Yeni Novitasari
UIN sunan ampel surabaya

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Ila dan Zhihar Perspektif Tafsir Ayat Gender Yeni Novitasari; Revanda Yunianti; Sabilla Wirdatul Jannah
Ma’mal: Jurnal Laboratorium Syariah dan Hukum Vol. 2 No. 3 (2021): Juni
Publisher : Laboratorium Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5468.439 KB) | DOI: 10.15642/mal.v2i3.49

Abstract

Abstract: Ila and Zhihar are one of the reasons for the breakup of marriages during the ignorance. Ila is the husband's oath not to have sex with his wife anymore. At the same time, Zhihar is the husband's words which equate his wife's back with his mother's. In the past, husbands were arbitrary towards their wives—Ila during the jahiliyyah period of more than two years. So the wife is hanged not given certainty in a long time. Likewise with Zhihar during the ignorance. Husbands arbitrarily send their wives away and make it a marriage break. After going down verses 226- 227 QS. Al-Baqarah about ila, then the husband who makes ila his wife is given a challenging period of 4 months. If he wants to return, then pay expiation. And in Surah Al-Mujadalah verses 1-4 about zhihar, the law of zhihar is a grave sin that is not punished by divorce and those who wants to return must pay expiation. From As-babun Nuzul then, Islam has raised the degree of women. Ila and zhihar are closely related to gender inequality or bias. Husband as a man has a superpower in controlling women, namely his wife. From this, M. Quraish Shihab explains in his gender equality verses that men and women have the same position, to help each other help and love each other. Even if there is a verse regarding the husband's position as the leader, then that too must not injure the rights of the wife. Keywords : Ila, zhihar, gender, Quraish Shihab   Abstrak : Ila dan zhihar adalah salah satu jenis sebab putusnya perkawinan pada masa jahiliyah. Ila merupakan sumpah suami untuk tidak menggauli istrinya lagi. Sedangkan zhihar adalah pekataan suami yang menyamakan punggung istri sama dengan punggung ibunya. Dahulu para suami semena-mena terhadap istri. Ila pada masa jahiliyah lebih dari 2 tahun. Sehingga istri digantung tidak diberi kepastian dalam waktu yang lumayan  lama. Begitu juga dengan Zhihar pada masa jahiliyah. Para suami seenaknya menzhihar istrinya, dan menjadikan hal itu sebagai putus perkawinan. Setelah turun ayat 226-227 QS. Al-Baqarah tentang ila, maka suami yang mengila istrinya diberikan waktu tangguh 4 bulan. Jika ia ingin kembali maka membayar kafarat. Dan Dalam surat Al-Mujadalah ayat 1-4 tentang zhihar, bahwa hukum zhihar adalah dosa besar, tidak dihukumi talak dan yang ingin kembali harus membayar kafarat. Dari Asbabun Nuzul tersebut maka, Islam telah mengangkat derajat perempuan. Ila dan zhihar erat sekali hubungannya dengan ketimpangan atau bias gender. Suami sebagai seorang laki-laki memiliki superpower dalam mengendalikan perempuan yaitu istrinya. Dari hal tersebut, M. Quraish Shihab menerangkan dalam ayat-ayat kesetaraan gendernya bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama, untuk saling tolong menolong dan saling mengasihi. Kalaupun terdapat ayat yang tentang kedudukan suami sebagai pemimpinnya, maka itupun tak boleh mencederai hak-hak istri. Kata Kunci : Ila, zhihar, gender, Quraish Shihab
Hukum Pembatalan Perkawinan karena Pemalsuan Identitas Yeni Novitasari; Daning Dwi Apriliyana; Moh. Firdaus Ramadan Huda; Agus Solikin
Ma’mal: Jurnal Laboratorium Syariah dan Hukum Vol. 2 No. 6 (2021): Desember
Publisher : Laboratorium Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (266.425 KB) | DOI: 10.15642/mal.v2i6.109

Abstract

Abstract: Identity falsification is an unlawful act, let alone done in marriage. This can lead to the annulment of the wedding.  This article discusses the marriage annulment law in the Nganjuk Religious Court decision No. 0537/Pdt.G/2017/PA. Ngj for identity falsification.  Metode used in this research is a literature study with normative analysis based on the analysis of literature research information. Research data is collected from legislation, books, articles, and journals related to research objects. Based on the study that has been done obtained, the conclusion is that first,  in Article 22 of Law No. 1 of 1974, the annulment of marriage can be granted based on the application for dissolution of marriage because of the non-fulfilment of the conditions formal when the wedding. This is reinforced by Article 72, paragraph (2) of the Compilation of Islamic Law, which explains that the annulment of marriage can be filed if it is clear that there is fraud and misjudging against the husband or wife. Second,  in this ruling, the panel of judges granted the applicant the request for annulment of marriage because it was proven that there was a legal defect caused by the falsification of identity by Respondent II. This is by the applicable laws in Indonesia. Keywords: Annulment of Marriage, Falsification of Identity, Religious court rulings, laws, laws. Abstrak: Pemalsuan identitas merupakan tindakan yang melanggar hukum, apalagi dilakukan dalam perkawinan. Hal tersebut bisa menyebabkan pembatalan perkawinan. Artikel ini membahas tentang hukum pembatalan perkawinan yang terdapat dalam putusan Pengadilan Agama Nganjuk Nomor 0537/Pdt.G/2017/PA.Ngj karena pemalsuan identitas. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka dengan analisis normatif yang didasarkan pada hasil analisis informasi riset kepustakaan. Data riset dikumpulkan dari perundang-undangan, buku, artikel serta jurnal yang berhubungan dengan objek riset. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa pertama, pada Pasal 22 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pembatalan perkawinan dapat dikabulkan sesuai dasar tentang pengajuan pembatalan perkawinan karena tidak terpenuhinya syarat-syarat formil ketika melangsungkan perkawinan. Hal tersebut diperkuat oleh Pasal 72 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang menjelaskan bahwa pembatalan perkawinan dapat diajukan apabila telah jelas pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan dan salah sangka terhadap diri suami atau istri. Kedua, dalam putusan ini, majelis hakim mengabulkan permohonan pembatalan perkawinan oleh pemohon karena dinyatakan terbukti adanya cacat hukum yang disebabkan karena pemalsuan identitas oleh Termohon II. Hal tersebut telah sesuai dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Kata Kunci: Pembatalan Perkawinan, Pemalsuan Identitas, Putusan Pengadilan Agama, hukum, undang-undang.
Pernikahan Siri Janda atau Duda dari Aparatur Sipil Negara Perspektif Maqasid al-Shari’ah Athifatul Wafirah; Yeni Novitasari; Hammis Syafaq
Ma’mal: Jurnal Laboratorium Syariah dan Hukum Vol. 4 No. 4 (2023): Agustus
Publisher : Laboratorium Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/mal.v4i4.142

Abstract

Abstract: There are regulations on marriage for widows or widowers of the deceased State Civil Apparatus. Widows/widowers of civil servants who pass away continue to receive pension benefits while unmarried. However, some widows/widowers from ASN still perform siri (secret) marriages to get alimony funds. This article discusses the law of siri marriage for widows/widowers of civil servants from the perspective of maqasid al-shari'ah. This research is normative. Data comes from rules, books and journal articles. The collected data were analyzed with the theory of maqasid al-shari'ah deductively. The results of the study concluded that one of the factors for widows/widowers of civil servants remarrying siri is to continue to receive pension benefits. It is as stipulated in Law Number 11 of 1969 concerning Employee Pension and Employee Widow/Widower Pension article 9, which states that widows/widowers of deceased civil servants are entitled to benefits while unmarried. If they remarry, they will have their benefits cut off. Siri marriages with such intentions violate maqasid al-shari'ah, especially in hifz al-nasl, because it is incompatible with the purpose of marital benefit and is opposed to hifz al-mal because it is part of fraud. Keywords: Marriage, widow/widower, State Civil Apparatus, alimony, maqasid al-shari’ah. Abstrak: Terdapat peraturan khusus tentang perkawinan bagi janda atau duda dari Aparatur Sipil Negara yang meninggal. Janda/duda dari ASN yang meninggal dunia, tetap mendapat tunjangan pensiun selama tidak menikah. Namun, terdapat janda/duda dari ASN yang melakukan nikah seacra siri agar tetap mendapat dana tunjangan. Artikel ini membahas tentang hukum pernikahan siri bagi janda/duda ASN dalam perspektif maqasid al-shari’ah. Penelitian ini adalah penelitian normatif. Data berasal dari undang-undang, buku dan artikel jurnal. Data yang terkumpul dianalisis dengan teori maqasid al-shari’ah secara deduktif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa salah satu faktor janda/duda ASN menikah lagi secara siri adalah untuk tetap mendapat tunjangan pensiun. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai pasal 9, yang menyebutkan bahwa janda/duda dari ASN yang meninggal berhak mendapat tunjangan selama tidak menikah. Jika menikah lagi, maka akan terputus tunjangannya. Pernikahan siri dengan maksud tersebut telah menyalahi maqasid al-shari’ah, khususnya dalam hifz al-nasl karena tidak sesuai dengan tujuan kemaslahatan perkawinan dan bertentang dengan hifz al-mal karena bagian dari penipuan. Kata kunci: Pernikahan, janda/duda, Aparatur Sipil Negara, tunjangan, maqasid al-shari’ah. Â