Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Tanggung Jawab Hukum Pihak Penyedia Jasa Layanan Travel terhadap Bocornya Data Pelanggan Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Iis Ade Lia; Muhammad Faiz Mufidi
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 2 No. 1 (2022): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (171.844 KB) | DOI: 10.29313/bcsls.v2i1.918

Abstract

Abstract. Leakage of personal data in Electronic Systems such as E-Commerce is rife in Indonesia. As a result, many Electronic System Users experience not only formal losses but also material losses. In this case, the Electronic System Operator company has the responsibility of handling cases of data leakage that occurs in the System. This research method uses a juridical-normative approach, which examines secondary data by conducting a literature study. The data collection technique used is secondary data using primary, secondary, and tertiary legal materials. This research is descriptive-analytical with a normative-qualitative method. The results of this study indicate that there is an obligation for the Electronic System Operator company to be responsible in the event of data leakage to its users. Keywords: data leakage, electronic system operator, legal responsibility Abstrak. Kebocoran data pribadi pada Sistem Elektronik seperti E-Commerce marak terjadi di Indonesia. Akibatnya banyak Pengguna Sistem Elektronik yang mengalami tak hanya kerugian formil namun kerugian materil. Dalam hal ini perusahaan Penyelenggara Sistem Elektronik mempunyai tanggung jawab untuk menangani kasus kebocoran data yang terjadi pada Sistemnya. Metode penelitian ini menggunakan metode pendekatan Yuridis-Normatif, yang meneliti data sekunder dengan melakukan studi kepustakaan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah data sekunder dengan menggunakan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis dengan metode Normatif-kualitatif.Hasil penelitian ini menunjukan bahwa, terdapat kewajiban bagi perusahaan Penyelenggara Sistem Elektronik untuk bertanggung jawab apabila terjadi kebocoran data pada penggunanya. Kata kunci: kebocoran data, penyelenggara sistem elektronik, tanggung jawab hukum
Perwujudan Asas Kebebasan Berkontrak dalam Jual Beli Tanah Dihubungkan dengan Perda Kota Pekanbaru Nomor 4 Tahun 2010 Tentang BPHTB Aisha Millennia La Risya; Muhammad Faiz Mufidi
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 2 No. 1 (2022): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (344.801 KB) | DOI: 10.29313/bcsls.v2i1.947

Abstract

Abstract. This research is motivated by the realization of the principle of freedom of contract in the sale and purchase of land associated with the Pekanbaru City Regulation Number 4 of 2010 concerning BPHTB. The existence of a validation or verification process by the Regional Revenue Agency (BAPENDA) of Pekanbaru City resulted in a change in the value of BPHTB which of course changed the BPHTB payment system which should have been carried out with asystem self-assessment into an official assessment. Changes in the value of BPHTB can also harm taxpayers. Accordingly, BAPENDA may cancel the sale and purchase price that has been agreed upon by the parties. Legal Research Methods at this writing were carried out by normative juridical methods, with analytical descriptive specifications. The results of the study indicate that BAPENDA as an official of the State Administration is only authorized in public law and has no authority in private law (civil law). If we look closely, the determination of market value in the field verification carried out by BAPENDA violates the sale and purchase agreement which clearly violates the principle of freedom of contract because in order to better fulfill the sense of justice and legal certainty, accurate provisions are needed in conducting verification, especially the determination of the NJOP PBB price. If the taxpayer still has objections, then the taxpayer's efforts to seek justice in the taxation sector are made by filing an objection, an appeal to the tax court. In addition to an appeal that can be submitted to the tax court, taxpayers can also file a lawsuit Abstrak. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh perwujudan asas kebebasan berkontrak dalam jual beli tanah dihubungkan dengan Perda Kota Pekanbaru Nomor 4 Tahun 2010 Tentang BPHTB. Adanya proses validasi ataupun verifikasi oleh Badan Pendapatan Daerah (BAPENDA) Kota Pekanbaru berakibat berubahnya nilai BPHTB yang tentunya mengubah sistem pembayaran BPHTB yang seharusnya dilakukan dengan sistem self assessment menjadi official assessment. Perubahan nilai BPHTB tersebut juga dapat merugikan wajib pajak. Sehubungan dengan itu BAPENDA dapat saja membatalkan harga jual beli yang telah disepakati para pihak. Metode Penelitian Hukum pada penulisan ini dilakukan dengan metode yuridis normatif, dengan spesifikasi deskriptif analitis. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa bahwa BAPENDA selaku pejabat Pejabat Administrasi Negara hanya berwenang dalam hukum publik dan tidak berwenang dalam hukum privat (hukum keperdataan). Jika dicermati penentuan nilai pasar dalam verifikasi lapangan yang dilakukan oleh BAPENDA menyalahi dari perjanjian jual beli yang sudah jelas melanggar asas kebebasan berkontrak karena dengan Untuk lebih memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum, maka diperlukan ketentuan yang akurat dalam melakukan verifikasi khususnya penetapan harga NJOP PBB. Apabila wajib pajak masih merasa keberatan, maka upaya wajib pajak untuk mencari keadilan bidang perpajakan tersebut dilakukan Pengajuan Keberatan, upaya hukum banding ke pengadilan pajak. Selain upaya banding yang dapat diajukan ke pengadilan pajak, wajib pajak juga dapat mengajukan upaya hukum gugatan.
Tanggung Jawab Rumah Sakit atas Tindakan Kelalaian yang Dilakukan oleh Perawat dalam Pemberian Obat kepada Pasien Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit Razi Mardhika; Muhammad Faiz Mufidi
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 3 No. 1 (2023): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/bcsls.v3i1.5041

Abstract

Abstract. Health Service Facility is a tool or place that is used to organize health service efforts, whether promotive, preventive, curative, or rehabilitative carried out by the Central Government, Regional Government and/or the community. One type of health service facility is a hospital. The hospital is an individual health service facility that provides inpatient and outpatient care, therefore quality service is a must and absolutely fulfilled by a hospital. One of the efforts to improve the quality of service to the community is to improve the performance of the hospital in a professional and independent manner. In 2022 there will be events carried out by Health Workers at Hospitals in giving medicine to patients. Babies at the Wahidin Sudirohusodo Hospital in Makassar, a nurse injects a different drug. It turned out that the drug was confused with another patient's drug and because of the victim being given the injection drug, the baby's body turned blue and was declared dead. The purpose of this study is to know the legal protection for patients due to the negligence of nurses at the hospital. Knowledge of civil liability due to negligence of nurses at the hospital according to law number 44 of 2009. The approach method used is normative juridical, the research specifications in this study are analytical descriptive in nature, the data collection technique in this research is library research and the analytical method in this study using qualitative analysis methods. Then the result was obtained that there was a negligence committed by the nurse. Abstrak. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan/atau masyarakat. Jenis fasilitas pelayanan kesehatan salah satunya adalah Rumah Sakit. Rumah sakit merupakan suatu fasilitas pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan rawat inap dan rawat jalan, oleh karena itu pelayanan yang berkualitas merupakan suatu keharusan dan mutlak dipenuhi oleh suatu rumah sakit. Salah satu upaya dalam meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat adalah meningkatkan kinerja rumah sakit secara profesional dan mandiri. Pada Tahun 2022 terdapat peristiwa yang dilakukan oleh Tenaga Kesehatan di Rumah Sakit dalam memberikan obat kepada pasien. Bayi di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar, seorang perawat menyuntikkan obat yang berbeda. Obat tersebut ternyata tertukar dengan obat pasien lain dan akibat dari korban setelah diberikan obat suntik tersebut, membuat tubuh bayi tersebut menjadi membiru dan dinyatakan meninggal dunia. Tujuan penelitian ini adalah Diketahuinya perlindungan hukum bagi pasien akibat kelalaian perawat di rumah sakit. Diketahuinya pertanggung jawaban perdata akibat kelalaian perawat di rumah sakit menurut undang-undang nomor 44 tahun 2009. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif, spesifikasi penelitian dalam penelitian ini bersifat deskriptif analitis, Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini studi kepustakaan serta metode analisis dalam penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif. Kemudian diperoleh hasil bahwa adanya suatu kelalaian yang dilakukan oleh Perawat.
Wanprestasi atas Perjanjian Jasa Promosi oleh Influencer pada Media Sosial Ditinjau dari Perspektif KUH Perdata Rifki Fadlurohman; Muhammad Faiz Mufidi
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 3 No. 1 (2023): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/bcsls.v3i1.6109

Abstract

Abstract. The purpose of this research is to examine the law concerning defaults on promotional service agreements by influencers and to determine how to resolve defaults that occur in the endorsement agreement. This study uses an approach known as "empirical normative research," which combines normative legal research with a number of empirical components. The statute approach and the conceptual approach are the methods used. Primary data, secondary data, and tertiary data, which are referred to as primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials, are the three categories of data sources used. Research was conducted both in the field and in the library as part of the data collection process. The data is evaluated qualitatively, that is, collected, qualified with empirical facts found in the field, then connected with theories related to the problem and conclusions drawn to ensure the results. The research findings show that as long as the parties comply with the legal terms of the agreement stipulated in Article 1320 of the Civil Code, the law governing the insertion of standard conditions in the ratification agreement is declared valid and applies as a rule for the parties. This is in accordance with the legal requirements for electronic agreements as outlined in Article 47, Paragraph 2, of Government Regulation Number 82 of 2012 Concerning the Implementation of Electronic Systems and Transactions (PP PSTE). Standard clause provisions are valid if they are not included in the provisions of Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection (UUPK), and there is no unlawful act that is not justified according to law, decency, and public policy. There are three ways to resolve ratification agreement issues: by filing a complaint with the Consumer Dispute Settlement Agency, asking the District Court to hold the responsible party responsible for terminating the agreement, and demanding compensation from the default party. Abstrak. Penelitian ini bertujuan guna mengkaji hukum terkait wanprestasi perjanjian jasa promosi oleh influencer juga mengetahui bagaimana cara penyelesaian wanprestasi yang terjadi dalam perjanjian endorsement tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan yang dikenal dengan penelitian normatif empiris, yang menggabungkan penelitian hukum normatif dengan sejumlah komponen empiris. Pendekatan Statuta dan Pendekatan Konseptual adalah metode yang digunakan. Data primer, data sekunder, dan data tersier yang disebut sebagai bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier merupakan tiga kategori sumber data yang digunakan. Penelitian dilakukan baik di lapangan maupun di perpustakaan sebagai bagian dari proses pengumpulan data. Data dievaluasi secara kualitatif, yaitu dikumpulkan, dikualifikasikan dengan fakta-fakta empiris yang ditemukan di lapangan, kemudian dihubungkan dengan teori-teori yang terkait dengan masalah dan ditarik kesimpulan untuk memastikan hasilnya. Temuan penelitian menunjukkan bahwa selama para pihak memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata, maka undang-undang yang mengatur tentang penyisipan syarat-syarat baku dalam perjanjian pengesahan dinyatakan sah dan berlaku sebagai aturan bagi para pihak. Hal itu sesuai dengan syarat sahnya perjanjian elektronik yang dituangkan dalam Pasal 47 Ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE). Ketentuan klausula baku adalah sah apabila tidak dicantumkan dalam ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), dan tidak ada perbuatan melawan hukum yang tidak dibenarkan menurut hukum, kesusilaan, dan kebijaksanaan umum. Ada tiga cara untuk menyelesaikan masalah perjanjian pengesahan: dengan mengajukan pengaduan ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, meminta Pengadilan Negeri untuk meminta pertanggungjawaban pihak yang bertanggung jawab atas pemutusan perjanjian, dan menuntut ganti rugi dari pihak yang wanprestasi.
THIRD-PARTY IN INTERNATIONAL COMMERCIAL ARBITRATION: INDONESIA PERSPECTIVE Prita Amalia; Muhammad Faiz Mufidi
Mimbar Hukum Vol 35 (2023): Jurnal Mimbar Hukum Special Issue
Publisher : Faculty of Law, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/mh.v35i0.11381

Abstract

Abstract An arbitration Agreement between the parties is an important source of law in the arbitration proceeding, especially in International Commercial Arbitration. Arbitration Agreements, which could be made before and after the dispute, provide jurisdiction to the arbitral tribunal to settle the dispute. Traditionally, the arbitration agreement provides that only the parties in the agreement could be bound by the arbitration proceeding. However, in commercial arbitration, there is a circumstance in which a third party could be bound to arbitration proceedings. Indonesia has an arbitration law based on Law No. 30 Year 1999 concerning Arbitration and Alternative Dispute Resolution. This law stipulates how arbitration proceedings could proceed in Indonesia, including third-party issues in arbitration proceedings, as stipulated in Article 30. However, it depends on an arbitrator to settle since the Law itself does not explain further. The definition also does not govern in BANI Rules and Procedure as BANI procedural law. One opinion based on the writer’s research shows that commercial arbitration in Indonesia could also consider Indonesian Civil Procedural Law, as well as the regulation toward third parties’ involvement. Some of the mechanism of third parties’ involvement that has been regulated in Indonesian Civil Procedural Law is Vrijwaring, Tussenkomst, and Voeging. Abstrak Perjanjian Arbitrase di antara para pihak merupakan sumber hukum utama dalam proses arbitrase, khususnya dalam Arbitrase Komersial Internasional. Perjanjian Arbitrase dapat dibuat sebelum dan setelah sengketa, dan merupakan dasar kewenangan dari lembaga arbitrase untuk menyelesaikan sengketa. Secara konsep, perjanjian arbitrase hanya mengikat para pihak yang terikat dalam perjanjian arbitrase. Namun demikian, terdapat kondisi bilamana pihak ketiga dapat terikat dalam proses arbitrase. Indonesia mengatur arbitrase dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-undang ini mengatur bagaimana proses arbitrase di Indonesia, termasuk para pihak dalam proses arbitrase sebagaimana diatur dalam Pasal 30. Hal ini sangat tergantung pada arbiter untuk memutuskannya karena undang-undang tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. Penjelasan selanjutnya juga tidak diatur dalam Hukum Acara BANI. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dalam arbitrase komersial di Indonesia, para pihak perlu mempertimbangkan Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia, khususnya mengenai pengaturan bagaimana pihak ketiga bisa terikat dalam proses arbitrase. Mekanisme keterlibatan pihak ketiga yang diatur dalam Hukum Acara Perdata Indonesia yaitu Vrijwaring, Tussenkomst, and Voeging.
Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Akibat Tindak Kelalaian yang Dilakukan oleh Perawat atas Tertukarnya Bayi yang Baru Lahir Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan Vira Marcela; Muhammad Faiz Mufidi; Rimba Supriatna
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 4 No. 2 (2024): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/bcsls.v4i2.12591

Abstract

Abstract. Hospitals are a type of health service facility that has health human resources who have scientific disciplines under their profession to provide health services according to patient needs. Hospitals carry out health efforts in the form of primary, preventive, curative, and rehabilitative measures carried out by the central government, regional government, and/or the community. Good, safe, and quality service is something that is essential for hospitals to provide to patients. This can be realized by improving hospital performance optimally and professionally. In 2022, there was an incident where a nurse at a hospital identified a patient because they gave the wrong identity bracelet, causing the baby to be confused. This research aims to find out the standard of nursing services for newborn babies about the implementation that occurs at Hospital X. The hospital's civil liability is known due to acts of negligence committed by nurses according to Law Number 17 of 2023 concerning Health. The method used is normative juridical, the research specifications in this study are descriptive. The data collection technique in this research is library research and the analysis method in this research uses qualitative analysis methods. The results of this research explain that hospitals are responsible for negligence committed by nurses. Abstrak. Rumah sakit merupakan salah satu jenis fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki sumber daya manusia kesehatan yang memiliki disiplin ilmu sesuai dengan profesinya untuk memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien. Rumah Sakit menyelenggarakan upaya kesehatan berupa pomotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif dilakukan oleh yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dan/atau masyarakat. Pelayanan baik aman dan bermutu merupakan hal yang mutlak diberikan oleh Rumah Sakit kepada pasien. Hal tersebut dapat terealisasi dengan meningkatkan kinerja Rumah Sakit secara optimal dan profesional. Pada Tahun 2022 terdapat peristiwa yang dilakukan oleh perawat di Rumah Sakit dalam mengidentifikasi pasien karena salah memberikan gelang identitas menyebabkan bayi tersebut tertukar. Tujuan penelitian ini adalah diketahuinya Standar Pelayanan Keperawatan terhadap bayi yang baru lahir dihubungkan dengan pelaksanaan yang terjadi di Rumah Sakit X. Diketahuinya tanggung jawab perdata Rumah Sakit akibat tindak kelalaian yang dilakukan oleh perawat menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif, spesifikasi penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif bersifat. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi keperpustakaan serta metode analisis dalam penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif .Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwasannya Rumah sakit bertanggung jawab atas kelalaian yang dilakukan oleh perawat.
Pengaturan Kepemilikan Rekam Medis Sebelum dan Sesudah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan Syifa Bunga Jingga; Muhammad Faiz Mufidi
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 4 No. 2 (2024): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/bcsls.v4i2.12657

Abstract

Abstract. The lack of clarity regarding the protection of patients' rights to medical records in Law Number 17 of 2023 concerning Health has created a debate about claiming ownership of medical records between patients and health service facilities. This research compares the regulation of ownership of medical records before and after Law Number 17 of 2023 concerning Health and international laws such as the New Hampshire Statute and HIPAA. This research was conducted with the aim of knowing and analyzing ownership of medical records according to Law Number 29 of 2004 and Law Number 17 of 2023 concerning health with the New Hampshire Statute, as well as knowing the legal consequences following the enactment of Law Number 17 of 2023 concerning Health on protecting the rights of patients or families regarding the contents of medical records. The research analysis method used in this research is a qualitative method with a juridical-normative approach based on comparison through literature study techniques supported by interviews. This research shows that there are similarities in the regulation of ownership of medical records in the New Hampshire Statute with Law Number 17 of 2023 and Minister of Health Regulation Number 24 of 2022. Differences in rights to medical records in Law Number 17 of 2023 and Minister of Health Regulation Number 24 of 2022 show that the access rights contained in Law Number 17 of 2023 are an additional right to the ownership right to electronic medical record information in Minister of Health Regulation Number 24 of 2022, which is still in effect today. Abstrak. Ketidakjelasan pada perlindungan hak pasien terhadap rekam medis pada UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menimbulkan perdebatan untuk mengklaim kepemilikan rekam medis antara pasien dengan fasilitas layanan kesehatan. Penelitian ini membandingkan pengaturan kepemilikan rekam medis sebelum dan sesudah UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan serta hukum internasional seperti Statuta New Hampshire dan HIPAA. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui dan menganalisis kepemilikan rekam medis menurut UU No. 29 Tahun 2004 dan UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dengan Statuta New Hampshire, serta mengetahui akibat hukum pasca diberlakukannya UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan atas perlindungan hak pasien atau keluarga terhadap isi rekam medis. Metode analisis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan yuridis-normatif berdasarkan perbandingan melalui teknik studi pustaka yang ditunjang oleh wawancara. Penelitian ini memberikan hasil bahwa terdapat persamaan pengaturan kepemilikan rekam medis dalam Statuta New Hampshire dengan UU No. 17 Tahun 2023 dan Permenkes No. 24 Tahun 2022. Perbedaan hak terhadap rekam medis dalam UU No. 17 Tahun 2023 dengan Permenkes No. 24 Tahun 2022 menunjukkan bahwa hak akses yang ada pada UU No. 17 Tahun 2023 merupakan hak tambahan dari hak milik atas informasi rekam medis secara elektronik dalam Permenkes No. 24 Tahun 2022 yang keberadaan masih berlaku hingga saat ini.