Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Perbandingan Rumah Joglo di Jawa Tengah Dalam Lingkup Cagar Budaya (Studi Kasus: Omah UGM dengan nDalem Purwodiningratan)( Anugrah Pratama; Yusuf Affendi Djalari; Sangayu Ketut Laksemi
Jurnal Seni dan Reka Rancang: Jurnal Ilmiah Magister Desain Vol. 1 No. 1 (2018): Jurnal Seni & Reka Rancang: Jurnal Ilmiah Magister Desain
Publisher : Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1349.617 KB) | DOI: 10.25105/jsrr.v1i1.3879

Abstract

AbstractJoglo house has a deep meaning and represent Javanese identity. The structure of Joglo’s building for Javanese people is in accordance with the principle of Javanese people’s life, to firmly taking the responsibility of living. In the past, this building was become a symbolic of middle-upper class status in society and destined for living place, cultural art show, assembly hall, and ceremonial events. As the time goes by, there is a change of building function, building construction and ownership. Therefore, there is a need of special attention from government related to the preservation of ancient and historical buildings in accordance with Law No.11 year 2010 regarding cultural heritage. The preservation may include historical building conservation (preservation, restoration, reconstruction and revitalization). Conservation is often to accompanied by the development of design construction, which can give an impact to the change of meaning or identity and function of Joglo house. The switches of function of Joglo house was identified by the author through the case study of Joglo houses in Kotagede Heritage, Yogyakarta and Solo, Surakarta. Joglo house in Kotagede which has been observed by the author was Omah UGM.Meanwhile, Joglo house in Solo, Surakarta was nDalem Purwodiningratan. The development of both Joglo houses was observed in the terms of function, and the shape of building. As a result, the author conclude that both of the Joglo houses have the historical value that deserve to be categorized as cultural heritage and needs to be preserved.AbstrakRumah Joglo memiliki makna dan identitas yang kuat bagi masyarakat jawa. Struktur bangunan rumah Joglo bagi masyarakat jawa sesuai dengan prinsip kehidupan masyarakatnya yaitu tegas dalam menjalani tanggung jawab dalam kehidupan. Di masa lalu, bangunan sebagai simbol status kelas masyarakat menegah ke atas ini diperuntukkan untuk tempat tinggal, kegiatan pementasan, ruang pertemuan, dan acara seremonial. Seiring dengan perkembangan zaman, terjadi perubahan fungsi, konstruksi bangunan serta kepemilikan, sehingga makna dan filosofi rumah Joglo berkurang. Oleh karena itu, diperlukan perhatian khusus dari pemerintah terkait pelestarian bangunan kuno dan bersejarah sesuai dengan UU No. 11 tahun 2010 tentang cagar budaya. Pelestarian ini dapat berupa konservasi bangunan bersejarah (preservasi, restorasi, rekonstruksi maupun revitalisasi). Konservasi seringkali disertai dengan adanya pengembangan kontruksi desain yang dapat berdampak pada perubahan makna/identitas maupun fungsi dari rumah Joglo. Rumah Joglo yang beralih fungsi ini penulis mengidentifikasi melalui studi kasus bangunan rumah Joglo yang berada pada kawasan cagar budaya Kota Gede di Yogyakarta dan Solo, Surakarta. Rumah Joglo di Kota Gede yang diamati penulis adalah Omah UGM
PROTOTIPE ALAT PENGUKUR TINGKAT KEMATANGAN BUAH PEPAYA MENGGUNAKAN SENSOR WARNA TCS3200 Anugrah Pratama; Armanto Armanto; Satrianansyah Satrianansyah
Jusikom : Jurnal Sistem Komputer Musirawas Vol 8 No 1 (2023): Jusikom : Jurnal Sistem Komputer Musirawas JUNI
Publisher : LPPM UNIVERSITAS BINA INSAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Buah pepaya merupakan salah satu buah yang banyak dikonsumsi oleh banyak masyarakat di Indonesia, karena buah pepaya memiliki kandungan gizi yang baik untuk kesehatan tubuh. Salah satu varietas buah pepaya yang saat ini digemari oleh semua kalangan masyarakat yaitu buah pepaya California. Sekarang ini, mayoritas tingkat kematangan buah pepaya ini biasanya dilakukan secara manual oleh petani dengan memperhatikan warna, bentuk, ukuran dan tekstur dari buah pepaya. Prototipe ini dibangun menggunakan Sensor Warna untuk mendeteksi warna pada kulit buah pepaya dan LCD sebagai tampilan Output. Pengujian karakteristik sensor warna TCS3200 dilakukan dengan mendeteksi 2 tingkat kematangan yang berbeda menggunakan jarak yang sama. Buah pepaya mentah berwarna hijau dan buah matang yang berwara orange. Warna pada buah pepaya dapat kita gunakan untuk mengklarisifikasi dalam kelas mentah dan matang. Buah pepaya mentah memiliki nilai R= 104, G= 149, dan B= 128. Sedangkan nilai RGB buah pepaya matang adalah R= 53, G= 99 dan B= 87.
PROTOTIPE ALAT PENGUKUR TINGKAT KEMATANGAN BUAH PEPAYA MENGGUNAKAN SENSOR WARNA TCS3200 Anugrah Pratama; Armanto Armanto; Satrianansyah Satrianansyah
Jusikom : Jurnal Sistem Komputer Musirawas Vol 8 No 1 (2023): Jusikom : Jurnal Sistem Komputer Musirawas JUNI
Publisher : LPPM UNIVERSITAS BINA INSAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32767/jusikom.v8i1.1962

Abstract

Buah pepaya merupakan salah satu buah yang banyak dikonsumsi oleh banyak masyarakat di Indonesia, karena buah pepaya memiliki kandungan gizi yang baik untuk kesehatan tubuh. Salah satu varietas buah pepaya yang saat ini digemari oleh semua kalangan masyarakat yaitu buah pepaya California. Sekarang ini, mayoritas tingkat kematangan buah pepaya ini biasanya dilakukan secara manual oleh petani dengan memperhatikan warna, bentuk, ukuran dan tekstur dari buah pepaya. Prototipe ini dibangun menggunakan Sensor Warna untuk mendeteksi warna pada kulit buah pepaya dan LCD sebagai tampilan Output. Pengujian karakteristik sensor warna TCS3200 dilakukan dengan mendeteksi 2 tingkat kematangan yang berbeda menggunakan jarak yang sama. Buah pepaya mentah berwarna hijau dan buah matang yang berwara orange. Warna pada buah pepaya dapat kita gunakan untuk mengklarisifikasi dalam kelas mentah dan matang. Buah pepaya mentah memiliki nilai R= 104, G= 149, dan B= 128. Sedangkan nilai RGB buah pepaya matang adalah R= 53, G= 99 dan B= 87.
ADOPSI BUDAYA MEDIA TIKTOK TERHADAP REMAJA Muhammad Sufyan Tsauri; Djadhuq Dimas Gelegar R.H; Tegard Hermantoro Putra; Satria Widyan Permana; Anugrah Pratama
Triwikrama: Jurnal Ilmu Sosial Vol. 4 No. 2 (2024): Triwikrama: Jurnal Ilmu Sosial
Publisher : Cahaya Ilmu Bangsa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.6578/triwikrama.v4i2.4305

Abstract

Penelitian ini melihat adopsi budaya media TikTok di kalangan remaja dan berfokus pada dampak, mekanisme, dan konsekuensi budaya dan sosial mereka. TikTok, platform media sosial yang berkembang pesat, memberi remaja kesempatan untuk berekspresi melalui video pendek yang inovatif yang seringkali viral. Penelitian ini mengumpulkan data dari remaja yang aktif di TikTok melalui wawancara mendalam dan observasi partisipatif.TikTok sangat memengaruhi identitas dan perilaku sosial remaja, menurut hasil penelitian. Remaja sering mengambil fenomena viral, tantangan (challenges), dan tren yang muncul di platform ini dan memasukkannya ke dalam kehidupan sehari-hari mereka. TikTok juga berfungsi sebagai alat pembelajaran nonformal yang membantu remaja belajar tentang berbagai hal, mulai dari hiburan hingga pendidikan. Namun demikian, penelitian ini juga menemukan potensi konsekuensi negatif, termasuk tekanan untuk mengikuti tren, risiko privasi, dan paparan terhadap konten yang tidak sesuai.Oleh karena itu, adopsi budaya media TikTok di kalangan remaja harus dipahami secara menyeluruh dengan mempertimbangkan manfaat dan efek negatifnya untuk membuat strategi yang memaksimalkan manfaat sambil mengurangi risiko. Studi ini menunjukkan bahwa orang tua, pendidik, dan pembuat kebijakan harus berpartisipasi secara aktif dalam memberi tahu orang lain tentang cara menggunakan TikTok dengan cara yang sehat dan bertanggung jawab.
Reformasi Hukum Mengenai Kewajiban Mediasi Sebagai Penyelesaian Sengketa Paten Anugrah Pratama; Zainal Arifin Hoesein
Desentralisasi : Jurnal Hukum, Kebijakan Publik, dan Pemerintahan Vol. 2 No. 1 (2025): Desentralisasi : Jurnal Hukum, Kebijakan Publik, dan Pemerintahan
Publisher : Asosiasi Peneliti dan Pengajar Ilmu Hukum Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62383/desentralisasi.v2i1.461

Abstract

This study analyzes the ambiguity regarding the obligation to mediate in resolving patent disputes according to the Patent Law, and its implications for the efficiency of the dispute resolution process. Although Article 153 and Article 154 of the Patent Law open up opportunities for dispute resolution through alternative mechanisms, the ambiguity regarding the obligation to mediate creates legal uncertainty that can hinder efficiency and increase dispute costs. Based on the Economic Analysis of Law approach, this study shows that the obligation to mediate can reduce social costs, accelerate the dispute resolution process, and increase overall economic efficiency. Mediation as an obligation can reduce the burden on the judicial system, minimize transaction costs, and create better legal and business stability. Therefore, this study encourages the implementation of the obligation to mediate in patent disputes to create a more efficient, fair, and profitable dispute resolution system for all parties involved.