ductus arteriosus (PDA) is a ductus arteriosus that cannot be closed spontaneously after birth due to failure of physiological closure of the fetal ductus. The initial pharmacological treatment for PDA is ibuprofen. The other drugs that can be given, such as paracetamol which has the same role as ibuprofen by inhibiting the synthesis of prostaglandins. Several studies have compared the effectiveness and side effects of the two drugs and obtained different results have shown that paracetamol cannot be used in all premature infants. This literature review was conducted to determine the comparison of paracetamol and ibuprofen in premature infants diagnosed with patent ductus arteriosus. From the analysis of 15 journals, the comparison of the effectiveness of paracetamol and ibuprofen in premature infants has the same effectiveness and there is no statistically significant difference. But the effectiveness of ibuprofen is much better in premature infants with very low birth weight (VLBW) and extremely low birth weight (ELBW) infants than paracetamol. The adverse effects that are often caused by ibuprofen are gastrointestinal bleeding, thrombocytopenia, increased BUN levels, increased serum creatinine levels, increased incidence of AKI, hyperbilirubinemia, and oliguria. Meanwhile, other side effects such as BPD, IVH, NEC, ROP, sepsis, SGOT and SGPT levels and death were not found to be statistically significant differences in the two drugs.
Profil Klinis dan Evaluasi Penggunaan Antibiotik Penderita Demam Tifoid di RSUD Tarakan Dharmawan, Ade; Widya, Widya; Wijaya, Diana; Gunardi, Wani Devita; Antoni, Marcel
Jurnal Ners Vol. 9 No. 2 (2025): APRIL 2025
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/jn.v9i2.43471

Abstract

Demam tifoid merupakan penyakit endemik yang sering terabaikan dan tidak diobati sehingga dapat terjadi resistensi antibiotik. Prevalensi demam tifoid di Jakarta dan provinsi lain di Indonesia tersebar merata tetapi bergantung dengan faktor yang mempengaruhi yaitu sanitasi lingkungan dan kebersihan diri. Demam tifoid dapat diderita oleh semua orang terutama perempuan dan berusia 18 – 60 tahun. Untuk menegakkan diagnosis, pemeriksaan penunjang harus dilakukan yaitu dengan pemeriksaan immunoserologi seperti widal atau tubex. Profil klinis penyakit ini tidak spesifik dan sering disangka penyakit ringan dengan ciri khas demam tinggi pada malam hari. Desain penelitian dilakukan yaitu cross sectional yang bersifat deskriptif dengan pendekatan retrospektif dan diambil melalui data sekunder yaitu rekam medis pasien. Penelitian ini juga melakukan evaluasi antibiotik yang diberikan kepada penderita. Hasil dari penelitian menunjukan profil klinis paling banyak diderita adalah demam. Untuk pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu tubex (72 %) dan widal (28 %). Antibiotik yang paling banyak digunakan adalah seftriakson (86 %), antibiotik lini kedua ini efektif untuk pasien rawat inap demam tifoid. Ketepatan antibiotik yang diberikan, dosis, frekuensi dan lama pemberian terdapat perbedaan dengan Konsensus Demam Tifoid karena pasien demam tifoid di RSUD Tarakan menderita penyakit penyerta yaitu COVID – 19 sehingga antibiotik yang diberikan harus disesuaikan untuk penyembuhan optimal.
Rasionalitas Penggunaan Obat Benzodiazepine oleh Dokter Selama 10 Tahun Terakhir: Sebuah Literature Review Anughrahani, Lilie; Wijaya, Diana; Ndraha, Suzanna; Rumawas, Marina Astrid
Jurnal MedScientiae Vol. 4 No. 2 (2025): Agustus
Publisher : Universitas Kristen Krida Wacana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36452/jmedscientiae.v4i2.3651

Abstract

Mental disorders have become a common problem globally. The World Health Organization shows that more than one in six people experienced mental health problems in 2016. Benzodiazepines, a drug that has been on the market since 1957, are often used to treat mental and behavior-related problems. Although effective for certain conditions, long-term use of benzodiazepines can cause significant side effects. Health regulations and guidelines suggest that treatment with benzodiazepines should be carried out rationally with reference to the Decree of the Minister of Health of the Republic of Indonesia in 2021 concerning the National Formulary. This literature aims to conduct a review to evaluate the rationality of the use of benzodiazepines by doctors in various countries over the past ten years. The method in this study is to search for articles through Google Scholar and Pubmed. The results obtained were that benzodiazepines are generally used to treat anxiety and sleep disorders. The maximum dose, which is according to the national formulary and the Food and Drug Administration, does not have a significant difference. Challenges that need to be addressed involve aspects of prescribing, such as ensuring the recipe is in accordance with the right indications, adhering to dosage restrictions, and paying attention to the maximum duration of use. Therefore, there needs to be clear rules to regulate this, supported by active socialization efforts to increase doctors' understanding and compliance with more rational prescribing practices.