Bambang J. Oetoro
Faculty of Medicine Universitas Khatolik Atma Jaya Jakarta

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Implikasi Anestesi Pasien Cedera Kepala Traumatik dengan Penyakit Jantung Bawaan (PJB) Sianotik: Masalah Hiperviskositas Darah Agus Baratha Suyasa; Nazaruddin Umar; Bambang J. Oetoro
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 2, No 3 (2013)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (272.383 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol2i3.159

Abstract

Saat ini banyak penderita penyakit jantung bawaan (PJB) yang mampu bertahan sampai dewasa (15–25%). Penderita PJB memiliki anatomi serta fisiologi yang kompleks dan spesifik dengan morbiditas dan mortalitas perioperatif yang tinggi. Anak-anak dengan PJB meningkatkan resiko henti jantung serta mortalitas 30 hari setelah pembedahan mayor maupun minor dibandingkan dengan anak-anak yang sehat. Cedera otak traumatik merupakan salah satu kondisi yang mengancam jiwa dan merupakan penyebab utama kecacatan serta kematian pada dewasa dan anak-anak. Edema serebral sering ditemui dalam praktek klinis serta dapat menimbulkan masalah besar termasuk iskemia serebral, yang memperburuk aliran darah otak regional dan global, pergeseran kompartemen intrakranial akibat peningkatan tekanan intrakranial (TIK) sehingga menekan struktur vital otak. PJB sianotik memiliki kadar hematokrit yang meningkat dan diasumsikan berhubungan dengan resiko trombosis serebral dan stroke. Peningkatan massa sel darah merah dicurigai sebagai penyebab sindroma hiperviskositas dimana kadar hematokrit selanjutnya menjadi faktor resiko tejadinya infark serebral. Terdapat hubungan yang signifikan antara aliran darah otak dan kadar hematokrit namun belum jelas dinyatakan dalam literatur berapa batas kadar hematokrit, dan kriteria untuk dilakukan phlebotomi. Namun beberapa argumentasi menyatakan polisitemia (kadar hematokrit 60%) memiliki efek yang merugikan dan harus diturunkan dengan phlebotomi karena kompensasi yang berlebihan akan mengganggu aliran darah regional serta aliran darah serebral Anesthesia Implication in a Traumatic Brain Injury Patient with Cyanotic Congenital Heart Disease (CHD): Blood hyperviscosity problem Many patients with congenital heart disease (CHD) survive to adulthood period (15–25%). Patients with CHD have a complex and specific anatomy and physiology with high perioperative morbidity and mortality. Children with congenital heart disease have an increased risk of cardiac arrest and 30 days mortality after both major and minor surgeries compared to healthy children. Traumatic brain injury is one of a life-threatening conditions which is the leading cause of disability and death in both adults and children. Cerebral edema is commonly encountered in clinical practice which have potential to cause major problems including cerebral ischemia, which was worsen the regional and global cerebral blood flow, intracranial compartment shift due to an increase in intracranial pressure (ICP) therefore pressing the vital structures of the brain. Cyanotic congenital heart disease patients have an increased hematocrit levels and this is assumed to be related to the risk of cerebral thrombosis and stroke. Increased red blood cell mass is suspected as the cause of hyperviscosity syndrome in which the hematocrit levels is a further risk factor for cerebral infarction is a significant relationship between cerebral blood flow and hematocrit levels. However the haematocrit unit and criterias for phlebotomy has not been explicitly stated in the literature. Some arguments stated that polycythemia (hematocrit levels 60%) had an adverse effect and should be reduced by phlebotomi as excessive compensation would disrupt the regional blood flow and cerebral blood flow. 
Pengelolaan Kadar Gula Darah Perioperatif pada Pasien Diabetes Mellitus dengan Tumor Cerebellopontine Angle Dhania Anindita Santosa; Syafruddin Gaus; Bambang J. Oetoro; Siti Chasnak Saleh
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 7, No 1 (2018)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (405.746 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol7i1.25

Abstract

Prevalensi penyakit diabetes mellitus (DM) meningkat sangat cepat pada abad ke-21, terutama karena obesitas, penuaan dan kurangnya aktivitas fisik. International Diabetes Federation (IDF) menyatakan diperkirakan penderita DM menjadi 380 juta pada tahun 2025. Pasien dengan DM yang menjalani pembedahan mungkin sudah disertai dengan penyakit lain akibat DM. Episode hipoglikemia, hiperglikemia dan variabilitas kadar gula darah yang tinggi perioperatif memberikan risiko tingginya komplikasi perioperatif pada pasien. Seorang ahli anestesi memegang peranan penting dalam pengelolaan perioperatif pasien-pasien seperti ini, terutama pasien bedah saraf di mana otak sangat bergantung pada glukosa sebagai bahan bakar.  Seorang wanita usia 46 tahun dengan DM dan tumor cerebellopontine angle (CPA) menjalani pembedahan elektif eksisi tumor. Pembedahan dilakukan dengan anestesi umum intubasi endotrakeal dan berjalan kurang lebih sembilan jam. Tantangan selama periode perioperatif adalah menjaga kadar gula darah tetap dalam rentang target yang diinginkan untuk meminimalisir cedera sekunder pada otak yang dapat mempengaruhi luaran kognitif serta komplikasi perioperatif yang mungkin terjadi. Pascabedah pasien dirawat di ICU dengan bantuan ventilator dan dilakukan ekstubasi tiga jam pascabedah dengan kadar gula darah stabil dan tanpa sequelaePerioperative Glucose Control in Diabetic Patients with Cerebellopontine Angle TumorPrevalence of patients with diabetes mellitus (DM) increases rapidly in the 21st century, mainly due to obesity, aging and lack of physical activity. International Diabetes Federation (IDF) predicted that by the year of 2025, 380 million people will suffer from DM. Diabetic patients undergoing surgery might have other diseases caused by DM. Episodes of hypoglycemia, hyperglycemia and high perioperative glucose level put the patients into higher perioperative risks. Anesthesiologists play a key role in perioperative management in these patients, moreover in neurosurgery pastients, as brain is very glucose-dependent. A 46 year old diabetic woman with cerebellopontine angle (CPA) tumor underwent elective surgery of tumor removal. Surgery was done under general endotracheal anesthesia and lasted for nine hours. Challenges during perioperative period are to maintain glucose level within target range to minimize secondary injury to the brain which may influence cognitive outcome and other possible perioperative complications. Patient was taken care at the ICU post operatively with ventilator. Patient was weaned and extubated three hours later with stable glucose control and no sequelae.
Gangguan Natrium pada Pasien Bedah Saraf Buyung Hartiyo Laksono; Bambang J. Oetoro; Sri Rahardjo; Siti Chasnak Saleh
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 3, No 1 (2014)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2375.627 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol3i1.132

Abstract

Gangguan pada susunan saraf pusat (SSP) akan mengakibatkan gangguan pada fungsi axis hipotalamus hipofise, yang akan menyebabkan gangguan pada keseimbangan cairan dan elektrolit. Selain karena lesi neurologis primer yang terjadi pada SSP, penyebab kelainan elektrolit ini juga disebabkan oleh tindakan pembedahan atau iatrogenik, tindakan perawatan pascabedah di intensive care unit (ICU) akibat dari tindakan medis, misalnya obat-obatan dan pemberian cairan intravena, pemberian diuretik, pemberian steroid dan mannitol. Gangguan elektrolit paling banyak terjadi pada natrium. Dua kondisi dengan klinis hiponatremi adalah SIADH dan CSWS, yang penataksanaan keduanya sangat berbeda. Hampir 62% pasien bedah saraf dengan hiponatremia (kadar natrium 135 mmol/L) disebabkan oleh SIADH, sedangkan sisanya 16,6% karena penggunaan obat-obatan dan 4,8% karena CSWS. Gangguan natrium dengan gambaran klinis hipernatremi adalah diabetes insipidus (DI). DI terjadi sekitar 3,8 % pada pasien bedah saraf. Kondisi keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien dengan kelainan SSP yang dilakukan tindakan anestesi dan operasi merupakan tantangan khusus bagi dokter anestesi dan intensivist. Pasien pasien bedah saraf biasanya mendapatkan terapi diuretik sebagai salah satu manajemen edema otak dan untuk mengurangi tekanan intrakranial. Di sisi lain efek diuresis dari lesi pada otak dan penggunaan teknik hipotermi juga akan menambah kondisi diuresis pada pasien bedah saraf. Efek diuresis yang berlebihan menyebabkan kehilangan natrium. Sodium Disturbance in Neurosurgical PatientDisturbance of the central nerve system (CNS) will lead to interference with the function of the hypothalamus pituitary axis and will cause disruption of fluids and electrolytes balance as well. In addition to its primary neurological lesions occurring in the CNS, the cause of electrolyte abnormalities are also due to surgical procedure or iatrogenic, postoperative medical treatment in ICU such as administration of drugs and intravenous fluids, diuretics, steroids and mannitol. The most frequent electrolyte disorder is sodium. Two clinical conditions related to hyponatremia are SIADH and CSWS which the management can be totally different, respectively. Nearly 62% of neurosurgical patients with hyponatremia (sodium levels 135 mmol / L) is caused by SIADH, while the remaining 16.6% patient is due to the use of drugs and 4.8% patient is due to CSWS. Sodium disorder clinically referred to as hypernatremia is diabetes insipidus (DI). DI occurs around 3.8% in neurosurgical patients. The condition of fluid and electrolyte balance in patients with CNS disorders undergoing anesthesia and surgery is a particular challenge for anesthesiologists and intensivists. The patients usually receive diuretic therapy to manage brain edema and to reduce intracranial pressure. On the other hand, diuresis effects due to brain lesions and the use of hypothermia technique will also increase diuresis condition in neurosurgical patients. Excessive diuresis effect will cause loss of sodium.
Hipotermia untuk Proteksi Otak Dewi Yulianti Bisri; Bambang J. Oetoro; M. Sofyan Harahap; Siti Chasnak Saleh
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 1, No 4 (2012)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (336.407 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol1i4.197

Abstract

Proteksi otak adalah serangkaian tindakan yang dilakukan untuk mencegah atau mengurangi kerusakan sel-sel otak yang diakibatkan oleh keadaan iskemi. Iskemia adalah gangguan hemodinamik yang akan menyebabkan penurunan aliran darah otak sampai suatu tingkat yang akan menyebabkan kerusakan otak yang ireversibel. Iskemi serebral dan atau hipoksia dapat terjadi sebagai konsekuensi dari syok, stenosis atau oklusi pembuluh darah, vasospasme, neurotrauma, dan henti jantung. Hipotermia dibagi menjadi hipotermia ringan (33-36OC), hipotermia sedang (28-32OC), hipotermia dalam (11-20OC), profound (6-10OC), dan ultraprofound (5OC).Teknik hipotermia di bagi kedalam 3 fase yaitu: fase induksi, fase rumatan dan fase rewarming. Teknik hipotermia yang dianjurkan adalah hipotermia ringan hingga sedang dan penggunaannya segera setelah cedera otak traumatika dan tidak lebih dari 72 jam. Hipotermia dapat mempengaruhi sistem kardiovaskuler, sistem respirasi, infeksi dan fungsi saluran cerna, sistem ginjal, asam basa dan hematologi. Efek hipotermia sebagai proteksi adalah efek terhadap metabolism dan aliran darah otak, excitotoxicitas, oxidative stress dan apoptosis, inflamasi, blood-brain barrier (BBB), permeabilitas pembuluh darah dan pembentukan edema, dan terhadap mekanisme ketahanan hidup sel. Mekanisme proteksi otak dengan hipotermi belum sepenuhnya dimengerti dengan jelas, hanya sebagian saja diketahui bagaimana mekanismenya. Rewarming adalah proses pemulihan temperatur ini ke temperatur inti normal. Rewarming harus dilakukan sangat pelahan untuk mengurangi kejadian komplikasi seperti hipertemia, hiperkalemia dan kerusakan sel. Hypothermia for Brain ProtectionCerebral protection is the preemptive use of theurapeutic intervention to avoid or decrease neurologic damage cause by ischemia. Ischemia is defined as perfussion insufficient to the level will be cause irreversible brain damage. Cerebral ischemia and or hypoxia as consequency of shock, stenosis or vascular occlusion, vasospasm, neurotrauma, and cardiac arrest. Hypothermia were divided into mild hypothermia (33-36OC), hypothermia was (28-32oC), hypothermia in the (11-20oC), profound (6-10°C), and ultraprofound (5oC). Hypothermia technique is classified into 3 phases namely: an induction phase, maintenance phase and the phase of rewarming. The recommended technique of hypothermia is mild to moderate hypothermia and its use soon after brain injury traumatika and not more than 72 hours. Hypothermia can affect the cardiovascular system, respiratory system, gastrointestinal tract infections and function, renal system, acid-base and hematologic. Effect of hypothermia as brain protective are effect on cerebral blood flow and metabolism, on excitotoxicity, oxidative stress and apoptosis, inflammation, blood-brain barrier (BBB), permeability of blood vessels and form of edema, and the mechanisms of cell survival. Mechanism of brain hypothermia protection as a whole is not clearly known mechanism, only in part be obvious how mthe mechanism. Rewarming is the core body temperature returns to normal core body temperature. Rewarming should be done very slowly to reduce the incidence of complication as hyperthermia, hyperkalemia and cell damage.