Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

THE EFFECT OF DECENTRALIZATION ON THE HEALTH STATUS AND HEALTH CARE UTILIZATION PATTERNS ININDONESIA Tilden, Robert; Gani, Ascobat; Noor, Nur Nasry; Widjajanto, RM.; Sonnemann, James
GIZI INDONESIA Vol 29, No 2 (2006): September 2006
Publisher : PERSATUAN AHLI GIZI INDONESIA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36457/gizindo.v29i2.29

Abstract

Berbagai indikator pelayanan dan status kesehatan berdasakan tingkat pengeluaran konsumsi rumahtangga menurut quintile sebelum dan sesudah desentralisasi dinilai dan dikaji. Dilakukan juga penilaian perubahan status kesehatan pada periode desentralisasi, dan juga perbandingan antar wilayah yang menerima dan melaksanakan berbagai program pelayanan kesehatan atau wilayah yang tidak sama sekali mendapatkan inisiasi program pelayanan kesehatan. Data Susenas 2000 dan 2004 digunakan untuk menilai perubahan berbagai indikator kesehatan: morbiditas, pelayanan rawat jalan dan rawat inap, pelayanan kehamilan dan melahirkan, dan status gizi balita sebelum dan sesudah desentralisasi dilaksanakan. Perubahan rasio kematian bayi, kematian ibu, serta kematian balita juga termasuk analisis dari kajian ini. Seluruh analisis dilakukan pembobotan populasi dan analisa statistik dilakukan menggunakan SpssPC (rev 12). Dari hasil kajian menunjukkan bahwa terjadi sedikit peningkatan yang cukup berarti dari kejadian penyakit atau morbiditas penduduk antara tahun 2000 dan 2004, akan tetapi pemanfaatan pelayanan kesehatan (rawat jalan) meningkat di fasilitas pemerintah atau swasta. Peningkatan terbesar terjadi juga pada pelayanan kesehatan rawat inap. Dilaporkan juga pada tahun 2004 hanya sedikit sekali penyakit ditemukan oleh pelayanan kesehatan. Kajian ini juga menemukan bahwa sebelum dan sesudah desentralisasi, penggunaan pelayanan kesehatan terbanyak tetap dilakukan pada kelompok penduduk kaya. Provinsi yang mendapat tambahan biaya dari pinjaman menunjukkan penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan yang meningkat terutama untuk pasien rawat jalan. Ada kecenderungan angka kematian balita menurun walaupun status gizi pada balita tidak mengalami perubahan atau peningkatan. Angka kematian bayi menurun cukup signifikan semenjak desentralisasi demikian juga kematian ibu. Terlihat jelas bahwa investasi pelayanan kesehatan yang nampaknya tidak menjadi prioritas pemerintah maupun masyarakat Indonesia. Sebelum dan sesudah desentralisasi Indonesia merupakan negara dimana investasi untuk pelayanan kesehatan menduduki urutan terendah dibandingkan dengan negara lain di dunia ini, terutama negara di ASEAN. Status kesehatan di Indonesia dapat dikatakan membaik walaupun kesepakatan pemerintah untuk memberikan alokasi kesehatan sangat rendah. Perubahan status kesehatan yang terjadi pada masa desentralisasi sebenarnya juga merupakan hasil dari kebijakan yang telah dilakukan sebelum desentralisasi. Selain itu, determinan kesehatan tidak selalu karena pendanaan dalam sistem kesehatan saja akan tetapi bisa saja berkaitan dengan sektor lain seperti pendidikan, dan pendapatan. Desentralisasi namapaknya tidak memberikan konsekuensi negatif terhadap memburuknya status kesehatan di Indonesia. Bahkan, beberapa indikator kesehatan terlihat membaik denagn perubahan lebih cepat pada saat desentaralisasi diibanding sebelumnya. Terutama pada provinsi dimana sosialisasi inisiatif sektor kesehatan diperkenalkan dengain menggunakan dukungan multilateral, terlihat terjadi peningkatan penggunaan pelayanan kesehatan, terutama pelayanan kelahiran dan peningkatan status kesehatan. Hanya gizi kurang pada balita yang nampaknya tidak membaik pada 10 tahun terakhir, kecuali membaik hanya pada saat adanya bantuan pada masa krisis moneter.Keywords: Decentralization, Health Sector Reform, Health Impact
THE EFFECT OF DECENTRALIZATION ON THE HEALTH STATUS AND HEALTH CARE UTILIZATION PATTERNS ININDONESIA Tilden, Robert; Gani, Ascobat; Noor, Nur Nasry; Widjajanto, RM.; Sonnemann, James
GIZI INDONESIA Vol 29, No 2 (2006): September 2006
Publisher : PERSATUAN AHLI GIZI INDONESIA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (993.123 KB)

Abstract

Berbagai indikator pelayanan dan status kesehatan berdasakan tingkat pengeluaran konsumsi rumahtangga menurut quintile sebelum dan sesudah desentralisasi dinilai dan dikaji. Dilakukan juga penilaian perubahan status kesehatan pada periode desentralisasi, dan juga perbandingan antar wilayah yang menerima dan melaksanakan berbagai program pelayanan kesehatan atau wilayah yang tidak sama sekali mendapatkan inisiasi program pelayanan kesehatan. Data Susenas 2000 dan 2004 digunakan untuk menilai perubahan berbagai indikator kesehatan: morbiditas, pelayanan rawat jalan dan rawat inap, pelayanan kehamilan dan melahirkan, dan status gizi balita sebelum dan sesudah desentralisasi dilaksanakan. Perubahan rasio kematian bayi, kematian ibu, serta kematian balita juga termasuk analisis dari kajian ini. Seluruh analisis dilakukan pembobotan populasi dan analisa statistik dilakukan menggunakan SpssPC (rev 12). Dari hasil kajian menunjukkan bahwa terjadi sedikit peningkatan yang cukup berarti dari kejadian penyakit atau morbiditas penduduk antara tahun 2000 dan 2004, akan tetapi pemanfaatan pelayanan kesehatan (rawat jalan) meningkat di fasilitas pemerintah atau swasta. Peningkatan terbesar terjadi juga pada pelayanan kesehatan rawat inap. Dilaporkan juga pada tahun 2004 hanya sedikit sekali penyakit ditemukan oleh pelayanan kesehatan. Kajian ini juga menemukan bahwa sebelum dan sesudah desentralisasi, penggunaan pelayanan kesehatan terbanyak tetap dilakukan pada kelompok penduduk kaya. Provinsi yang mendapat tambahan biaya dari pinjaman menunjukkan penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan yang meningkat terutama untuk pasien rawat jalan. Ada kecenderungan angka kematian balita menurun walaupun status gizi pada balita tidak mengalami perubahan atau peningkatan. Angka kematian bayi menurun cukup signifikan semenjak desentralisasi demikian juga kematian ibu. Terlihat jelas bahwa investasi pelayanan kesehatan yang nampaknya tidak menjadi prioritas pemerintah maupun masyarakat Indonesia. Sebelum dan sesudah desentralisasi Indonesia merupakan negara dimana investasi untuk pelayanan kesehatan menduduki urutan terendah dibandingkan dengan negara lain di dunia ini, terutama negara di ASEAN. Status kesehatan di Indonesia dapat dikatakan membaik walaupun kesepakatan pemerintah untuk memberikan alokasi kesehatan sangat rendah. Perubahan status kesehatan yang terjadi pada masa desentralisasi sebenarnya juga merupakan hasil dari kebijakan yang telah dilakukan sebelum desentralisasi. Selain itu, determinan kesehatan tidak selalu karena pendanaan dalam sistem kesehatan saja akan tetapi bisa saja berkaitan dengan sektor lain seperti pendidikan, dan pendapatan. Desentralisasi namapaknya tidak memberikan konsekuensi negatif terhadap memburuknya status kesehatan di Indonesia. Bahkan, beberapa indikator kesehatan terlihat membaik denagn perubahan lebih cepat pada saat desentaralisasi diibanding sebelumnya. Terutama pada provinsi dimana sosialisasi inisiatif sektor kesehatan diperkenalkan dengain menggunakan dukungan multilateral, terlihat terjadi peningkatan penggunaan pelayanan kesehatan, terutama pelayanan kelahiran dan peningkatan status kesehatan. Hanya gizi kurang pada balita yang nampaknya tidak membaik pada 10 tahun terakhir, kecuali membaik hanya pada saat adanya bantuan pada masa krisis moneter.Keywords: Decentralization, Health Sector Reform, Health Impact
Risk Factors for the Incidence of Drug-Resistant Tuberculosis in the Labuang Baji Hospital: A Healthpreneur Perspective Rahmat, Afiyah Mahdiyah; Noor, Nur Nasry; Maria, Ida Leida; Davies, George
Aptisi Transactions On Technopreneurship (ATT) Vol 6 No 3 (2024): November
Publisher : Pandawan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34306/att.v6i3.394

Abstract

Tuberculosis (TB) caused by Mycobacterium tuberculosis, remains a global health challenge, with drug-resistant TB (TB-RO) posing significant risks to control efforts. This study aims to identify risk factors associated with TB-RO among patients at Labuang Baji Makassar Hospital, Indonesia. Conducted from September to October 2023, this analytical case-control study utilized a quantitative approach. Data were collected from the Tuberculosis Information System (SITB) and hospital medical records, involving all TB-RO patients under treatment between 2022 and 2023. Total sampling yielded 105 cases, with analysis performed using univariate, bivariate, and multivariate methods. Results indicate that age (OR=2.509, CI 95%: 1.120–5.622; p=0.036), positive BTA sputum (OR=3.397, CI 95%: 1.630–7.082; p=0.001), and prior treatment history (OR=0.461, CI 95%: 0.254–0.837; p=0.016) are significant factors. Positive BTA sputum emerged as the dominant risk. Findings suggest that inadequate treatment adherence may contribute to TB-RO incidence. The study concludes that age and BTA phlegm are key risk factors, while a history of successful treatment is protective. Strengthening patient monitoring and ensuring treatment compliance are essential for mitigating TB-RO risk and improving outcomes.