Articles
PROSES PEMBATALAN SERTIFIKAT HAK MILIK ATAS TANAH DAN PERLINDUNGAN HUKUMNYA BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN DI PENGADILAN NEGERI SINGARAJA
Made Ari Putra Sudana;
Ketut Wetan Sastrawan
Kertha Widya Vol 5, No 2 (2017)
Publisher : Universitas Panji Sakti
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (211.284 KB)
|
DOI: 10.37637/kw.v5i2.482
Pembatalan sertipikat tidak mengurangi asas pemberian perlindungan yang seimbang baik kepada pihak yang mempunyai tanah dan dikuasai serta digunakan sebagaimana mestinya maupun kepada pihak yang memperoleh dan menguasainya dengan itikad baik dan dikuatkan dengan pendaftaran tanah yang bersangkutan atas namanya. Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian ini meneliti tentang proses pembatalan sertifikat hak milik atas tanah melalui putusan pengadilan dan perlindungan hukum bagi pembeli dalam jual beli tanah apabila terjadi pembatalan sertipikat hak milik melalui putusan Pengadilan. Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris, bersifat deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen dan wawancara. Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif. Proses pembatalan sertifikat hak milik atas tanah melalui putusan pengadilan secara garis besar melalui dua tahap. Tahap pertama adalah tahap pemeriksaan di depan sidang pengadilan. Setelah ada putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap dilanjutkan dengan tahap kedua, yaitu tahap pembatalan hak atas tanah, termasuk sertifikat sebagai bukti formil atas hak tersebut oleh Badan Pertanahan Nasional, berdasarkan permohonan yang diajukan oleh pihak yang berkepentingan. Apabila terjadi pembatalan sertipikat hak milik melalui putusan Pengadilan pembeli dalam jual beli tanah tetap mendapat perlindungan hukum. Dalam hal ini pembeli yang beritikad baik dapat: meminta pelaksanaan perjanjian, jika masih memungkinkan; meminta penggantian kerugian saja; atau menuntut pelaksanaan perjanjian disertai dengan penggantian kerugian.
PELAKSANAAN DIVERSI TERHADAP ANAK YANG BERMASALAH HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI KABUPATEN BULELENG (STUDI KASUS DI POLRES BULELENG)
I Gusti Fajar Wisnu Sanjaya;
Ketut Wetan Sastrawan
Kertha Widya Vol 5, No 2 (2017)
Publisher : Universitas Panji Sakti
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (221.628 KB)
|
DOI: 10.37637/kw.v5i2.487
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Selanjutnya Disingkat UU SPPA) yang merupakan pergantian terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah mengatur secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari Stigma terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan si anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Penelitian ini menliti pelaksanaan diversi terhadap anak yang bermasalah hukum dalam sistem peradilan pidana anak di Kabupaten Buleleng dan kendala- kendala dalam pemberian diversi terhadap anak yang bermasalah hukum dalam sistem peradilan pidana anak di Kabupaten Buleleng. Pelaksanaan Diversi yang dilakukan di wilayah hukum Polres Buleleng sudah sesuai dengan Undang- Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang dimana pemenuhan kebutuhan hukum terhadap anak adalah yang paling utama dalam proses diversi. Kendala dalam pelaksanaan diversi adalah kendala eksternal. Kendala eksternal yaitu ketidaktahuan masyarakat terkait Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, tidak adanya fasilitas rumah aman bagi pelaku anak yang berhadapan dengan hukum dan ketidak mauan korban untuk melaksanakan diversi yang dalan Pasal 6 UU SPPA meyatakan bahwa dalam pemberian Diversi harus merujuk pada salah satunya persetujuan oleh korban.
PERANAN KETUA PENGADILAN DALAM PENGAWASAN PUTUSAN PENGADILAN PADA PERKARA PIDANA YANG TELAH BERKEKUATAN HUKUM TETAP
Gusti Ayu Putu Febrina;
Putu Sugi Ardana;
Ketut Wetan Sastrawan
Kertha Widya Vol 3, No 1 (2015)
Publisher : Universitas Panji Sakti
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (210.01 KB)
|
DOI: 10.37637/kw.v3i1.442
Secara normatif pengadilan tidak hanya berperan pada tahap persidangan, tetapi juga memiliki peran pada tahap berikutnya. Pasal 55 Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa Ketua pengadilan wajib mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Penelitian ini meneliti permasalahan berkaitan dengan peranan Ketua Pengadilan dalam pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan pada perkara pidana yang telah berkekuatan hukum tetap dan tata cara pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana yang telah berkekuatan hukum tetap yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan fakta. Sebagai penelitian normatif maka yang diutamakan adalah baha-bahan hukum, yang dihimpun melalui studi dokumen dan wawancara. Data dianalisis secara deskriptif analisis. Ketua Pengadilan berkewajiban untuk melakukan pengawasan. Untuk itu ditunjuk Hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu Ketua Pengadilan dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan pada perkara pidana yang telah berkekuatan hukum tetap. Hakim Pengawas dan Pengamat melakukan tugas secara pasif dan pro aktif. Secara pasif dengan meminta data dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan berkala maupun pada waktu- waktu tertentu, secara aktif dengan melakukan pengecekan ke lapangan (checking on the spot paling sedikit 3 (tiga) bulan sekali.
PELAKSANAAN PEMBINAAN NARAPIDANA SEBAGAI UPAYA MENGATASI MUNCULNYA RESIDIVIS DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS IIB SINGARAJA
Sri Adyanti Pratiwi;
Ketut Wetan Sastrawan
Kertha Widya Vol 5, No 1 (2017)
Publisher : Universitas Panji Sakti
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (188.588 KB)
|
DOI: 10.37637/kw.v5i1.479
Sistem pemasyarakatan adalah sistem pembinaan bagi narapidana untuk meningkatkan kualitas narapidana agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana. Namun terdapat narapidana yang telah selesai melaksanakan pembinaan mengulangi tindak pidana yang telah dilakukan sebelumnya. Narapidana ini dikenal dengan residivis. Masalah yang muncul adalah, apa penyebab narapidana menjadi residivis?, bagaimana upaya Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Singaraja dalam mengatasi timbulnya residivis? dan hambatan apa yang dihadapi dalam melaksanakan pembinaan bagi residivis? Penelitian ini menggunakan metode penelitian empiris yang bersifat deskriptif dengan teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan, wawancara dan observasi yang menghasilkan data primer dan sekunder kemudian dianalisis menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang menyebabkan timbulnya residivis adalah faktor internal dan eksternal, upaya yang dilakukan untuk mengatasi timbulnya residivis dengan melaksanakan pembinaan kepribadian dan kemandirian, dan hal yang menghambat adalah terbatasnya dana untuk pembinaan, sikap/perilaku petugas saat melaksanakan pembinaan, terbatasnya jumlah dan mutu sarana prasarana pembinaan, sikap narapidana yang tidak taat mengikuti program pembinaan, jumlah petugas tidak sebanding dengan narapidana, sikap masyarakat/pihak korban yang sulit menerima keberadaan narapidana serta belum adanya peraturan khusus yang mengatur mengenai pembinaan narapidana residivis.
PELAKSANAAN PENGAWASAN BUPATI BULELENG TERHADAP PENGELOLAAN PERUSAHAAN DAERAH SWATANTRA KABUPATEN BULELENG
Dewa Kadek Arta Premana;
Putu Sugi Ardana;
Ketut Wetan Sastrawan
Kertha Widya Vol 3, No 1 (2015)
Publisher : Universitas Panji Sakti
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (243.194 KB)
|
DOI: 10.37637/kw.v3i1.447
Pelaksanaan pengelolaan bdan usaha milik daerah perlu diawasi, terutama oleh, pihak yang paling berkepentingan, dalam hal ini Pemerintah Daerah. Fungsi pengawasan ini dilakukan oleh kepala daerah, yang menjadi salah satu organ perusahaan umum daerah. Hal ini ditegaskan dalam pengaturan BUMD, di antaranya dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014. Penelitian ini meneliti pelaksanaan pengawasan Bupati Buleleng terhadap pengelolaan perusahaan PD Swatantra Kabupaten Buleleng dan kendala-kendala yang ada dalam pelaksanaan pengawasan Bupati Buleleng terhadap pengelolaan perusahaan PD Swatantra Kabupaten Buleleng. Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris, bersifat deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen dan wawancara. Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif. Pelaksanaan pengawasan Bupati Buleleng terhadap pengelolaan perusahaan PD Swatantra Kabupaten Buleleng dilakukan secara langsung dan secara tidak langsung. Kendala-kendala yang ada dalam pelaksanaan pengawasan Bupati Buleleng terhadap pengelolaan perusahaan PD Swatantra Kabupaten Buleleng berkaitan dengan aset yang tersebar dan dapat menjadi kendala dalam hal menyesuaikan antara kebijakan untuk menunjuk pejabat tertentu sebagai anggota Badan Pengawas dengan persyaratan kemampuan yang harus dimiliki oleh anggota Badan Pengawas.
PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM KEPOLISIAN RESOR BULELENG
Miftakhul Jannah;
Ketut Wetan Sastrawan
Kertha Widya Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Universitas Panji Sakti
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (163.494 KB)
|
DOI: 10.37637/kw.v6i2.502
Abstrak: Tingginya penyalahgunaan narkotika di Buleleng memunculkan kekhawatiran terhadap masa depan generasi muda di Buleleng.Namun kekhawatiran tersebut dapat diminimalisir dengan melakukan penanggulangan. Berdasarkan latar belakang diatas memunculkan rumusan masalah sebagai berikut: apa penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika di wilayah hukum kepolisian resor Buleleng? Apa hambatan-hambatan yang dihadapi dalam melaksanakan penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika di wilayah hukum kepolisian resor Buleleng? Untuk menjawab permasalahan tersebut maka penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum empiris yang bersifat deskriptif dengan teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan, wawancara dan observasi yang menghasilkan data primer dan sekunder kemudian dianalisis menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya-upaya yang dilakukan untuk menanggulangi tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui sarana hokum pidana (Represif) dan sarana non hukum pidana (Preventif).Hambatan-hambatan yang dihadapi yaitu hambatan internal dan eksternal, yaitu terjadinya kerancuan pasal dalam Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, minimnya sarana dan prasarana serta kurang solidnya kerja sama masyarakat Buleleng dengan kepolisian mengenai pelaporan atau memberikan informasi terkait kegiatan peredaran maupun kegiatan penyalahgunaan narkotika dilingkungan tertentu.
PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN BERUPA PEMECATAN DARI DINAS MILITER PADA PENGADILAN MILITER III-14 DENPASAR
Sugiono;
Ketut Wetan Sastrawan;
I Nyoman Surata
Kertha Widya Vol 3, No 1 (2015)
Publisher : Universitas Panji Sakti
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (177.025 KB)
|
DOI: 10.37637/kw.v3i1.448
Berbeda dengan sistem KUHP, maka dalam sistem Kitab Undang- Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) bila seorang anggota Militer terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana selain dijatuhi pidana pokok dengan pertimbangan-pertimbangan hakim, dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas Militer. Penelitian ini meneliti dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana tambahan pemecatan dari dinas militer pada Pengadilan Militer III-14 Denpasar, serta apakah penjatuhan sanksi pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas Militer pada Pengadilan Militer III-14 Denpasar dapat berdiri sendiri. Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris, bersifat deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen dan wawancara. Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana tambahan pemecatan dari dinas militer pada Pengadilan Militer III-14 Denpasar, selain mengacu pada Peraturan Perundang-Undangan, juga didasarkan kepada pertimbangan bahwa seorang prajurit memiliki tanggung jawab lebih besar dari masyarakat pada umumnya untuk menjaga ketertiban dan ketentraman. Juga menjadi pertimbangan untuk pemecatan adalah prajurit telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan yang menyebabkan nama baik kesatuannya tercemar tercemar. Penjatuhan Sanksi pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas Militer tidak dapat berdiri sendiri tanpa disertai pidana pokok.
PENGARUH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU- XI/2013 TERHADAP PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA PIDANA DI PENGADILAN NEGERI SINGARAJA
Putu Yudi Cahyakana;
Ketut Wetan Sastrawan
Kertha Widya Vol 5, No 1 (2017)
Publisher : Universitas Panji Sakti
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (251.383 KB)
|
DOI: 10.37637/kw.v5i1.476
Peninjauan Kembali merupakan upaya hukum luar biasa terakhir yang dapat diajukan olehterpidana dan/atau ahli warisnya untuk memperoleh keadilan serta membersihkan nama terpidana jikaterdapat bukti baru (novum) yang ditemukan ketika sidang berlangsung atau sesudah putusandijatuhkan dan mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Upaya peninjauan kembalidiajukan oleh terpidana Antasari Azhar kasus pembunuhan korban Nasrudin Zulkarnaen tetapi ditolakoleh Mahkamah Agung sehingga Antasari tidak dapat mengajukan upaya hukum lagi berdasar pasal 268ayat (3) KUHAP yang menyatakan bahwa “Peninjauan Kembali hanya dapat dilakukan satu kali saja”.Oleh karena itu Antasari mengajukan uji materiil (judicial review) Pasal 268 ayat (3) KUHAP keMahkamah Konstitusi dengan Putusan Nomor 34/PUU-XI/2013. Putusan Mahkamah Konstitusimengabulkan permohonan Antasari dan keluarganya, sehingga secara eksplisit Peninjauan Kembalidapat diajukan lebih dari satu kali, tetapi pada kenyataannya hingga saat ini Peninjauan Kembali hanyadapat diajukan satu kali berdasar Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Pasal 66 ayat(1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, serta SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tentang PengajuanPermohonan Peninjauan Kembali dalam perkara Pidana. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana pengaruh Peninjauan Kembali dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 di Pengadilan Negeri Singaraja, dan akibat hukum terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU- XI/2013 di Pengadilan Negeri Singaraja terhadap terpidana.
PELAKSANAAN PASAL 39 UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DALAM HAL TERGUGAT TIDAK HADIR DALAM PERSIDANGAN GUGATAN PERCERAIAN DI PENGADILAN NEGERI SINGARAJA
Luh Arista Ratnalia;
Putu Sugi Ardana;
Ketut Wetan Sastrawan
Kertha Widya Vol 2, No 2 (2014)
Publisher : Universitas Panji Sakti
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (188.979 KB)
|
DOI: 10.37637/kw.v2i2.435
Dalam pemeriksaan perkara perceraian di pengadilan dapat terjadi kemungkinan, tergugat tidak hadir di persidangan, meskipun telah dipanggil secara patut. Ketidakhadiran ini mungkin karena disengaja atau karena suatu hal di luar keinginannya tergugat tidak dapat hadir di persidangan, sampai 3 kali atau lebih. Dalam hal demikian putusan pengadilan dapat diambil dengan verstek.Penelitian ini meneliti proses putusan gugatan perceraian dengan verstek di Pengadilan Negeri Singaraja, apakah kepentingan tergugat dilindungi dalam hal persidangan gugatan perceraian yang diputus dengan verstek di Pengadilan Negeri Singarajadan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh tergugat terhadap putusan verstek di Pengadilan Negeri Singaraja Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris, bersifat deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen dan wawancara. Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif. Perkara perceraian dilaksanakan secara verstek apabila tergugat telah dipanggil secara patut dan sah, sekurang-kurangnya dua kali dan tetapi tidak hadir dipersidangan. Meskpipun tergugat tidak hadir, hakim akan memeriksa perkara tersebut sesuai ketentuan hukum acara. Terhadap putusan yang diambil secara verstek, tergugat dapat mengajukan perlawanan (verzet).
EFEKTIVITAS PUTUSAN SERTA MERTA TERHADAP EKSEKUSI DI PENGADILAN NEGERI SINGARAJA KELAS IB
I Komang Merta Ardiasa;
Ketut Wetan Sastrawan
Kertha Widya Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Universitas Panji Sakti
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (182.708 KB)
|
DOI: 10.37637/kw.v6i2.504
Abstrak: Lembaga peradilan merupakan tempat penyelesaian suatu pekara secara litigasi bila seseorang merasa haknya dirugikan oleh orang lain. Dalam putusan Pengadilan akan diketahui siapa yang menang dan siapa yang kalah, beserta hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh para pihak yang berperkara. Eksekusi merupakan realisasi dari putusan Pengadilan. Putusan serta merta merupakan putusan yang dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun belum memiliki kekuatan hukum yang tetap, akan tetapi kebanyakan eksekusi baru dapat dijalankan setelah putusan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sehingga efektivitas putusan serta merta perlu diteliti. Metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum empiris yang bersifat deskriptif, dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan dan wawancara. Kemudian data diolah dan di analisis secara kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa putusan serta merta di Pengadilan Negeri Singaraja Kelas IB tidak efektif, adapun hambatan-hambatan dalam proses eksekusi terhadap putusan serta di Pengadilan Negeri Singaraja Kelas IB adalah karena sebelum eksekusi dijalankan memerlukan jaminan dari Penggugat yang nilainya sama dengan obyek sengketa dan ijin tertulis dari Ketua Pengadilan Tinggi. Disatu sisi upaya hukum dari lawan telah diputus oleh Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung. Sehingga yang nantinya akan dieksekusi adalah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, bukan putusan serta merta.