Penelitian bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hakim dalam merumuskan tindak pidana suap Pasif Kasus Kepala Kantor Imigrasi Kelas I TPI Mataram; dan Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan hakim dalam merumuskan sanksi pidana terhadap pelaku suap pasif terhadap Kepala Imigrasi Mataram. Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif, dengan menggunakan pendekatan Undang-Undang (Statute Approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1). Pertimbangan hukum dalam perkara a quo telah mencakup aspek kepastian hukum dengan landasan filosofis, teoritis, yuridis, dan sosiologis, serta berada dalam rentang pidana Pasal 12 huruf a UU Tipikor; 2). Pertimbangan yang meringankan bersifat subjektif, menyebabkan disparitas antara tuntutan jaksa (7 tahun) dan putusan hakim (5 tahun). Hal ini berisiko melemahkan efek jera, menciptakan ketidakpastian hukum, serta menimbulkan persepsi negatif terhadap ketegasan sistem hukum dalam memberantas korupsi. Selain itu, hakim menerapkan Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU Tipikor, bukan Pasal 12 huruf a sebagaimana tuntutan JPU KPK, sehingga tidak sepenuhnya konsisten dengan prinsip keadilan retributif. Saran 1). Untuk menjaga integritas sistem peradilan, hakim perlu lebih mengutamakan prinsip keadilan substantif dalam menyeimbangkan faktor yang meringankan dengan kepentingan publik dalam pemberantasan korupsi. Putusan yang terlalu ringan tidak hanya menciptakan ketidakpastian hukum, melemahkan efek jera serta kepercayaan publik terhadap sistem hukum, dalam pemberantasan tindak pidana korupsi 2). Pemerintah, khususnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), perlu melakukan evaluasi terhadap Pasal 5 ayat (2) juncto Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b serta Pasal 12 huruf a UU Tipikor.