Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

FUNGSI BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM MEWUJUDKAN APARATUR DESA YANG BERSIH DARI KKN DI DESA CUKAN LIPAI KECAMATAN BATANG ALAI SELATAN KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH Habibah Fiteriana
JOURNAL OF ISLAMIC AND LAW STUDIES Vol. 6 No. 2 (2022)
Publisher : Fakultas Syariah UIN Antasari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18592/jils.v6i2.6904

Abstract

AbstractThis research was compiled based on the existence of asymmetry between the implementation of the functions of the Village Consultative Body in Cukan Lipai Village as stated in Law Number 6 of 2014 with fact in the field. This is because the government in the village is filled with people recruited by the village head from the relatives and the success team during the village head election without strict selection and consideration. The purpose of this study was to determine the performance of the implementation of the function of the Village Consultative Body in Cukan Lipai Village in realizing a village apparatus that was clean from corruption, collusion and nepotism and obstacles to its implementation.This research is an empirical legal research that is descriptive qualitative and located in Cukan Lipai Village, Batang Alai Selatan District, Hulu Sungai Tengah Regency. The results showed that the performance of the implementation of the functions of the Village Consultative Body was still not effective due to a lack of understanding of the functions of the Village Consultative Body. The village head and village apparatus take many roles in the policies issued by the Village Consultative Body. So that the presence of the Village Consultative Body as the supervisor of the performance of the village head which is expected to play a role in realizing a village apparatus that is free from corruption, collusion and nepotism is nil. Keywords: Function, Village Consultative Body, Village Apparatus, Corruption Collusion and Nepotism.
URGENSI PENERAPAN BATAS USIA PERKAWINAN DI INDONESIA PERSPEKTIF SADD ADZ-DZARI’AH DAN MAQASHID SYARI’AH Habibah Fiteriana
Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah: Jurnal Hukum Keluarga dan Peradilan Islam Vol 4, No 1 (2023): Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah: Jurnal Hukum Keluarga dan Peradilan Islam
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15575/as.v4i1.24542

Abstract

AbstrakDalam Islam, memang tidak ada ketetapan khusus pada usia berapa seseorang boleh melangsungkan perkawinan. Namun sebagai konsekuensi dari negara hukum, Indonesia mengatur perihal perkawinan termasuk batas minimal usia sebagaimana yang ada pada Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yakni laki-laki dan perempuan harus sama-sama telah berusia 19 tahun. Dibuatnya aturan ini berangkat dari paradigma meraih kemaslahatan dan menolak segala kemudharatan yang tentunya juga menjiwai semangat penegakkan syari’at Islam. Sejalan dengan pendapat para fuqaha bahwa batas minimal usia perkawinan ini termasuk masalah yang boleh diatur oleh manusia sendiri dengan memperhatikan segi manfaat dan kebaikannya di masyarakat.Dari sudut pandang sadd adz-dzari’ah, terbitnya aturan batas minimal usia merupakan langkah yang efektif dan solutif sebagai upaya pencegahan kemafsadatan yang akan ditimbulkan oleh perkawinan di usia yang terlalu muda. Begitu pula dalam perspektif maqashid syari’ah, batasan usia ini tentunya mempertimbangkan banyak aspek seperti kajian terhadap teks Al-Qur’an dan sunnah mengenai tujuan pernikahan, serta pandangan ilmu kontemporer seperti medis, psikologi, sosiologi dan lain sebagainya. Urgensi batas usia perkawinan telah sesuai dengan maqashid syari’ah yang dalam pelaksanaannya berkeinginan untuk melakukan perencanaan hidup dengan perlindungan diri, keturunan, akal, dan persiapan ekonomi yang lebih baik sebelum memasuki bahtera rumah tangga menuju keluarga yang sakinah mawaddah warahmah.Kata Kunci: Urgensi, Batas Usia Perkawinan, Sadd Adz-Dzari’ah, Maqashid Syari’ah. AbstractIn Islam, there is no specific provision at what age a person may enter into marriage. However, as a consequence of the rule of law, Indonesia regulates marriage matters including the minimum age limit as stated in Article 7 Paragraph (1) of Law Number 16 of 2019, namely that men and women must be both 19 years old. The making of this rule departs from the paradigm of achieving benefit and rejecting all harm, which of course also inspires the spirit of upholding Islamic law. In line with the opinion of the jurists that the minimum age limit for marriage is a matter that can be regulated by humans themselves by taking into account the benefits and goodness in society.From the perspective of sadd adz-dzari'ah, the issuance of minimum age limit rules is an effective and solutive step as an effort to prevent harm that will be caused by marriage at too young an age. Likewise, in the perspective of maqashid shari'ah, this age limit certainly considers many aspects such as studies of the texts of the Qur’an and sunnah regarding the purpose of marriage, as well as views of contemporary science such as medicine, psychology, sociology and so on. The urgency of the marriage age limit is in accordance with maqashid syari'ah which in practice wishes to carry out life planning with better self-protection, offspring, reason, and economic preparation before entering the household ark towards a sakinah mawaddah warahmah family.Keywords: Urgency; Marriage Age Limit; Sadd Adz-Dzari'ah; Maqashid Shari'ah.      
RELASI ADAT DAN AGAMA DALAM TRADISI BAARAK NAGA PADA WALIMAH PERKAWINAN MASYARAKAT BANJAR Habibah Fiteriana
Jurnal Adat dan Budaya Indonesia Vol. 5 No. 1 (2023)
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23887/jabi.v5i1.57305

Abstract

Abstrak Sebagai kodrat makhluk sosial, manusia tentu tidak dapat terlepas dari ketergantungan untuk hidup bersama orang lain. Manusia lahir di tengah-tengah masyarakat, dan tidak mungkin hidup kecuali di tengah-tengah masyarakat pula. Hal inilah yang turut membangun naluri manusia untuk hidup bersama dan terus melestarikan keturunannya. Adapun cara untuk mewujudkan hal tersebut ialah dengan melakukan perkawinan yang sah. Pada masyarakat Banjar, prosesi perkawinan yang digunakan masih berpedoman pada adat yang berlaku sebagai warisan budaya turun-temurun. Selain itu, pelaksanaannya juga dilakukan dengan penuh kehati-hatian agar memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh fiqih. Sebagai bagian dari proses kehidupan yang sangat berarti bagi pribadi seseorang, sudah sewajarnya apabila prosesi perkawinan tersebut ditandai dengan sesuatu yang sifatnya istimewa, khas, dan unik. Sebagaimana yang akan dijelaskan dalam tulisan ini yaitu tradisi baarak naga pada perkawinan masyarakat Banjar. Tradisi baarak naga membawa perpaduan antara ketentuan adat sebagai panduan tidak tertulis dengan hukum perkawinan Islam sebagai ketentuan formal. Keduanya dipatuhi dan dilaksanakan secara turun-temurun tanpa pergesekan sehingga akhirnya menghasilkan hubungan yang harmonis dan lestari di masyarakat bahkan hingga saat ini. Kata Kunci: Adat dan Agama; Tradisi Baarak Naga; Masyarakat Banjar.
KONSEP AHLI WARIS PENGGANTI DALAM PERSPEKTIF MASLAHAH JASSER AUDA (TELAAH PENGATURAN DI INDONESIA DAN DUNIA ISLAM) Habibah Fiteriana
Ahwaluna | Jurnal Hukum Keluarga Islam Vol 3 No 1 (2023): Oktober,2023
Publisher : Program Studi Hukum Keluarga Islam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Dewasa ini, bidang hukum kewarisan telah mengalami perkembangan yang amat signifikan. Hal ini disebabkan kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks dan pemikiran yang berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Tidak terkecuali permasalahan ahli waris pengganti yang kian menarik untuk diulas dan diperkenalkan ke mata dunia. Keberadaan ahli waris pengganti dalam hukum kewarisan bertujuan untuk melengkapi hukum-hukum yang telah ada sekaligus untuk memenuhi rasa keadilan bagi ahli waris, sebab ahli waris pengganti pada dasarnya adalah ahli waris karena penggantian yaitu orang-orang yang menjadi ahli waris karena orang tuanya yang berhak mendapat warisan meninggal lebih dahulu dari pewaris sehingga dia maju untuk menggantikannya. Untuk itu penting kiranya untuk dapat mengkompilasi dan mengkomparasikan pengaturan ahli waris pengganti baik itu di Indonesia maupun di negara Islam yang lain. Dengan menggunakan konsep Maslahah Jasser Auda yang berbanding lurus dengan Pasal 185 KHI, akan cocok jika diterapkan pada konteks masa kini dengan keenam prinsipnya yang mampu menyesuaikan dengan cognitive nature of systems (secara alamiah), wholeness (holistik), openness (terbuka), interrelated hierarchy (hirarki saling berhubungan), multi dimensionality (multi dimensi) dan purposefulness (memiliki tujuan). Kolaborasi prinsip-prinsip ini diperlukan agar pintu ijtihad tetap terbuka. Karena tanpa ijtihad maka akan sulit untuk menetapkan suatu produk hukum yang baru dalam mengembangkan mekanisme dan metode-metode tertentu untuk memecahkan permasalahan kontemporer, termasuk ahli waris pengganti yang seyogyanya termahjub atau terhalang. Kata Kunci: Ahli Waris Pengganti; Maslahah Jasser Auda; Indonesia; Dunia Islam. AbstrakDewasa ini, bidang hukum kewarisan telah mengalami perkembangan yang amat signifikan. Hal ini disebabkan kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks dan pemikiran yang berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Tidak terkecuali permasalahan ahli waris pengganti yang kian menarik untuk diulas dan diperkenalkan ke mata dunia. Keberadaan ahli waris pengganti dalam hukum kewarisan bertujuan untuk melengkapi hukum-hukum yang telah ada sekaligus untuk memenuhi rasa keadilan bagi ahli waris, sebab ahli waris pengganti pada dasarnya adalah ahli waris karena penggantian yaitu orang-orang yang menjadi ahli waris karena orang tuanya yang berhak mendapat warisan meninggal lebih dahulu dari pewaris sehingga dia maju untuk menggantikannya. Untuk itu penting kiranya untuk dapat mengkompilasi dan mengkomparasikan pengaturan ahli waris pengganti baik itu di Indonesia maupun di negara Islam yang lain.Dengan menggunakan konsep Maslahah Jasser Auda yang berbanding lurus dengan Pasal 185 KHI, akan cocok jika diterapkan pada konteks masa kini dengan keenam prinsipnya yang mampu menyesuaikan dengan cognitive nature of systems (secara alamiah), wholeness (holistik), openness (terbuka), interrelated hierarchy (hirarki saling berhubungan), multi dimensionality (multi dimensi) dan purposefulness (memiliki tujuan). Kolaborasi prinsip-prinsip ini diperlukan agar pintu ijtihad tetap terbuka. Karena tanpa ijtihad maka akan sulit untuk menetapkan suatu produk hukum yang baru dalam mengembangkan mekanisme dan metode-metode tertentu untuk memecahkan permasalahan kontemporer, termasuk ahli waris pengganti yang seyogyanya termahjub atau terhalang. Kata Kunci: Ahli Waris Pengganti; Maslahah Jasser Auda; Indonesia; Dunia Islam.
MENELAAH GAGASAN AWAL TENTANG BELAJAR (EPISTEMOLOGI DAN TEORI BELAJAR PLATO & ARISTOTELES) Habibah Fiteriana
Raudhah - Proud To Be Professional مجلد 8 عدد 1 (2023): Raudhah Proud To Be Professionals: Jurnal Tarbiyah Islamiyah-APRIL 2023
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Islam Raudhatul Ulum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.48094/raudhah.v8i1.233

Abstract

Abstrak Dalam tataran makhluk hidup, manusia merupakan makhluk Tuhan paling sempurna yang dibekali akal dan pikiran. Dengan akal dan pikiran tersebut manusia dapat mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kelangsungan hidupnya. Kemampuan manusia untuk belajar merupakan karakteristik utama yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Belajar menghasilkan keuntungan baik bagi individu sendiri maupun masyarakat. Bagi individu, kemampuan belajar secara terus-menerus akan meningkatkan kualitas hidupnya, sedangkan bagi masyarakat belajar berperan penting dalam mentransmisikan budaya dan pengetahuan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Saat memahami suatu pembelajaran, tentu akan muncul pertanyaan “apa yang mendasari atau yang menjadi gagasan dalam belajar?”, “bagaimana epistemologi gagasan awal dalam belajar?”, dan lain-lain. Dalam buku Theories of Learning, terdapat dua pandangan yang mendasari gagasan awal tentang belajar yaitu pandangan dari Plato dan Aristoteles. Kedua pandangan mengenai hakikat pengetahuan ini amat berperan penting dalam sejarah teori belajar dan pembelajaran. Yang mana tujuan dari mempelajari ide atau gagasan awal dalam pembelajaran ialah untuk mengetahui, memahami, dan mengimplementasikannya dalam kegiatan belajar. Kata Kunci: Epistemologi; Teori Belajar; Plato; Aristoteles. Abstract At the level of living beings, humans are God's most perfect creatures equipped with reason and thought. With reason and mind, humans can learn things related to their survival. The human ability to learn is the main characteristic that distinguishes humans from other living things. Learning generates benefits both for the individual himself and for society. For individuals, the ability to learn continuously will improve the quality of life, while for the community learning plays an important role in transmitting culture and knowledge from one generation to the next. When understanding a lesson, of course there will be questions "what underlies or becomes the idea in learning?", "what is the epistemology of the initial idea in learning?", and others. In Theories of Learning, there are two views that underlie the initial ideas about learning, namely the views of Plato and Aristotle. These two views on the nature of knowledge have played an important role in the history of teaching and learning theory. Which is the purpose of studying the initial ideas or ideas in learning is to know, understand, and implement them in learning activities. Keywords: Epistemology; Learning Theory; Plato; Aristotle.