Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Hipotiroid Kongenital: Literature Review Gede Sukma Setiawan; TA Larasati; Tendry Septa
Jurnal Kedokteran Universitas Lampung Vol 7, No 1 (2023): JURNAL KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
Publisher : Fakultas Kedokteran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23960/jkunila71%p

Abstract

Hipotiroidisme kongenital adalah suatu kondisi akibat kekurangan hormon tiroid pada bayi baru lahir. Hipotiroidisme kongenital tidak memiliki tanda dan gejala spesifik saat lahir. Ini dapat menyebabkan keterbelakangan mental dan pertumbuhan yang parah, dan gangguan perkembangan. Oleh karena itu, penting untuk melakukan tes skrining laboratorium bayi baru lahir untuk diagnosis dan pengobatan yang cepat untuk meminimalkan gejala sisa. Tes skrining laboratorium dilakukan dengan mengambil darah tusukan dari tumit bayi baru lahir dan menguji TSH atau T4 atau keduanya. Manifestasi klinis seringkali halus atau tidak ada saat lahir. Hal ini mungkin disebabkan oleh pelepasan beberapa hormon tiroid ibu melalui plasenta, sementara banyak bayi memiliki produksi tiroidnya sendiri. Gejala umum termasuk penurunan aktivitas dan peningkatan tidur, kesulitan makan, sembelit, dan penyakit kuning yang berkepanjangan. Pada pemeriksaan, tanda-tanda umum termasuk wajah myxedematous, fontanel besar, macroglossia, perut buncit dengan hernia umbilikalis, dan hipotonia. CH diklasifikasikan menjadi bentuk permanen dan sementara, yang pada gilirannya dapat dibagi menjadi etiologi primer, sekunder, atau perifer. Di negara-negara dengan program skrining bayi baru lahir, bayi dengan CH didiagnosis setelah terdeteksi melalui tes skrining. Diagnosis harus dikonfirmasi dengan menemukan peningkatan TSH serum dan kadar T4 atau T4 bebas yang rendah. Tes diagnostik lainnya, seperti pengambilan dan pemindaian radionuklida tiroid, sonografi tiroid, atau penentuan tiroglobulin serum dapat membantu menentukan etiologi yang mendasarinya, meskipun pengobatan dapat dimulai tanpa tes ini.Kata Kunci: Anak-anak, Hipotiroid Kongenital, Diagnosis
Early onset schizophrenia in a 17 year old child Melati Indah Jelita; Tendry Septa
Jurnal EduHealth Vol. 15 No. 01 (2024): Jurnal eduHealt, Edition January - March, 2024
Publisher : Sean Institute

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Schizophrenia is a serious mental disorder that can affect behavior, emotions, and communication. Schizophrenia sufferers can experience hallucinations, delusions, confused thinking, and changes in behavior that can be detected at an early age range of 16 or 17 years or generally can also occur at 16 or 17 years which is referred to as early onset. Case: The patient is a boy aged 17 years old The patient hit his biological father and there was a change in behavior since the end of April 2023 which was informed by the Islamic boarding school to the patient's parents. The patient believes he is close to Allah and can punish people who are deemed to have sinned. The patient admitted to hearing whispered voices in the form of commands or comments which influenced changes in the patient's behavior which also made him irritable. Discussion: The patient was diagnosed as suffering from paranoid schizophrenia. The patient had perception disorders in the form of auditory, visual, and tactile hallucinations and depersonalization. There is a disturbance in the form of non-realistic thought and there is a disturbance in the content of thought in the form of delusions of grandeur in the patient. The psychiatric approach for patients consists of administering atypical antipsychotics along with supportive psychotherapy. Psychoeducation and family therapy are also carried out to ensure that the patient's family understands the disease and the importance of compliance with treatment. Conclusion: Apart from requiring pharmacological therapy, patients with schizophrenia also need psychotherapy and psychoeducation so that patients receive family support and speed up the patient's recovery. Holistic care is needed to treat patients to prevent disease recurrence. Early-onset schizophrenia patients must have ongoing therapeutic monitoring because they can develop worse schizophrenia in later adulthood.
Hubungan Beban Kerja Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Anak dengan Stres pada Mahasiswa Program Pendidikan Profesi Dokter di RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung Seffia Riandini; Tendry Septa; TA Larasati
Jurnal Agromedicine Unila: Jurnal Kesehatan dan Agromedicine Vol. 4 No. 2 (2017): Jurnal Agromedicine
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Program pendidikan profesi dokter cenderung menimbulkan stres pada mahasiswa program pendidikan profesi dokter. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan beban kerja kepaniteraan klinik bagian ilmu kesehatan anak dengan stres pada mahasiswa program profesi dokter. Penelitian menggunakan metode kuantitatif dengan desain cross sectional. Populasi penelitian adalah mahasiswa program pedidikan profesi dokter Fakultas Kedokteran Universitas Lampung bagian ilmu kesehatan anak di RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung sebanyak 57 responden, pengambilan sampel dengan total sampling. Data yang dikumpulkan meliputi beban kerja berlebih kuantitatif, beban kerja kualitatif (menggunakan kuesioner SDS) stres (menggunakan kuesioner SRQ-20). Didapatkan responden sebagian besar tidak mengalami stres. Beban kerja berlebih yang dirasakan mayoritas responden berada pada derajat yang sedang, baik beban kerja berlebih kualitatif maupun kuantitatif. Terdapat hubungan antara beban kerja berlebih baik beban kerja kualitatif maupn beban kerja kuantitatif dengan stres pada responden (p=0,001; OR 8,569; CI 1,914-38,350). Variabel yang lebih berhubungan secara bermakna dengan stres adalah beban kerja kuantitatif, mahasiswa program pendidikan profesi dokter yang memiliki beban kerja berlebih kuantitatif 8,569 kali lipat beresiko terkena stres dibandingkan mahasiswa yang tidak memiliki beban kerja berlebih kuantitatif. Kata Kunci: Beban Kerja, Mahasiswa Program Profesi, Stres
Hubungan Stresor dengan Kejadian Stres pada Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Hambali Humam Macan; Tendry Septa; Rika Lisiswanti; Taufiqurrahman Rahim; Ratna Dewi Puspita
Jurnal Agromedicine Unila: Jurnal Kesehatan dan Agromedicine Vol. 4 No. 2 (2017): Jurnal Agromedicine
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pendidikan kedokteran merupakan program pendidikan dengan tingkat stres tinggi. Pendidikan kedokteran ditempuh dengan dua tahap, yaitu tahap program sarjana kedokteran dan tahap kepaniteraan klinik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan stres pada mahasiswa kepaniteraan klinik Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung. Penelitian ini merupakan penelitian metode campuran kuantitatif dengan pendekatan cross sectional dan kualitatif dengan wawancara. Sebanyak 31 mahasiswa kepaniteraan klinik dilakukan pengukuran faktor–faktor stress dengan kuesioner SRQ-20 (Self Reporting Quetionnaire) dan SDS (Survei Diagnosis Stres) serta dilakukan juga wawancara mendalam pada 12 mahasiswa sebagai data pendukung pada penelitian ini. Hasil penelitian menunjukan bahwa sebanyak 16 responden (51,6 %) mengalami stres, 21 responden (67,7 %) merasa ketaksaan peran sebagai stressor sedang, 20 responden (64,5 %) merasa konflik peran sebagai stressor sedang, 19 responden (61,3 %) merasa beban kerja kuantitatif sebagai stressor berat, 21 responden (67,7 %) merasa beban kerja kualitatif sebagai stressor berat, dan 15 responden (48,4 %) merasa tanggung jawab sebagai stressor berat. Hasil analisis statistik menunjukan tidak terdapat hubungan bermakna antara ketaksaan peran dengan stress (p>0,05), terdapat hubungan bermakna antara konflik peran dengan stress (p<0,05), ada hubungan bermakna antara beban kerja kualitatif dan kuantitatif terhadap stress (p<0,05), dan ada hubungan bermakna antara tanggung jawab terhadap stress (p<0,05). Didapatkan hubungan yang bermakna antara konflik peran, beban kerja berlebih kuantitatif, beban kerja berlebih kualitatif, dan tanggung jawab dengan stres, sedangkan ketaksaan peran tidak berhubungan bermakna.Kata kunci: ilmu kebidanan dan penyakit kandungan, mahasiswa kedokteran, mahasiswa kepaniteraan klinik, stres