Imma Latifa
Universitas Negeri Surabaya

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Religious Conflict in Indonesia: Crisis of Tolerance and Violations of Human Rights Against Ahmadiyah Elrisa Diana Kumalasari; Imma Latifa; Ririn Aminarsih; Febriana Firsta Damayanti; Zidan Ilmi Mubarok
Metafora: Education, Social Sciences and Humanities Journal Vol. 6 No. 2 (2022)
Publisher : Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Krisis toleransi beragama dan pelanggaran HAM terhadap jemaah Ahmadiyah dihebohkan dengan berita perusakan dan pembakaran Masjid Miftahul Huda di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Tragedi yang dialami ratusan orang ini merupakan salah satu contoh pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Indonesia, yang dilaporkan pada 2021. Kejadian menyedihkan dan memprihatinkan ini secara tidak langsung menandakan bahwa masyarakat Indonesia saat ini semakin konservatif dan membuktikan bahwa tindakan intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama semakin meningkat dan semakin intens, bahkan di masa pandemi saat ini. Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk pelanggaran HAM terhadap jemaah Ahmadiyah di Indonesia dan memberikan gambaran alternatif solusi atas konflik agama di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka yang bersumber dari beberapa literatur ilmiah. Penelitian ini menemukan bahwa tindakan pelanggaran HAM yang digambarkan dalam konflik agama antara mayoritas umat Islam dengan jemaah Ahmadiyah di Indonesia terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari diskriminasi melalui tindakan verbal dan psikologis hingga kekerasan fisik dan pembatasan akses publik terhadap jemaah Ahmadiyah. Solusi alternatif yang dapat diterapkan untuk mengatasi krisis toleransi adalah melalui pendidikan, terutama dengan pendidikan multikultural antaragama yang memungkinkan dialog terbuka untuk menumbuhkan sikap dan perilaku saling menghormati antar umat beragama dalam bingkai keberagaman.
Studi Etnografi Virtual Kehidupan di Balik Akun Twitter K-Popers Dalam Perspektif Dramaturgi Imma Latifa; Sugeng Harianto
Communication Vol 14, No 1 (2023): Communication
Publisher : Fakultas Komunikasi & Desain Kreatif - Universitas Budi Luhur

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36080/comm.v14i1.2133

Abstract

Perbedaan idola, genre musik, hingga perbedaan sikap dan perilaku anggota grup terkadang membuat antarpenggemar bentrok di media sosial. Mereka saling beradu argumen, hingga melemparkan cacian dan makian ke penggemar lain yang dinilai tidak mempunyai kesamaan opini dengan mereka. Hal tersebut juga membuat penggemar K-Pop dianggap menakutkan oleh pengguna media sosial lainnya, karena tidak dapat menerima perbedaan opini. Namun di dunia nyata, pengguna media sosial cenderung berperilaku berbeda dengan ketika berada di dunia virtual atau media sosial. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan sikap, perilaku, serta image yang dibentuk para penggemar K-Pop di akun media sosial twitter dan perbedaannya dengan di dunia nyata. Metode kualitatif serta pendekatan etnografi virtual digunakan dalam penelitian ini. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi terhadap akun twitter kedua informan dan wawancara mendalam. Data kemudian akan dianalisis berdasarkan perspektif teori dramaturgi. Hasil penelitian menujukkan bahwa setiap orang selalu memiliki lebih dari satu sisi yang ingin dirinya perlihatkan. Namun, sebelum memperlihatkan sisi lainnya tersebut, ia akan mempertimbangkan terlebih dahulu apa saja yang perlu disiapkan untuk menunjukkan sisi lain dirinya. Kedua informan sama-sama menyiapkan pengetahuannya terkait dunia penggemar, grup idola, dan budaya fangirling agar bisa masuk dan menjadi bagian dari komunitas tersebut. Reaksi ekspresif terhadap idolanya dan penggunaan bahasa yang sepenuhnya berbeda dengan kehidupan sehari-hari menunjukkan bahwa kedua informan ingin memperlihatkan image layaknya K-Popers mayoritas di Indonesia. Kedua informan lebih memilih menggunakan bahasa gaul yang biasa digunakan anak muda di perkotaan daripada bahasa jawa selama melakukan fangirling. Namun, sikap dan perilaku tidak mengikuti war antarpenggemar maupun ikut serta meramaikan hashtag juga menunjukkan bahwa kedua informan tidak selalu ingin terlihat seperti mayoritas perilaku K-Popers lainnya.
Symbolic Violence in the Organizational Culture of Student Associations at Higher Education in Surabaya Aza Rifda Khamimiya; Imma Latifa; Anggi Sintya Dewi; Diyah Utami
Metafora: Education, Social Sciences and Humanities Journal Vol. 7 No. 02 (2023)
Publisher : Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Violent behavior is still often found in the educational environment, including in higher education. The act of violence by seniors against juniors is one example. This violence has become a culture in the campus environment, one of which is in student association organizations, such as symbolic violence. This study aims to identify the causes of symbolic violence and the forms of symbolic violence practices carried out by the management of student association organizations at the state university in Surabaya. The research method used is descriptive-qualitative with an ethnomethodological approach and uses Bordue's theory of symbolic violence. The subjects in this study were members of the 2021 student association organization. This research location is at one of the tertiary institutions in Surabaya. The data collection is done through in-depth interviews. The results indicate differences in vision and mission brought by student association organizations in their implementation, as well as the forms of symbolic violence that occurred in senior orders and threats to juniors, yelling, and scolding. Meanwhile, according to Bourdue himself, the causes of symbolic violence are habitus, capital, and class. In addition, symbolic violence is divided into censorship in the form of marginalization and intimidation and euphemism in the form of generosity, motivation, and obligations. Overall, the research informants were not aware of this practice of symbolic violence, so as a result, it became a culture within the organization. Keywords: symbolic violence, seniority, organization