Mochamad Fahlevi Rizal
Department Of Pediatric Dentistry, Faculty Of Dentistry, Universitas Indonesia, Jakarta 10430

Published : 7 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ANAK PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIK Erlianda, Dian; Rizal, Mochamad Fahlevi
Dentika: Dental Journal Vol. 19 No. 1 (2016): Dentika Dental Journal
Publisher : TALENTA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (340.532 KB) | DOI: 10.32734/dentika.v19i1.157

Abstract

Penyakit ginjal kronik (PGK) pada anak merupakan masalah kesehatan yang di dunia. Jumlah anak penderita PGK di RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) tahun 1991-1995 adalah sebanyak 1533 anak dan pada tahun 1996-2000 terdapat peningkatan kasus sebesar 13,3%. Manifestasi klinis PGK pada anak dapat berupa gangguan pertumbuhan, malnutrisi, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit sehingga dapat menyebabkan defek pada tulang, email gigi dan pertumbuhan gigi yang terlambat. Kondisi sistemik seperti kecenderungan perdarahan, anemia, defek dan keterlambatan pertumbuhan gigi anak PGK merupakan variabel penting dalam mempertimbangkan rencana perawatan yang komprehensif di bidang kedokteran gigi anak. Makalah ini membahas peran ginjal dan efek PGK terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Anak dengan PGK menunjukkan keterlambatan pertumbuhan yang dapat disebabkan oleh gangguan pada fungsi ginjal sebagai organ ekskretorik dan hormonal. Ginjal yang rusak menyebabkan tubuh kehilangan keseimbangan cairan, asam basa di dalam darah dan garam mineral yang penting untuk pertumbuhan. Kerusakan ginjal menyebabkan asidosis metabolik dan gangguan sekresi hormon pertumbuhan, anemia, penurunan nafsu makan (kaheksia) dan berkurangnya produksi vitamin D aktif sehingga menyebabkan keterlambatan pertumbuhan. Sebagai kesimpulan, anak dengan PGK menunjukkan gangguan pertumbuhan, malnutrisi, anemia, hipertensi, ketidakseimbangan elektrolit dan cairan tubuh, sehingga mungkin terlihat defek pada tulang dan email gigi, serta pertumbuhan gigi-geligi yang terlambat.
Kadar leptin saliva dan kejadian karies gigi anak obesitas (Salivary leptin levels and caries incidence in obese children) Elfrida Atzmaryanni; Mochamad Fahlevi Rizal
Dental Journal (Majalah Kedokteran Gigi) Vol. 46 No. 3 (2013): September 2013
Publisher : Faculty of Dental Medicine, Universitas Airlangga https://fkg.unair.ac.id/en

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (150 KB) | DOI: 10.20473/j.djmkg.v46.i3.p158-161

Abstract

Background: Children with obesity have a lower incidence of caries. Salivary leptin levels of obese children is higher than normal children. Leptin is protein hormone, contained in saliva. Salivary proteins maintain the balance of the ecosystem in the mouth. Purpose: The article was aimed to study the correlation of salivary leptin levels with caries incidence in obese children. Review: Mouth is reflection of the health status and so many changes occur as a weight gain. Child with obesity has a low incidence of caries than normal. This condition is associated with changes in oral cavity, especially the increase in salivary leptin. Caries is a disease of hard tissues cause by the activty of microorganisms, especially Streptococcus mutans. Salivary proteins maintain the balance of the ecosystem in the mouth. Leptin is a protein saliva, produced predominantly in adipose tissue and conduct active transport to saliva. Salivary leptin works in two ways: as an antimicrobial which prevents the attachment of bacteria on tooth surface or by inducing cytokine that affect the immune system in oral cavity. Conclusion: Salivary leptin is higher in obese children than in normal children. The low incidence of caries on obesity is associated with salivary leptin. Alteration in salivary composition and flow rate also decreased caries in obesity.Latar belakang: Anak yang mengalami obesitas memiliki insiden karies yang rendah. Kadar leptin saliva anak obesitas lebih tinggi dari anak normal. Leptin merupakan salah satu protein hormon yang terdapat di saliva. Protein saliva berfungsi untuk menjaga keseimbangan ekosistem di mulut. Tujuan: Artikel ini bertujuan mempelajari hubungan antara kadar leptin di dalam saliva dengan kejadian karies anak obesitas. Tinjauan pustaka: Rongga mulut merupakan cerminan dari status kesehatan dan banyak perubahan yang terjadi seiring peningkatan berat badan seseorang. Anak Obesitas memiliki insiden karies yang rendah jika dibandingkan anak normal. Kondisi ini berhubungan dengan perubahan keadaan rongga mulut terutama peningkatan kadar Leptin di saliva. Karies adalah penyakit jaringan keras yang disebabkan oleh aktivitas dari mikroorganisme, terutama Streptococcus mutans. Protein di saliva berfungsi menjaga ekosistem rongga mulut. Leptin merupakan protein saliva, leptin terutama di sintesis pada sel adiposa dan melakukan transport aktif sehingga dapat ditemukan di saliva. Leptin di saliva bekerja dengan dua cara yaitu sebagai antimikroba yang mencegah perlekatan bakteri di permukaan gigi atau dengan cara menginduksi sitokin yang mempengaruhi sistem imun dalam rongga mulut. Simpulan: Kadar leptin dalam saliva anak obesitas lebih tinggi dibanding anak normal. Rendahnya insiden karies anak obesitas berhubungan dengan kadar leptin di dalam saliva anak obesitas yang lebih tinggi dibandingkan anak normal. Perubahan komposisi saliva dan laju alir saliva pada anak obesitas juga menyebabkan rendahnya insiden karies dibandingkan dengan anak normal.
Restorasi mahkota logam dengan pasak fiber komposit pada molar permanen muda (Metal crown restoration with fiber composite post in young permanent molar) Theresia Dhearine Pratiwi; Mochamad Fahlevi Rizal
Dental Journal (Majalah Kedokteran Gigi) Vol. 46 No. 3 (2013): September 2013
Publisher : Faculty of Dental Medicine, Universitas Airlangga https://fkg.unair.ac.id/en

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (609.884 KB) | DOI: 10.20473/j.djmkg.v46.i3.p162-166

Abstract

Background: The first permanent molar has a high prevalence of caries with the most rapid progression in the first two years after eruption. The destruction can extend to the pulp and require endodontic treatment. After endodontic treatment the teeth should have a final restoration due to the possibilities of fracture. The teeth with a few remaining tissue need a restoration such as crown with post and core support. Fiber composite post is widely used today because it has a similar modulus elasticity as dentin. Purpose: The case report was aimed to share the endodontic treatment which was followed by fiber composite post and metal crown insertion on young permanent molar. Case: An 11 years old girls was referred to Pediatric Dentistry clinic at Universitas Indonesia Dental Hospital due to caries #36 that extend to the pulp. Case management: Endodontic treatment with metal crown supported by fiber composite post and composite core was done as final restoration. One month after procedure there was no subjective complaints or inflammation. Conclusion: The case report showed that endodontic treatment followed by fiber composite post and metal crown insertion could be done succesfully on young permanent molar of 11 years old patient.Latar belakang: Gigi molar pertama permanen muda (M1) merupakan gigi dengan angka kejadian karies yang tinggi dengan kerusakan paling cepat terjadi pada dua tahun pertama setelah gigi tersebut erupsi. Kerusakan tersebut dapat mencapai pulpa sehingga diperlukan perawatan endodontik. Gigi yang sudah dirawat memerlukan restorasi akhir yang baik, karena kemungkinan terjadi fraktur. Sisa jaringan gigi yang sedikit membutuhkan restorasi akhir berupa mahkota tiruan dengan dukungan pasak dan inti. Pasak fiber komposit merupakan pasak yang saat ini sering digunakan karena memiliki keunggulan modulus elastisitas yang menyerupai dentin. Tujuan: Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk melaporkan perawatan endodontik yang diikuti dengan pemasangan pasak fiber komposit dan mahkota logam pada molar pertama permanen muda. Kasus: Anak perempuan usia 11 tahun dirujuk ke klinik Kedokteran Gigi Anak Rumah Sakit Gigi dan Mulut Universitas Indonesia dengan kerusakan gigi #36 mencapai pulpa. Tatalaksana kasus: Perawatan endodontik dengan restorasi akhir mahkota tiruan tuang logam dengan dukungan pasak fiber komposit dan inti resin komposit. Pada kontrol setelah 1 bulan tidak didapatkan keluhan subjektif serta kondisi peradangan Simpulan: Laporan kasus ini menunjukkan bahwa perawatan endodontik yang diikuti dengan pemasangan pasak fiber komposit dan mahkota logam dapat dilakukan dengan baik pada molar pertama permanen muda dari pasien berusia 11 tahun.
Treatment of lingual traumatic ulcer accompanied with fungal infections Sella Sella; Mochamad Fahlevi Rizal
Dental Journal (Majalah Kedokteran Gigi) Vol. 44 No. 3 (2011): September 2011
Publisher : Faculty of Dental Medicine, Universitas Airlangga https://fkg.unair.ac.id/en

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (666.302 KB) | DOI: 10.20473/j.djmkg.v44.i3.p132-136

Abstract

Background: Traumatic ulcer is a common form of ulceration occured in oral cavity caused by mechanical trauma, either acute or chronic, resulting in loss of the entire epithelium. Traumatic ulcer often occurs in children that are usually found on buccal mucosa, labial mucosa of upper and lower lip, lateral tongue, and a variety of areas that may be bitten. To properly diagnose the ulcer, dentists should evaluate the history and clinical description in detail. If the lesion is allegedly accompanied by other infections, such as fungal, bacterial or viral infections, microbiological or serological tests will be required. One of the initial therapy given for fungal infection is nystatin which aimed to support the recovery and repair processes of epithelial tissue in traumatic ulcer case. Purpose: This case report is aimed to emphasize the importance of microbiological examination in suspected cases of ulcer accompanied with traumatic fungal infection. Case: A 12-year-old girl came to the clinic of Pediatric Dentistry, Faculty of Dentistry, University of Indonesia on June 9, 2011 accompanied with her mother. The patient who had a history of geographic tongue came with complaints of injury found in the middle of the tongue. The main diagnosis was ulcer accompanied with traumatic fungal infection based on the results of swab examination. Case management: This traumatic ulcer case was treated with Dental Health Education, oral prophylaxis, as well as prescribing and usage instructions of nystatin. The recovery and repair processes of mucosal epithelium of the tongue then occured after the use of nystatin. Conclusion: It can be concluded that microbiological examination is important to diagnose suspected cases of ulcer accompanied with traumatic fungal infection. The appropriate treatment such as nystatin can be given for traumatic fungal infection.Latar belakang: Ulkus traumatic merupakan bentuk umum dari ulserasi rongga mulut yang terjadi akibat trauma mekanis baik akut maupun kronis yang mengakibatkan hilangnya seluruh epitel. Ulkus traumatic sering terjadi pada anak-anak, biasanya ditemukan pada mukosa bukal, mukosa labial bibir atas dan bawah, lateral lidah, dan berbagai daerah yang mungkin dapat tergigit. Untuk mendiagnosis ulkus dengan tepat, dokter gigi harus mengevaluasi riwayat dan gambaran klinis secara detil dan jika lesi tersebut diduga disertai infeksi lainnya seperti fungal, bakteri atau virus maka diperlukan tes mikrobiologi atau serologi. Salah satu terapi awal jika diketahui adanya keterlibatan fungal dapat digunakan nystatin untuk mendukung pemulihan dan perbaikan jaringan epitel pada ulkus traumatic tersebut. Tujuan: Laporan kasus ini bertujuan untuk menekankan pentingnya pemeriksaan mikrobiologi pada kasus ulkus traumatic yang diduga disertai infeksi fungal. Kasus: Seorang anak perempuan usia 12 tahun datang ke klinik Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia pada tanggal 9 Juni 2011 diantar ibunya. Pasien dengan riwayat geographic tongue datang dengan keluhan terdapat luka di bagian tengah lidah. Diagnosis utama adalah ulkus traumatic yang disertai infeksi fungal. Penegakan diagnosis ditetapkan dari hasil pemeriksaan swab. Tatalaksana kasus: Kasus ulcus traumatic ini diatasi dengan Dental Health Education, oral profilaksis, pemberian resep dan instruksi pemakaian nystatin. Terjadi pemulihan dan perbaikan epitel mukosa lidah setelah penggunaan nystatin. Kesimpulan: Pemeriksaan mikrobiologi penting dilakukan untuk menegakkan diagnosa ulkus traumatic yang diduga disertai infeksi fungal. Pengobatan yang tepat seperti pemberian nystatin dapat diberikan pada kasus ulkus traumatic yang disertai infeksi fungal.
The management of dental fracture on tooth 61 in a child with attention deficit hyperactivity disorders Veranica Veranica; Mochamad Fahlevi Rizal
Dental Journal (Majalah Kedokteran Gigi) Vol. 43 No. 4 (2010): December 2010
Publisher : Faculty of Dental Medicine, Universitas Airlangga https://fkg.unair.ac.id/en

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (273.61 KB) | DOI: 10.20473/j.djmkg.v43.i4.p190-194

Abstract

Background: Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) is often characterized as a neurobehavioral developmental disorder, impaired concentration, impaired motor skills, impulsivity, and hyperactivity, and also diagnosed as psychiatric disorders. Children with ADHD would have a tendency of the traumatized anterior teeth because of their hyperactive behavior. Dental trauma is actually one of factors causing the damages of the deciduous teeth and the permanent teeth. Dental and mouth care for children with special needs, such as children with ADHD, requires special treatment. Purpose: This study is aimed to report the case management of the dental fracture of the tooth 61 in a child with ADHD. Case: A four-year old girl suffered from both ADHD and dental fracture involving the dentin of the tooth 61. Case management: The examination of the patient with dental fracture consists of emergency examination and further investigation. The emergency examination covers general condition and clinical situation. Based on the dental radiographic assessment, it is known that the dental fracture of the tooth 61 had involved the dentine, the resorption had reached 1/3 of the apical teeth and the permanent teeth had been formed. The application of calcium hydroxide on the opened dentin is aimed to improve the formation of the secondary dentin served as pulp protector. Next, the restoration of the traumatized teeth used compomer since it does not only meet all the aesthetic requirements, but it also releases fluoride. Management of the patient’s behavior with ADHD was conducted by non-pharmacological method; tell show do (TSD) method combined with restrain method. Conclusion: It can be concluded that the application of calcium hydroxide and the restoration of the teeth with compomer could provide maximum results through the combination of TSD and restrain methods that can effectively increase the positive value to replace the negative behaviors that have been formed.Latar belakang: Gangguan pemusatan perhatian-hiperaktivitas (GPPH), sering dikarakteristikan sebagai gangguan perilaku, gangguan konsentrasi, motorik, impulsif, dan hiperaktivitas dan didiagnosa sebagai gangguan psikiatrik. Anak penderita GPPH mempunyai kecenderungan mengalami trauma gigi anterior karena perilaku hiperaktivitasnya. Trauma gigi anak merupakan salah satu penyebab kerusakan pada gigi sulung maupun pada gigi tetap. Perawatan gigi dan mulut pada anak berkebutuhan khusus seperti anak penderita GPPH memerlukan pendekatan khusus. Tujuan: Makalah ini bertujuan melaporkan kasus penatalaksanaan fraktur gigi 61 pada anak dengan GPPH. Kasus: Seorang anak perempuan berusia 4 tahun menderita GPPH dan mengalami fraktur yang melibatkan dentin pada gigi 61. Tatalaksana kasus: Pemeriksaan pasien yang mengalami fraktur terdiri dari pemeriksaan darurat dan pemeriksaan lanjutan. Pemeriksaan darurat meliputi keadaan umum dan keadaan klinis. Penilaian radiografis memperlihatkan fraktur gigi 61 melibatkan dentin, resopsi mencapai 1/3 apikal dengan benih gigi tetap telah terbentuk. Aplikasi kalsium hidroksida pada dentin terbuka bertujuan untuk meningkatkan pembentukkan dentin sekunder dan berfungsi sebagai pelindung pulpa. Restorasi gigi yang mengalami trauma menggunakan kompomer karena selain memenuhi persyaratan estetik juga melepaskan fluor. Penanganan manajemen perilaku pada anak GPPH dilakukan dengan metode non farmakologi, yaitu melalui pendekatan tell show do (TSD) yang dikombinasikan dengan metode restrain. Kesimpulan: Aplikasi kalsium hidroksida dan restorasi gigi dengan kompomer memberikan hasil maksimal, melalui kombinasi TSD dan restrain, efektif meningkatkan nilai positif untuk menggantikan perilaku negatif yang telah terbentuk.
The frequency of bottle feeding as the main factor of baby bottle tooth decay syndrome Mochamad Fahlevi Rizal; Heriandi Sutadi; Boy M Bachtiar; Endang W Bachtiar
Dental Journal (Majalah Kedokteran Gigi) Vol. 43 No. 1 (2010): March 2010
Publisher : Faculty of Dental Medicine, Universitas Airlangga https://fkg.unair.ac.id/en

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (289.131 KB) | DOI: 10.20473/j.djmkg.v43.i1.p44-48

Abstract

Background: Dental caries remains as main problem in Indonesia and its prevalence is high (90.05%). However, there is no appropriate data that can be used to analyze dental caries in toddlers, especially baby bottle tooth decay syndrome (BBTD), though the number of BBTD cases is high in some pediatric dental clinics (90% of patients visiting the clinics). Even though some factors have already been considered to be the risk factor of BBTD, the main risk factor of BBTD is still unknown, especially BBTD in Indonesia. Purpose: This research was aimed to obtain data relating with bottle-feeding habit in 3-5 year old children in Indonesia and its caries risk. Method: The study was an observational research conducted with clinical examination through caries status (deft) of each child deserved by pediatric dentists and through questionnaire distributed to parents to examine the risk factor of BBTD. Observation was conducted on 62 children in the range of age 3 to 5 years old with bottle-feeding habit. Result: The results revealed that status of caries was various. The data showed that the frequency of bottle feeding more than twice could trigger BBTD 2.27 times higher than other factors such as the use of bottle feeding as a pacifier prior sleeping, the period of bottle-feeding, and the breast-feeding experience. Conclusion: though milk as subtract can possibly become a factor triggering caries, the frequency of bottle-feeding is highly considered as main factor. Since it could modulated the bacterial colonization on dental surface, which affects its virulence.Latar belakang: Karies masih menjadi masalah utama di Indonesia. Dalam praktek sehari-hari prevalensi karies masih sangat tinggi (90.05%). Belum ada data yang memadai dalam penelaahan karies yang spesifik pada anak balita selama ini khususnya kasus sindroma karies botol (SKB) sementara itu kasus SKB ditemukan sangat tinggi di beberapa klinik gigi anak (90% dari jumlah pasien yang datang ke klinik). Beberapa faktor menjadi resiko kejadian SKB dan belum diketahui faktor resiko utama kejadian karies khususnya di Indonesia. Tujuan: Penelitian ini dilakukan guna mendapatkan data yang berhubungan dengan kebiasaan minum susu botol pada anak usia 3-5 tahun di Indonesia serta resiko kejadian karies yang ditimbulkannya. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional yang dilakukan dengan metode pemeriksaan klinis melalui pencatatan status karies (deft) setiap anak oleh dokter gigi anak serta pengisian kuesioner yang dilakukan oleh orang tua untuk menentukan faktor resiko kejadian SKB. Pengamatan dilakukan pada 62 orang anak usia 3-5 tahun yang mempunyai kebiasaan minum susu botol sesuai dengan kriteria inklusi. Hasil: Hasil pemeriksaan klinis dan kuesioner memberikan gambaran status karies yang bervariasi. Data yang didapat dari penelitian ini menjelaskan, bahwa frekuensi minum susu botol lebih dari dua kali menyebabkan SKB 2.27 kali lebih besar dibandingkan dengan beberapa faktor lain, seperti menjadikannya pengantar tidur, lamanya mengonsumsi, dan riwayat minum ASI. Kesimpulan: Susu sebagai subtrat mungkin dapat dijadikan alasan kejadian karies akan tetapi yang menjadi resiko utama kejadian adalah frekuensi konsumsi susu botol itu sendiri. Kondisi ini dapat dihubungkan dengan modulasi substrat terhadap perkembangan kolonisasi bakteri di permukaan gigi, sehingga secara tidak langsung juga mempengaruhi virulensinya.
Regional odontodysplasia melibatkan dua kuadran pada anterior rahang atas Syahraini, Syurri Innaddinna; Priaminiarti, Menik; Bachtiar-Iskandar, Hanna Huzaima; Kiswanjaya, Bramma; Rizal, Mochamad Fahlevi; Rizal, Rezki Viona
MKGK (Majalah Kedokteran Gigi Klinik) (Clinical Dental Journal) UGM Vol 9, No 1 (2023)
Publisher : Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/mkgk.82270

Abstract

Regional odontodyplasia (RO) merupakan anomali yang terjadi secara lokal, nonherediter developmental abnormality dengan kerusakan parah pada pembentukan enamel, dentin serta pulpa. Gambaran radiografis menunjukkan kamar pulpa besar dengan lapisan enamel dan dentin yang sangat tipis serta penurunan densitas sedangkan ukuran gigi normal atau sedikit lebih kecil daripada normal sehingga tampilan gambaran tersebut tampak seperti “ghost teeth”. Kompleksitas abnormalitas yang membutuhkan visualisasi gambaran hubungan gigi dan skeletal dapat dilakukan dengan pemeriksaan Cone Beam Computed Tomography (CBCT). Laporankasus berikut memaparkan gambaran radiografik CBCT pasien RO melibatkan regio anterior kanan rahang atas dan insisivus sentral kiri rahang atas. Pasien anak laki-laki usia 8 tahun 8 bulan dengan gigi depan atas kanan permanen belum tumbuh. Pada panoramik reconstruction tampak kehilangan gigi 51, 52, 53 dan gigi 61 resorpsi akar mencapai 1/3 apikal. Benih gigi 11, 12, 13, 21 berukuran kecil dan belum erupsi. Diagnosis banding kasus ini adalah dentinogenesis imperfekta dan segmental odontomaxillary dysplasia. Perawatan yang dilakukan berupapembuatan gigi tiruan sebagian lepasan akrilik regio 51, 52, 53. RO yang melibatkan dua regio sangat jarang terjadi. Pada laporan kasus ini dilakukan evaluasi menggunakan CBCT dengan tampilan Multiplanar reformatted (MPR), panoramic Volume Rendering (VR) pada potongan axial, panoramic view, transaxial-sagittal, and 3D view sehingga dapat dilakukan evaluasi perkembangan benih gigi secara menyeluruh dalam segala aspek. Gambaran radiografik yang khas dari RO menunjukkan bahwa pemeriksaan radiografik merupakan metode diagnostik utama dalam menegakkan diagnosis yang penting dalam menentukan rencana perawatan yang tepat.