Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

PERWALIAN DAN PERMASALAHANNYA Ida Kurnia; Alexander Sutomo; Cliff Geraldio
Jurnal Bakti Masyarakat Indonesia Vol. 5 No. 3 (2022): Jurnal Bakti Masyarakat Indonesia
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jbmi.v5i3.18108

Abstract

The high divorce rate means that guardianship is a very important thing to discuss, life after a divorce, it is necessary to immediately determine the position of the child regarding his guardianship rights. A child who is abandoned through a divorce process or the death of both parents must have a guardian as a companion until he is legally mature. A guardian must be an adult and not under guardianship, must be legally competent because the guardian's job is very important in guiding children, managing children's property, and also educating children. If a guardian does not carry out his obligations as stated in Law No. 16 of 2019 concerning amendments to Law No. 1 of 1974 concerning marriage. The marriage law itself regulates the dismissal of guardians who do not carry out their duties properly and are irresponsible. Regulations regarding guardianship have also been regulated in the Civil Code concerning Immaturity and Guardianship. The criteria for someone who can become a guardian are usually from the closest family to the child and are usually determined using the will given, the choice of the child, or the judge's decision. A good guardian must be able to maintain all the rights of the child until the child is an adult as regulated in the Civil Code. In carrying out their duties, the guardian must pay attention to all the things that are the provisions in the guardianship which have been regulated by the marriage law and the Civil Code. ABSTRAK: Peningkatan angka perceraian di Indonesia dari tahun ke tahun disebabkan oleh faktor ekonomi yang merupakan faktor yang mendominasi. Penyebab tertinggi ke dua dikarenakan salah satu pihak meninggalkan pihak yang lainnya di luar masalah ekonomi, dan yang ke tiga dikarenakan adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Tingginya angka perceraian, maka perwalian merupakah hal yang sangat penting untuk di bahas, kehidupan setelah adanya perceraian, perlu segera ditentukan kedudukan anak terkait hak perwalianya. Anak yang ditinggalkan melalui proses perceraian ataupun meninggalnya kedua orang tua harus memiliki wali sebagai pendampingnya hingga ia dewasa secara hukum. Seorang wali haruslah dewasa dan tidak di bawah pengampuan, harus cakap secara hukum karena tugas wali sangatlah penting dalam membimbing anak, mengelola harta benda milik anak, juga mendidik anak. Apabila seorang wali tidak melaksanakan kewajibannya yang tertera di dalam  Undang-undang No.16 tahun 2019 tentang perubahan Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang perkawinan sendiri mengatur tentang pemecatan untuk wali yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik dan tidak bertanggung jawab. Undang-undang No.16 tahun 2019 tentang perubahan Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, tetapi juga telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tentang Kebelumdewasaan dan Perwalian. Kriteria seseorang yang dapat menjadi wali biasanya dari keluarga terdekat dengan anak, dan biasanya ditentukan dengan cara melalui wasiat yang diberikan, pilihan anak, maupun putusan hakim. Seorang wali yang baik harus bisa mempertahankan segala hak milik anak hingga anak tersebut dewasa sesuai yang diatur dalam KUH Perdata. Dalam menjalankan tugasnya wali harus memperhatikan seluruh hal yang menjadi ketentuan dalam perwalian yang telah diatur jelas oleh Undang-undang Perkawinan dan KUH Perdata
PERSYARATAN DALAM PENENTUAN HAK ASUH Ida Kurnia; Alexander Sutomo; Cliff Geraldio
Jurnal Bakti Masyarakat Indonesia Vol. 5 No. 2 (2022): Jurnal Bakti Masyarakat Indonesia
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jbmi.v5i2.18609

Abstract

Marriage is an important event in human life. The purpose of marriage is to have children and live happily. However, it is not uncommon for marriages to end in divorce. Divorce that occurs in the household will eventually win custody of the child. In determining custody, the judge gives a verdict on who is more worthy to take care of the child, namely who is considered more entitled and more capable. In the court's decision with custody cases with various conditions in the family, the court's decision prioritizes child custody to the mother, noting that the child is still under 12 years old and the mother does not experience psychological disorders. The child custody decision can also fall to the father if the mother has shortcomings such as mental disabilities or other things related to psychological. Custody of the child can be separated from both parents if the parent is not able to take care of, educate, and care for the child. Bad habits of the child's parents can eliminate custody of the child from him. Law No. 35 of 2014 on child protection regulates all matters related to children with the main purpose of maintaining the rights of the child. The rights of a child have arisen from the time he is in the womb until he is an adult and is considered not a child anymore if he has entered into the marriage in accordance with the Civil Code and marriage law. Children should be taken care of, educated, well cared for, and given knowledge to be able to support their future better because children are the next generation of the nation ABSTRAK; Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam hidup manusia. Tujuan dari perkawinan salah satunya memiliki anak dan hidup bahagia. Namun tidak jarang perkawinan dapat berakhir dengan perceraian. Perceraian yang terjadi dalam rumah tangga pada akhirnya akan merebutkan hak asuh atas anak. Dalam penentuan hak asuh hakim memberikan putusan siapa yang lebih layak untuk mengurus anak, yaitu siapa yang dianggap lebih berhak dan lebih mampu. Dalam putusan pengadilan dengan perkara hak asuh dengan berbagai macam kondisi dalam keluarga, putusan pengadilan lebih mengutamakan hak asuh anak jatuh kepada ibunya, dengan catatan apabila anak tersebut masih dibawah 12 tahun dan sang ibu tidak menggalami gangguan dalam psikologis. Putusan hak asuh anak juga dapat jatuh kepada sang ayah apabila sang ibu memiliki kekurangan seperti cacat mental atau hal-hal lain yang berkaitan dengan psikologis. Hak asuh anak dapat lepas dari kedua orang tuanya apabila orang tua tersebut tidak mampu mengurus, mendidik, serta mengasuh anaknya. Kebiasaan buruk dari orang tua sang anak dapat menghilangkan hak asuh atas anak dari dirinya. Undang-undang  No. 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak mengatur segala hal yang berkaitan dengan anak dengan tujuan utama menjaga hak dari sang anak. Hak seorang anak sudah timbul sejak ada di dalam kandungan sampai ia dewasa dan di anggap bukan anak-anak lagi apabila ia telah mengsungkan perkawinan hal ini sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Undang-undang Perkawinan. Anak semestinya dijaga, dididik , dirawat dengan baik, serta diberi pengetahuan agar mampu menunjang masa depannya lebih baik karena anak merupakan generasi penerus bangsa