Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI BANJARMASIN DAN PERAN KESULTANAN BANJAR (ABAD XV-XIX) Noor, Yusliani
Al-Banjari : Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Keislaman Vol 11, No 2 (2012)
Publisher : Pascasarjana UIN ANTASARI Banjarmasin

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (373.221 KB) | DOI: 10.18592/al-banjari.v11i2.458

Abstract

Islamisasi Banjarmasin menghasilkan identitas baru pada etnis Dayak Islam sebagai Melayu sekaligus menjadi Banjar,[1] dan demikian pula etnis lainnya seperti; Jawa, Melayu, Bugis-Makassar serta Wajo, khususnya mereka yang berafiliasi, bercampur dan berada dalam suzerinitas Kesultanan Banjar. Suku-suku bangsa ini menghasilkan generasi campuran (mixing generation) karena perkawinan, yang juga menjadi Banjar. Berbagai etnis ini disatukan oleh transformasi dan transkulturasi religiusitas secara genius dari kepercayaan dan budaya Kaharingan-Balian, Hindu-Budha kepada agama Islam dan menjadi berbudaya Islam. Mereka memiliki bahasa Melayu Banjar sebagai Lingua-Franca, sekaligus sebagai bahasa pemersatu.[1]Kenyataan ini ditandai dengan alur cerita dan kemiripan Naskah-Naskah Hikayat yang dianggap bercorak Melayu, sehingga Hikayat Banjar dan Tutur Candi, memiliki genre yang senada dengan Hikayat Hang Tuah, Hikayat Raja Pasai, Sulalat al-Salatin (Sejarah Melayu), Hikayat Aceh, Cerita Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-Dewa, Salasilah Kutai, yang semuanya menampilkan aspek bahasa Melayu; bahasa sastra, politik dan hukum serta bahasa komunikasi. Lihat Henri Chambert-Loir, 2011, Sultan, Pahlawan dan Hakim, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) bekerjasama dengan Ecole francaise dExtreme-Orient Masyarakat Pernaskahan Nusantara Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat-UIN Jakarta: Jakarta, hlm. 7. Hasil Penelitian antropologis Y. C. Thambun Anyang, menunjukkan bahwa komunitas Dayak Taman di Kalimantan Barat ketika telah Islam menyebut dirinya turun Melayu atau menjadi Melayu. Lihat Y. C. Thambun Anyang, 1998, Kebudayaan dan Perubahan Daya Taman Kalimantan Dalam Arus Modernisasi, Studi Etnografis Organisasi sosial dan Kekerabatan dengan Pendekatan Antropologi Hukum, Jakarta: Grasendo, hlm. 103. Bandingkan dengan proses diakronis sejak abad ke-15 dalam perspektif Dayak Islam di Banjarmasin yang menjadi Melayu dan juga menyebut dirinya Banjar, sering disebut pula Melayu Banjar.
SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI BANJARMASIN DAN PERAN KESULTANAN BANJAR (ABAD XV-XIX) Noor, Yusliani
Al-Banjari : Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Keislaman Vol 11, No 2 (2012)
Publisher : Pascasarjana UIN ANTASARI Banjarmasin

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (373.221 KB) | DOI: 10.18592/al-banjari.v11i2.458

Abstract

Islamisasi Banjarmasin menghasilkan identitas baru pada etnis Dayak Islam sebagai Melayu sekaligus menjadi Banjar,[1] dan demikian pula etnis lainnya seperti; Jawa, Melayu, Bugis-Makassar serta Wajo, khususnya mereka yang berafiliasi, bercampur dan berada dalam suzerinitas Kesultanan Banjar. Suku-suku bangsa ini menghasilkan generasi campuran (mixing generation) karena perkawinan, yang juga menjadi Banjar. Berbagai etnis ini disatukan oleh transformasi dan transkulturasi religiusitas secara genius dari kepercayaan dan budaya Kaharingan-Balian, Hindu-Budha kepada agama Islam dan menjadi berbudaya Islam. Mereka memiliki bahasa Melayu Banjar sebagai Lingua-Franca, sekaligus sebagai bahasa pemersatu.[1]Kenyataan ini ditandai dengan alur cerita dan kemiripan Naskah-Naskah Hikayat yang dianggap bercorak Melayu, sehingga Hikayat Banjar dan Tutur Candi, memiliki genre yang senada dengan Hikayat Hang Tuah, Hikayat Raja Pasai, Sulalat al-Salatin (Sejarah Melayu), Hikayat Aceh, Cerita Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-Dewa, Salasilah Kutai, yang semuanya menampilkan aspek bahasa Melayu; bahasa sastra, politik dan hukum serta bahasa komunikasi. Lihat Henri Chambert-Loir, 2011, Sultan, Pahlawan dan Hakim, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) bekerjasama dengan Ecole francaise dExtreme-Orient Masyarakat Pernaskahan Nusantara Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat-UIN Jakarta: Jakarta, hlm. 7. Hasil Penelitian antropologis Y. C. Thambun Anyang, menunjukkan bahwa komunitas Dayak Taman di Kalimantan Barat ketika telah Islam menyebut dirinya turun Melayu atau menjadi Melayu. Lihat Y. C. Thambun Anyang, 1998, Kebudayaan dan Perubahan Daya Taman Kalimantan Dalam Arus Modernisasi, Studi Etnografis Organisasi sosial dan Kekerabatan dengan Pendekatan Antropologi Hukum, Jakarta: Grasendo, hlm. 103. Bandingkan dengan proses diakronis sejak abad ke-15 dalam perspektif Dayak Islam di Banjarmasin yang menjadi Melayu dan juga menyebut dirinya Banjar, sering disebut pula Melayu Banjar.
PERLAWANAN ORANG BANJAR MENENTANG KOLONIALISME BELANDA TAHUN 1859-1906 KERJASAMA GOLONGAN TUTUS RAJA-RAJA DENGAN GOLONGAN JABA Sayyidati, Rabini; Noor, Yusliani
Jurnal Humaniora Teknologi Vol. 7 No. 1 (2021): Jurnal Humaniora Teknologi
Publisher : P3M Politeknik Negeri Tanah Laut

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34128/jht.v7i1.93

Abstract

Perjuangan Orang Banjar dalam melawan kolonialisme Belanda berlangsung cukup lama dan berlarut-larut karena faktor sosial politik yang mana kemudian adanya ikut campur tangan Belanda terhadap sistem pemerintahan di Kerajaan Banjar. Pemerintah Belanda melalui utusannya mengatur dan mencampuri urusan politik seperti Pengangkatan Putra Mahkota dan pembagian tanah raja. Hal ini juga yang menjadi akar perlawanan masyarakat Banjar yang menginginkan hak dan tradisi politik Kerajaan Banjar kembali seperti semula. Selain itu Belanda juga mengincar sumber daya alam tanah Banjar berupa Batu Bara yang saat itu menjadi komoditas internasional sebagai sumber energi terbesar. Maka demi mengembalikan kemakmuran serta ketentraman Tanah Banjar, bersatulah golongan tutus raja-raja yang memiliki gelar bangsawan dengan golongan jaba yang memiliki semangat juang tinggi. Beberapa perlawanan besar terjadi seperti: 1) Perlawanan Banua Lima dipimpin oleh Jalil, yang bergelar Kyai Adipati Anom Dinding Raja, 2) Perlawanan sekitar Martapura dan Tanah Laut dipimpin oleh Demang Lehman, dan 3) Perlawanan di Daerah Barito, Kapuas dan Katingan dipimpin langsung oleh Pangeran Antasari. Bersatunya golongan tutus raja dan jaba menjadi bukti bahwa pada akhirnya masyarakat Banjar tetap menjunjung adat istiadat, serta tradisi politik asli yang telah dijalankan sejak nenek moyang dan mampu memukul mundur kolonialisme Belanda.
PERLAWANAN ORANG BANJAR MENENTANG KOLONIALISME BELANDA TAHUN 1859-1906 KERJASAMA GOLONGAN TUTUS RAJA-RAJA DENGAN GOLONGAN JABA Sayyidati, Rabini; Noor, Yusliani
Jurnal Humaniora Teknologi Vol. 7 No. 1 (2021): Jurnal Humaniora Teknologi
Publisher : P3M Politeknik Negeri Tanah Laut

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34128/jht.v7i1.93

Abstract

Perjuangan Orang Banjar dalam melawan kolonialisme Belanda berlangsung cukup lama dan berlarut-larut karena faktor sosial politik yang mana kemudian adanya ikut campur tangan Belanda terhadap sistem pemerintahan di Kerajaan Banjar. Pemerintah Belanda melalui utusannya mengatur dan mencampuri urusan politik seperti Pengangkatan Putra Mahkota dan pembagian tanah raja. Hal ini juga yang menjadi akar perlawanan masyarakat Banjar yang menginginkan hak dan tradisi politik Kerajaan Banjar kembali seperti semula. Selain itu Belanda juga mengincar sumber daya alam tanah Banjar berupa Batu Bara yang saat itu menjadi komoditas internasional sebagai sumber energi terbesar. Maka demi mengembalikan kemakmuran serta ketentraman Tanah Banjar, bersatulah golongan tutus raja-raja yang memiliki gelar bangsawan dengan golongan jaba yang memiliki semangat juang tinggi. Beberapa perlawanan besar terjadi seperti: 1) Perlawanan Banua Lima dipimpin oleh Jalil, yang bergelar Kyai Adipati Anom Dinding Raja, 2) Perlawanan sekitar Martapura dan Tanah Laut dipimpin oleh Demang Lehman, dan 3) Perlawanan di Daerah Barito, Kapuas dan Katingan dipimpin langsung oleh Pangeran Antasari. Bersatunya golongan tutus raja dan jaba menjadi bukti bahwa pada akhirnya masyarakat Banjar tetap menjunjung adat istiadat, serta tradisi politik asli yang telah dijalankan sejak nenek moyang dan mampu memukul mundur kolonialisme Belanda.