Siti Chasnak Saleh
Faculty of Medicine Universitas Airlangga Surabaya

Published : 7 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Tight Brain pada Anestesi Awake Craniotomy dengan Dexmedetomidine Riyadh Firdaus; Dewi Yulianti Bisri; Siti Chasnak Saleh; A. Hmendra Wargahadibrata
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 6, No 2 (2017)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (733.353 KB) | DOI: 10.24244/jni.v6i2.45

Abstract

Anestesi pada awake craniotomy dilakukan dengan menggunakan salah satu atau kombinasi dari teknik scalp block, sedasi dengan propofol dan dexmedetomidine. Teknik ini memfasilitasi awake craniotomy sehingga pemetaan intraoperatif fungsi korteks elokuen yang memfasilitasi reseksi tumor secara radikal. Kebutuhan pemetaan korteks adalah untuk menggambarkan fungsi otak antara lain bicara, sensorik dan motorik dengan tujuan mempertahankan selama dilakukan reseksi. Obat yang diberikan harus dapat memberikan level sedasi dan analgesia yang adekuat untuk mengangkat tulang tetapi tidak mempengaruhi tes fungsional dan elektrokortikografi. Prosedur ini sama dengan kraniotomi standar dengan perbedaan pasien sadar penuh selama pemetaan korteks dan reseksi tumor. Dexmedetomidine adalah suatu agonis adrenoreseptor α-2 spesifik dengan efek sedatif, analgetik, anesthetic sparing effect, efek proteksi otak, tidak adiksi, tidak menekan respirasi dan pasien mudah dibangunkan. Wanita, 54 tahun dengan keluhan utama kejang berulang sejak 3 hari yang lalu. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien didiagnosis tumor lobus frontal kanan. Pasien dilakukan pengangkatan tumor dengan teknik awake craniotomy. Pasien dilakukan scalp block, sedasi dengan propofol dan dexmedetomidine. Saat operasi berlangsung didapatkan kondisi tight brain. Dexmedetomidine dipertimbangkan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi relaksasi otak selama operasi. Lama operasi kurang lebih 5 jam. Pascaoperasi pasien dirawat di HCU.Tight Brain on Awake Craniotomy Anesthesia with DexmedetomidineAnesthesia in awake craniotomy is done using scalp block, propofol sedation, dexmedetomidine sedation or a combination of the three. This technique facilitate awake craniotomy such that intraoperative mapping of eloquent cortical function can be done in radical tumor resection. The need for cortical mapping is to describe and maintain brain function such as speaking, sensoric and motoric function throughout the resection process. The drug given must be able to provide adequate sedation and analgesia for bone removal but do not interfere with the result of function test and electrocorticography. This procedure is similar to other craniotomy, however the patient is alert during cortical mapping and tumor resection and is able to speak after tumor is resected. Dexmedetomidine is an alpha 2 adrenoreceptor agonist with specific effects such as sedation, analgesia, anesthetic sparing, cerebral protection, non addictive, does not suppress respiration, comfortable and easy to recover from. A case of 54 years old female with chief complaint of recurrent seizure in the last 3 days prior to admission is described. Based on history and examination, patient is diagnosed with right frontal lobe tumor. Patient underwent tumor resection using awake craniotomy technique. Scalp block combined with propofol and dexmedetomidine sedation was done. During the surgery, tight brain was encountered. Dexmedetomidine was evaluated as one of the factors that influence the brain relaxation throughout surgery. The Surgery took 5 hours, post surgery patient is observed in HCU.
Tatalaksana Anestesi pada Microvascular Decompression (MVD) Bau Indah Aulyan Syah; Siti Chasnak Saleh; Sri Rahardjo
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 4, No 1 (2015)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2849.803 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol4i1.104

Abstract

Microvascular decompression (MVD) nervus kranialis merupakan salah satu terapi untuk trigeminal neuralgia, spasme hemifacialis, dan neuralgia glosspharyngeal. Seorang wanita 52 tahun masuk ke rumah sakit dengan keluhan utama kedutan pada wajah sebelah kiri selama 17 tahun dan telah berobat ke beberapa dokter, termasuk suntikan botoks, namun hasilnya tidak memuaskan. Pemeriksaan MRI otak menunjukkan persilangan arteri cerebellaris anterior inferior (AICA) kiri dengan N. VII di daerah entry zone. Hal ini dapat menyebabkan TIC fasialis kiri. Pasien ini didiagnosis dengan spasme hemifasialis sinistra dan akan menjalani prosedur MVD. Pasien dianestesi dengan teknik anestesi umum intubasi endotrakea dengan menerapkan prinsip-prinsip neuroanestesia. Pada pasien ini tidak ditemukan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, namun dalam memfasilitasi pembedahan untuk dekompressi saraf yang tertekan, sangat penting untuk menurunkan volume otak. Karena itu, diterapkan beberapa metode, seperti hiperventilasi volunter, pemberian mannitol 20% 150mL dengan mempertahankan batas autoregulasi. Kombinasi anestesi inhalasi (sevofluran 0,6-1,5%) dan intravena (propofol kontinyu 60–100mg/jam), relaksasi dengan vecuronium kontinyu 2,5–4,5mg/jam. Cairan rumatan dipilih ringer fundin 400ml dan NaCl 0,9% 500ml melalui 2 jalur intravena. Operasi berjalan selama 2 jam, pendarahan sebanyak 150mL, urin 1000mL dilakukan ekstubasi segera setelah operasi selesai. Pasca anestesi, pernapasan dan hemodinamik stabil dan adekuat. Pemeriksaan neurologis di ruang pemulihan didapatkan kedutan menghilang Anesthesia Management for Microvascular Decompression (MVD)Microvascular decompression (MVD) cranial nerves as a therapy for trigeminal neuralgia, hemifacial spasm, and glosso pharyngeal neuralgia. A 52 years old female, came to the hospital due to the twitching on the left side of her face. She had been experiencing the twitching for over 17 years, had been treated by several doctors, including Botox injection, but with no satisfying outcome. MRI examination showed intercrossing of the left anterior inferior cerebellar artery (AICA) with the seventh cranial nerve in the area of entry zone. The condition caused the left facial TIC. She was diagnosed with left hemifacial spasm and planned for a MVD procedure. The patient was anesthetized with endotracheal intubation under general anesthesia using neuroanesthesia principles. There was no sign of increased intracranial pressure. Nevertheless, it is importance to facilitate the nerve decompression procedure by reducing the brain volume that can be perform with several methods, such as voluntary hyperventilation, administering mannitol 20% 150 mL while maintaining the autoregulation level. Combination of inhalation (sevofluran 0,6-1,5%) and intravenous anesthesia (propofol continuously 60–100mg/hour) was chosen, relaxation was obtained with continuous vecuronium 2,5-4,5mg/hr. Maintenance of intravenous fluids were Ringer fundin 400ml and NaCl 0,9% 500ml delivered via two intravenous routes. The operation was last for 2 hours, the amount of bleeding was 150 mL, and the urine was 1000 mL. The patient was extubated immediately after the operation. Breathing and hemodynamic post anesthesia were both stable and adequate. Neurological examination in the recovery room revealed no more twitching observed.
Gangguan Natrium pada Pasien Bedah Saraf Buyung Hartiyo Laksono; Bambang J. Oetoro; Sri Rahardjo; Siti Chasnak Saleh
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 3, No 1 (2014)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2375.627 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol3i1.132

Abstract

Gangguan pada susunan saraf pusat (SSP) akan mengakibatkan gangguan pada fungsi axis hipotalamus hipofise, yang akan menyebabkan gangguan pada keseimbangan cairan dan elektrolit. Selain karena lesi neurologis primer yang terjadi pada SSP, penyebab kelainan elektrolit ini juga disebabkan oleh tindakan pembedahan atau iatrogenik, tindakan perawatan pascabedah di intensive care unit (ICU) akibat dari tindakan medis, misalnya obat-obatan dan pemberian cairan intravena, pemberian diuretik, pemberian steroid dan mannitol. Gangguan elektrolit paling banyak terjadi pada natrium. Dua kondisi dengan klinis hiponatremi adalah SIADH dan CSWS, yang penataksanaan keduanya sangat berbeda. Hampir 62% pasien bedah saraf dengan hiponatremia (kadar natrium 135 mmol/L) disebabkan oleh SIADH, sedangkan sisanya 16,6% karena penggunaan obat-obatan dan 4,8% karena CSWS. Gangguan natrium dengan gambaran klinis hipernatremi adalah diabetes insipidus (DI). DI terjadi sekitar 3,8 % pada pasien bedah saraf. Kondisi keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien dengan kelainan SSP yang dilakukan tindakan anestesi dan operasi merupakan tantangan khusus bagi dokter anestesi dan intensivist. Pasien pasien bedah saraf biasanya mendapatkan terapi diuretik sebagai salah satu manajemen edema otak dan untuk mengurangi tekanan intrakranial. Di sisi lain efek diuresis dari lesi pada otak dan penggunaan teknik hipotermi juga akan menambah kondisi diuresis pada pasien bedah saraf. Efek diuresis yang berlebihan menyebabkan kehilangan natrium. Sodium Disturbance in Neurosurgical PatientDisturbance of the central nerve system (CNS) will lead to interference with the function of the hypothalamus pituitary axis and will cause disruption of fluids and electrolytes balance as well. In addition to its primary neurological lesions occurring in the CNS, the cause of electrolyte abnormalities are also due to surgical procedure or iatrogenic, postoperative medical treatment in ICU such as administration of drugs and intravenous fluids, diuretics, steroids and mannitol. The most frequent electrolyte disorder is sodium. Two clinical conditions related to hyponatremia are SIADH and CSWS which the management can be totally different, respectively. Nearly 62% of neurosurgical patients with hyponatremia (sodium levels 135 mmol / L) is caused by SIADH, while the remaining 16.6% patient is due to the use of drugs and 4.8% patient is due to CSWS. Sodium disorder clinically referred to as hypernatremia is diabetes insipidus (DI). DI occurs around 3.8% in neurosurgical patients. The condition of fluid and electrolyte balance in patients with CNS disorders undergoing anesthesia and surgery is a particular challenge for anesthesiologists and intensivists. The patients usually receive diuretic therapy to manage brain edema and to reduce intracranial pressure. On the other hand, diuresis effects due to brain lesions and the use of hypothermia technique will also increase diuresis condition in neurosurgical patients. Excessive diuresis effect will cause loss of sodium.
Konsep Dasar Transcranial Doppler (TCD) untuk Neurocritical Care Ida Bagus Krisna J. Sutawan; Siti Chasnak Saleh; Tatang Bisri
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 6, No 3 (2017)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (499.984 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol6i3.49

Abstract

Transcranial Doppler merupakan salah satu aplikasi dari penggunaan ultrasonografi (USG) sehingga bersifat noninvasif dan mobile. Untuk dapat menggunakan TCD dengan baik maka diperlukan pemahaman mengenai doppler effect yang merupakan dasar perhitungan dari parameter TCD, acoustic window yang mana merupakan tempat dimana dilakukan isonasi sehingga menemukan arteri yang benar, anatomi dari arteri yang akan diisonasi dan tipe alat TCD yang digunakan untuk mengisonasi. Informasi mengenai keadaan sirkulasi darah otak menggunakan TCD didapatkan melalui parameter-parameter yang langsung dihitung oleh alat TCD diantaranya peak systolic velocity, end diastolic velocity, mean flow velocity, pulsatility index dan resistence index. Selanjutnya ada juga informasi-informasi lainnya yang didapatkan dengan memasukkan parameter-parameter tersebut ke sebuah rumus, seperti misalnya mean flow velocity, tekanan intrakranial, tekanan perfusi otak. Selain itu TCD juga dapat digunakan untuk menilai keutuhan autoregulasi, vasospasme, hiperemia, dan mati batang otak.Basic Concept of Transcranial Doppler (TCD) for Neuroanesthesia and Critical CareTranscranial Doppler (TCD) is one of the applicable use of ultrasonograhy (USG), so it is noninvasif and mobile. To use TCD properly, the understanding of Doppler effect as the basic to calculate the parameters of TCD, acoustic window which are the place where to isonate to find the correct arterie, the anatomy of arteries that will be isonated and type of TCD device that will be used to isonated are needed. Information about cerebral circulation using TCD can be achieved from parameters that are directly calculated by the TCD device such as peak systolic velocity, end diastolic velocity, mean flow velocity, pulsatility index and resistence index. Furthermore, there are also informations that can be archived by putting up those parameters to a formula such as mean flow velocity, intracranial pressure and cerebral perfusion pressure. Beside that TCD also can be used to evaluate autoregulation, vasospasme, hypermia, and brain death. 
Fast Track Anesthesia untuk Prosedur Kraniotomi Evakuasi Hematom karena Stroke Hemoragik Bona Akhmad Fithrah; Bambang Suryono; Siti Chasnak Saleh; Himendra Warga Dibrata
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 7, No 2 (2018)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (418.852 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol7i2.6

Abstract

Fast tract anesthesia pertama kali dikenalkan pada periode 1990 dengan maksud untuk untuk mencegah kerusakan multi organ, komplikasi dan berujung pada masa pemulihan yang cepat. Dengan masa pemulihan yang cepat diharapkan akan mengurangi penggunaan ruang rawat intensif dan masa tinggal di rumah sakit yang lebih pendek. Prosedur fast tract bukan sekedar ekstubasi cepat tapi juga bagaimana mengelola pasien secara efektif dan efisien anestesi dalam periode perioperatif. Kondisi preoperatif yang baik. Penggunaan obat obatan kerja pendek-menengah dan prosedur yang singkat sangat menentukan kesuksesan fast track anesthesia. Akan kami laporkan suatu kasus perdarahan intrakranial, laki laki 60 th masuk ke IGD dengan keluhan sakit kepala berat, pasien dengan riwayat hipertensi tidak terkontrol, diabetes mellitus dan stroke non hemoragik sebelumnya tahun 2013. GCS masuk E3M6Vapasia. Tekanan darah 180/110 mmHg saat masuk. Dari CT scan kepala didapatkan perdarahan intracrebri pada lokasi temporoparietal kiri. Dilakukan prosedur evakuasi hematom segera. Gejolak hemodinamik saat laringoskopi direk dicegah dengan menggunakan lidokain intravena. Saat intraoperatif dilakukan teknik balans anestesi antara intravenous anestesi dengan gas anestesi. Analgetik diberikan intermitten dan relaksan diberikan secara kontinyu. MAP dipertahankan sekitar 90-110. Gula darah diperiksa setiap jam dan dipertahankan dengan drip insulin. Hemodinamik intraoperatif relatif stabil. Prosedur evakuasi hematom dilakukan selama tiga jam.  Dengan pertimbangan kesadaran preoperatif yang baik, prosedur yang tidak terlalu lama, hemodinamik stabil selama operasi, udem jaringan otak yang minimal tidak ada kerusakan jaringan yang berat maka dilakukan ekstubasi dan pasca operasi pasien dirawat di HCU. Pasien dirawat selama dua hari di HCU dan hari ke delapan pasien sudah keluar dari rumah sakitFast Track Anesthesia untuk Prosedur Kraniotomi Evakuasi Hematom karena Stroke HemoragikFast tract anesthesia first time introduced in early 1990 with aim to prevent multi organ failure, complication and speedy recovery.  With a quick recovery will reduce intensive care unit usage and reduce length of stay in the hospital. Fast tract anesthesia not just early extubation but also how to manage with effective and efficient anesthesia during perioperative. Good preoperative condition, using short acting drug and short procedure will determinate the successful of fast tract anesthesia. Here we report an intracerebral hemorrhage with fast tract anesthesia. Men, 60 yo attended to the ER with complaining severe headache. Patient with uncontrolled hypertension, diabettes mellitus and stroke non hemorahic in 2013. GCS when admission E3M6Vaphasia and blood pressure 180/110 mmHg. CT scan said intracerebri hemmorhage at left temporoparietal. Evacuation hematom performed urgently. Hemodinamic unstability during laringoscopy direct prevent with lidocaine intravenous. Anesthesia performed with balamnce anesthesia using intravenous and inhaled anesthesia. Analgetic intermitten, muscle relaxant given continuosly. MAP controlled 90-110. Blood glucose check every one hour and stabilized using insulin. During operation hemodynamic relatively stable. Procedur completed after three hours. Considering preoperatif awareness still good, not too long procedur, hemodynamic stable, and minimal brain edema or other brain tissue damaged patient extubated and transport to High care unit.patient was observed in the HCU for two days and after eight days stayed in the hospital patient can go back home.
Gangguan Koagulasi dan Hubungannya dengan Luaran Pascacedera Otak Traumatik Kenanga Marwan; Nazaruddin Umar; Siti Chasnak Saleh; A Himendra Wargahadibrata
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 3, No 2 (2014)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (590.262 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol3i2.135

Abstract

Gangguan koagulasi umum terjadi pada cedera otak traumatik (COT) dan seringkali memperburuk luaran. Gangguan ini diawali dengan lepasnya faktor jaringan dan trombin secara berlebihan pada bagian otak yang rusak, yang selanjutnya mengaktifkan jalur koagulasi. Gangguan koagulasi pada COT bersifat kompleks dan berupa kombinasi koagulopati dan hiperkoagulabilitas. Hiperkoagulabilitas dikaitkan dengan terjadinya disseminated intravascular coagulation (DIC) secara sistemik dan secara lokal dengan terbentuknya mikrotrombi di area penumbra daerah yang mengalami kontusi. Nilai abnormal fungsi koagulasi dapat terjadi karena kerusakan endotel saat cedera langsung dan tidak langsung oleh proses inflamasi, toksin dan iskemia. Koagulopati terjadi akibat turunnya jumlah platelet dan faktor pembekuan akibat kehilangan darah atau karena kosumsi oleh DIC, dan dipercepat dengan dilusi, asidosis dan hipotermi. DIC merupakan prediktor penting luaran COT yang buruk. Coagulation Disorders Post Traumatic Brain Injury Related OutcomeTraumatic disorder of hemocoagulation is common in traumatic brain injury (TBI) and frequently related to poor outcome. It begins with the massive release of thrombin or tissue factor from damage brain cells, following the activation of coagulation pathway. Coagulation disorder in TBI are complex and characterised by combination of coagulopathy and hypercoagulability. A hypercoagulable state may be generalised in the case of disseminated intravascular coagulation (DIC) or local with the development of microthrombi in the penumbra of a contusion. The presence of abnormal coagulation test in traumatic brain injury may be caused by cerebral vascular endothelial damage after direct injury, as well as indirect damage through inflammation, toxins, and ischaemia. Coagulopathy may result from depletion of platelets and clotting factors following blood loss or comsumption due to DIC, and may further be enhanced by dilution, acidosis and hypothermia. DIC is an important predictor of poor outcome in TBI.
Tatalaksana Anestesi pada Pendarahan Intraserebral Spontan Non Trauma M. Dwi Satriyanto; Siti Chasnak Saleh
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 4, No 1 (2015)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2763.402 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol4i1.102

Abstract

Pendarahan Intraserebral (PIS) adalah ekstravasasi darah yang masuk kedalam parenkim otak, yang dapat berkembang ke ruang ventrikel dan subarahnoid, yang terjadi secara spontan dan bukan disebabkan oleh trauma (non traumatis) dan salah satu penyebab tersering pada pasien yang dirawat di unit perawatan kritis saraf. Kejadian PIS berkisar 10–15% dari semua stroke dengan angka kematian tertinggi tingkat dari subtipe stroke dan diperkirakan 60% tidak bertahan lebih dari satu tahun. Laki-laki 18 tahun, datang dengan keluhan penurunan kesadaran setelah sebelumnya merasakan lemas pada anggota gerak kanan yang terjadi tiba-tiba saat mengendarai kendaraan. Pada pemeriksaan didapatkan kesadaran GCS E3M5V2 dengan hemodinamik cukup stabil, dan terdapat hemiplegi dextra. Pasien dirawat di perawatan intensif selama 4 hari, karena kesadaran menurun menjadi E2M4V2 maka dilakukan MSCT ulangan, dan ditemukan PIS bertambah (kurang lebih 30cc) dibandingkan dengan MSCT sebelumnya dengan midline shift lebih dari 5mm. Diputuskan untuk dilakukan tindakan kraniotomi evakuasi segera dengan pemeriksaan penunjang yang cukup. Tindakan kraniotomi evakuasi pada pasien PIS menjadi tantangan bagi seorang spesialis anestesiologi, sehingga diperlukan pengetahuan akan patofisiologi, mortalitas PIS dan tindakan anestesi yang harus dipersiapkan dan dikerjakan dengan tepat. Anesthesia Management in Spontaneous-Non Traumatic Intracerebral HemorrhageIntracerebral hemorrhage (ICH) is the extravasations of blood into the brain parenchyma, which may develop into ventricular and subarachnoid space, that occurs spontaneously and not caused by trauma (non-traumatic), and one of the most common causes in patients treated in the neurological critical care unit. ICH represents approximately 10–15% of all strokes with the highest mortality rates of all stroke subtypes and about 60% of patients with ICH may not survive within the first year. A 18 years old male with loss of consciousness after suffering from sudden right limb weakness while driving a vehicle. On examination, the level of consciousness (GCS) was E3M5V2 with stable hemodynamic and right hemiplegia. Patients was managed in intensive care unit (ICU) for 4 (four) days, and because of the decreasing level of consciousness to E2M4V2, the MSCt test was performed and the result revealed an ICH (approximately 30cc) compared to the previous MSCt with more than 5mm midline shift. Immediate craniotomy evacuation was then performed. Craniotomy evacuation in ICH patients is challenging for an anesthesiologist.Therefor, require a thorough understanding of the pathophysiology as well as mortality of ICH and anesthetic management should be prepared and done properly.