Dina Dwikurniarini - Dwikurniarini
Universitas Negeri Yogyakarta

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

SIMBOLISME SENI DALAM BUDAYA JAWA DI ERA GLOBAL: SUATU KAJIAN DARI BATIK DAN TARI KLASIK GAYA YOGYAKARTA Dina Dwikurniarini - Dwikurniarini
Mozaik: Kajian Ilmu Sejarah Vol 6, No 1 (2012): Mozaik Volume 6, No.1 (2012)
Publisher : Universitas Negeri Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (74.64 KB) | DOI: 10.21831/moz.v6i1.3474

Abstract

Abstrak Globalisasi adalah suatu kondisi yang tidak dapat dihindarkan sehingga dapat mempengaruhi dan mengubah berbagai hal di dunia ini. Kebudayaan juga mengalami banyak perubahan  karena perkembangan komunikasi maupun teknologi. Tulisan ini mencoba menjelaskan faktor-faktor apa saja yang terjadi pada budaya  Indonesia karena proses perubahan tersebut. Batik dan tari adalah kebudayaan khas Indonesia yang sudah berumur paling tidak  sama dengan umur  Yogyakarta. Penciptaan motif dalam batik maupun tari mengandung makna tertentu, sehingga benar-benar ditujukan untuk maksud tertentu, seperti gerak tari yang melambangkan kegagahberanian dan kelembutan. Demikian juga dengan batik yang ditujukan untuk kemuliaan, kebahagian bagi pemakainya, sehingga orang akan memilih mana yang paling tepat digunakannya pada keperluan tertentu. Perkembangan teknologi dan komunikasi menjadikan kebudayaan mengalami perkembangan yang sangat beragam tergantung pada sebesar apa pengaruh itu datang. Simbolisme dalam budaya Jawa mulai terkikis juga karena kepentingan pasar sebagai orientasi utama globaliisasi. Batik diciptakan menerjang aturan-aturan motif demi pasar seperti warna, motif yang dipadukan dengan berbagai gaya dan selera masa kini. Pada akhirnya akan menghasilkan seni budaya indah dalam konteks kekinian dan bukan keindahan dalam konteks klasik. Artinya ada pergeseran kepentingan demi kebutuhan manusia dan itu juga merupakan suatu keuntungan untuk perkembangan budaya sendiri yang makin mendunia. Untuk mempertahankan tradisi klasik bukan hal yang mudah saat ini, karena orientasi budaya juga mengalami perubahan kepentingan. Tulisan ini akan mencoba menyoroti bidang-bidang itu dari aspek historis dan ekonomis suatu perjalanan budaya lokal yang adiluhung dari batik dan tari klasik. Kata Kunci: Batik, globalisasi, dan simbolisme
PENYAKIT KUSTA DI BANGKALAN PADA ABAD KE-20 Dina Dwikurniarini; Ita Mutiara Dewi
Mozaik: Kajian Ilmu Sejarah Vol 9, No 1 (2018): MOZAIK
Publisher : Universitas Negeri Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (278.522 KB) | DOI: 10.21831/moz.v9i1.19406

Abstract

Artikel ini membahas tentang penyakit kusta yang pernah mewabah di Indonesia pada Abad ke-20, terutama di wilayah Bangkalan, Madura. Artikel ini berusaha mengungkap faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perkembangan wabah penyakit kusta di Bangkalan, Madura dan mengetahui cara pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam menanggulani wabah kusta di Madura. Faktor geografis Bangkalan dengan iklim yang panas, menyebabkan kurang tersedianya akses air bersih untuk higieni dan sanitasi bagi masyarakat. Selain itu tingkat kepadatan penduduk Bangkalan cukup tinggi, sehingga wabah kusta mudah menyebar. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda berusaha memberlakukan berbagai kebijakan seperti propaganda kesehatan dalam menanggulangi penyakit tersebut. Kata kunci: Sejarah, Kesehatan, Hindia Belanda
PERANAN PEREMPUAN DI LUAR RUMAH TANGGA DALAM PERSPEKTIF HISTORIS Dina - Dwikurniarini
Mozaik: Kajian Ilmu Sejarah Vol 2, No 1 (2007): Mozaik
Publisher : Universitas Negeri Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (44.503 KB) | DOI: 10.21831/moz.v2i1.4490

Abstract

Abstrak   Ajaran yang selama ini dikenalkan pada kita adalah bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk pria. Anggapan tersebut telah menempatkan perempuan sebagai subordinasi pria. Bahkan kebudayaan kita juga mengajarkan perempuan sebagai mahkluk nomor dua. Oleh karena kedudukannya tersebut maka dalam seluruh aspek kehidupan perempuan tidak mempunyai peranan penting. Fungsi reproduksinya menjadikan perempuan tidak punya banyak waktu untuk berperanan dalam sektor publik, karena kewajibannya mengasuh anak. Mengurus rumah tangga adalah kewajibannya yang utama. Meskipun peran itu sangat penting tetapi dalam anggapan budaya tetap menempatkannya sebagai peran sekunder, karena mencari nafkah dilakukan suami adalah penting untuk meneruskan hidup. Melekatnya stigma sebagai “konco wingking” terus membayanginya. Betulkah sejak dahulu perempuan tidak mempunyai peran dalam rumah tangga terutama dalam sektor ekonomi? Tulisan singkat ini akan melihatnya dari aspek historis keberadaan perempuan di luar rumah tangganya. Pembahasan menekankan pada keterlibatan perempuan dalam perkembangan ekonomi masa kolonial.
EKOLOGI LINGKUNGAN DAN KESEHATAN MASYARAKAT KARESIDENAN BANYUMAS MASA KOLONIAL Dina - Dwikurniarini
Mozaik: Kajian Ilmu Sejarah Vol 5, No 1 (2010): Mozaik
Publisher : Universitas Negeri Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (45.414 KB) | DOI: 10.21831/moz.v5i1.4337

Abstract

Abstrak Musim kemarau merupakan keadaan yang lebih banyak mendatangkan kerugian daripada keuntungan. Di Karesidenan Banyumas dalam musim kemarau terjadi banyak genangan air yang menjadi sarang nyamuk, sehingga terjadi wabah penyakit malaria. Penyakit itu rupanya masih tetap ada hingga masa pemerintahan RI. Bagaimana sebenarnya masalah tersebut bermula dan bagaimana penanganan dan pencegahan dan model pencegahan seperti apa yang sudah dilakukan pemerintah. Dari data sejarah kolonial menunjukkan bahwa penyakit itu sudah lama membawa korban sehingga dikeluarkan Ordonansi Pes 1902. Pada sebagian besar wilayah Banyumas abad 19 memang sering terjadi berbagai epidemi. Dapatkah kita belajar dari masa lalu untuk mengatasi masalah saat ini ataukah masa lalu dibiarkan berlalu saja terutama untuk kasus yang sudah lebih dari satu abad lalu.
Imlek sebagai Pesta Rakyat Cina di Yogyakarta Dina Dwikurniarini
Informasi Vol 36, No 2 (2010): INFORMASI
Publisher : Universitas Negeri Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (63.488 KB) | DOI: 10.21831/informasi.v2i2.6203

Abstract

Semenjak dibangun hubungan kembali Indonesia – Cina maka nampak bahwa segala sesuatu tentang Cina marak diseluruh Indonesia.  Di Yogyakarta juga tidak beda dengan kota-kota besar lain dalam perayaan pergantian tahun dan jika terdapat  perbedaan terutama hubungan Cina dan pribumi yang tanpa konflik. Tujuan tulisan ini  mengkaji kebijakan Negara terhadap Cina dalam bidang budaya serta  hubungan Cina dan pribumi yang harmanis dapat diciptakan di Yogyakarta. Kajian ini adalah kajian historis yang menggunakan metode sejarah dengan empat langkah yaitu heuristik, yaitu mencari dan mengumpulkan sumber sejarah, kritik sumber, inteprettasi dan historigrafi. Hubungan Cina dan pribumi sudah terjadii semenjak kedatangan awal Cina sebelum terbentuknya Negara Indonesia hingga sesudah Indonesia menjadi sebuah negara merdeka. Kenyataan menunjukkan bahwa arang-orang pribumi dan Cina dapat saling menerima sebagai warga negara yang sama, merupakan proses panjang. Dalam sejarah menunjukkan bahwa peran pemerintah dengan kebijakan-kebijakannya turut mempengaruhi hubungan antar pribumi dan Cina. Diskriminasi juga memperlambat terjalinnya perkembangan hubungan tersebut.  Di Yogyakarta, misalnya perayaan imlek atau pergantian tahun dirayakan semua orang dan Pemerintah Daerah melalui Dinas Pariwisata  memasukkannya dalam agenda wisata Yogyakarta dan kelompok muslim mengizinkan merayakannya di masjid untuk Cina yang beraga Islam. Kata Kunci : Imlek di Yogyakarta, Pesta Rakyat Cina
AKULTURASI BATIK TRADISIONAL JAWA DENGAN CINA Dina Dwikurniarini
Informasi Vol 39, No 2 (2013): INFORMASI
Publisher : Universitas Negeri Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (15641.754 KB) | DOI: 10.21831/informasi.v0i2.4440

Abstract

Batik merupakan salah satu budaya asli Indonesia yang sudah dikenal sejak lama dan menjadi ciri khas busana tradisional. Dalam perkembangannya batik mengalami akulturasi dengan budaya lain  sehingga terlihat dalam perubahan-perubahan motif dan kegunaannya. Paling sedikit ada lima budaya yang mempengaruhi batik tradisional Jawa, yaitu Islam, Cina, Hindu, Budha dan Eropa. Meskipun demikian batik telah diterima sebagai sebuah seni kerajinan yang adiluhung dan justru menjadi ciri-ciri tertentu pada daerah-daerah tertentu yang memiliki batik di Jawa. Tulisan singkat ini akan mengulas batik sebagai tradisi Jawa yang mempunyai ciri khas tersendiri dan berkembang mengikuti zaman, sehingga terdapat perpaduan anatara tradisi dan modernisasi. Kegunaan batik yang dikembangkan saat ini semakin membuat batik dikenal luas dan untuk kepentingan pasar. Di era global ini akankah batik mempertahankan diri dengan tradisionalnya atau mengikuti perkembangan dunia? Bagaimana dengan nilai filosofisnya apakah akan dipertahankannya, sehingga bermakna bagi pemakainya? Sebaliknya apakah pasar global justru mengurangi makna ketradisionalannya sehingga batik menjadi pelengkap saja atau untuk penuhi kebutuhan semata? Setidaknya jika membeli batik, manusia hanya memanfaatkan semata tanpa mempunyai tujuan yang lebih dalam