The community of Lemah Kembar Village has a form of local wisdom preserved in fostering relationships, not only about the living but also about people who have passed away through shadaqah jariyah. One way of the cultural wisdom is the rebbe ritual done by the Probolinggo community, which is seen as alms from living families to relatives who have passed away. This study focused on exploring community interpretations and the historical social construction of rebbe ritual in interpreting the meaning of shadaqah jariyah in the community of Lemah Kembar village, Sumberasih district, Probolinggo. The results revealed that the historical social construction of rebbe ritual emerged from the differences of community’s understanding about the shadaqah jariyah, which were grouped into three, namely the group of people who believed in rewarding the deceased, the students who carried out the tradition but interpreted it differently, and the students who refused to do the tradition because such rituals were considered contrary to Islamic teachings.Masyarakat Desa Lemah Kembar memiliki suatu bentuk kearifan lokal yang dilestarikan dalam membina hubungan tidak hanya dengan orang yang hidup, tetapi juga dengan orang yang telah meninggal melalui shadaqah jariyah. Salah satu bentuk kearifan budaya tersebut diantaranya adalah ritual Rebbe yang merupakan salah satu tradisi lokal masyarakat Probolinggo yang dipandang sebagai sedekah dari keluarga yang masih hidup kepada sanak kerabat yang sudah meninggal. Kajian ini menitikberatkan pada eksplorasi masyarakat dan konstruksi sosial historis ritual Rebbe dalam menginterpretasikan makna shadaqah jariyah pada masyarakat Desa Lemah Kembar, kecamatan Sumberasih, kabupaten Probolinggo. Adapun hasil penelitian ini adalah bahwa konstruksi sosial historis ritual Rebbe berangkat dari perbedaan pemahaman masyarakat tentang Shadaqah Jariyah yang bisa dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kaum awam yang meyakini akan sampainya hadiah pahala kepada orang yang meninggal, kaum santri yang menjalankan tradisi namun memaknainya secara berbeda, dan kaum santri yang menolak sama sekali untuk melaksanakan tradisi tersebut lantaran ritualnya dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.