p-Index From 2020 - 2025
0.444
P-Index
This Author published in this journals
All Journal Widyaparwa
Muhammad Yusuf Saputro
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

PERBANDINGAN ASPEK LINGKUNGAN PADA CERITA RAKYAT “PEMUDA BERSERULING AJAIB” JERMAN DENGAN “DEWI LIUNG INDUNG BUNGA” KALIMANTAN SELATAN Muhammad Yusuf Saputro
Widyaparwa Vol 49, No 1 (2021)
Publisher : Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (199.46 KB) | DOI: 10.26499/wdprw.v49i1.529

Abstract

This study aims to determine the comparison of environmental aspects in the German folklore "The man with the Magic Flute" with “Dewi Liung Indung Bunga” folklore from South Borneo/South Kalimantan. The research approach is a qualitative description with comparative literature study data analysis methods as well as with literary ecology theory. This research proves that the folklore of the two countries has similarities and differences from ecological studies. The results of the study as a representation of nature depicting tropical forests in the story from South Kalimantan and in urban areas in the story from Germany. The local wisdom value of the story from Kalimantan illustrates the belief in giving worship and sacrifice to nature, on the other hand, the story from Germany depicts people who like littering. Examining the heroic elements of the story from Kalimantan was represented by a woman named Dewi Liung Indung Bunga who dared to sacrifice herself for nature and in the story from Germany was represented by a male figure with his power clean the city from rat plague. An analysis of the apocalyptic narrative of a story from Kalimantan shows that humans (Datu Beritau) can receive revelations from God and are vigorous with supernatural nuances and stories from Germany with magical powers that emerge from the sound of flutes that can deceive humans and animals. The research shows that the elements of the apocalyptic environment in both folklore have in common the absence of human consciousness to utilize and protect the environment. This shows that a literary work is part of the natural environment (ecology) of the local community.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan aspek lingkungan pada cerita rakyat “Pemuda Berseruling Ajaib” Jerman dengan cerita rakyat “Dewi Liung Indung Bunga” dari Kalimantan Selatan. Pendekatan penelitian ini adalah deskripsi kualitatif dengan metode analisis data kajian sastra banding serta dengan teori ekologi sastra. Penelitian ini membuktikan bahwa cerita rakyat dari kedua negara tersebut terdapat kesamaan dan perbedaan dari kajian ekologi. Hasil penelitian sebagai beriku representasi alam yang menggambarkan hutan tropis pada cerita dari Kalimantan Selatan dan wilayah kota dalam perbukitan pada cerita dari Jerman. Nilai kearifan lokal cerita dari Kalimantan menggambarkan kepercayaan memberikan sesembahan dan pengorbanan untuk alam dan cerita dari Jerman sebaliknya menggambarkan penduduk yang suka membuang sampah sembarangan. Telaah unsur kepahlawanan cerita dari Kalimantan diwakili oleh perempuan yaitu Dewi Liung Indung Bunga yang berani mengorbankan dirinya untuk alam dan cerita dari Jerman diwakili oleh tokoh laki-laki dengan kekuatannya dapat membersihkan kota dari wabah tikus. Telaah narasi apokaliptik cerita dari Kalimantan menunjukkan bahwa manusia (Datu Beritau) dapat menerima wahyu dari Tuhan dan kental dengan nuansa supranatural dan cerita dari Jerman kekuatan ajaib yang muncul dari suara seruling yang dapat memperdaya manusia dan hewan. Telaah unsur lingkungan apokaliptik dalam kedua cerita rakyat memiliki kesamaan yaitu tidak adanya kesadaran manusia untuk memanfaatkan dan menjaga lingkungan. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebuah karya sastra bagian dari lingkungan alam (ekologi) masyarakat setempat.
MODEL KESANTUNAN BERBAHASA SISWA TIONGHOA DI SEKOLAH PAH TSUNG JAKARTA: KAJIAN ETNOGRAFI KOMUNIKASI Muhammad Yusuf Saputro; Wini Tarmini; Ade Hikmat
Widyaparwa Vol 48, No 2 (2020)
Publisher : Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (277.517 KB) | DOI: 10.26499/wdprw.v48i2.646

Abstract

This research is aimed to know and describe further detail about how the politeness in the language of Chinese students at Pah Tsung School Jakarta, by looking at the forms of politeness used by Chinese students in speaking. The research approach used was a qualitative approach with an ethnographic study of communication methods. The researcher collected research data using literature/documentation methods, records, interviews, direct observation, and FGD with language and language politeness experts. Then, the data were analyzed using the content analysis method equipped with analysis tables. The data of this research are in the form of students’ and teachers’ speeches both written and oral. According to that, it was discovered that ten forms of politenesses of Leech (2014) were implemented, namely generosity maxim of 5.3%, tact maxim of 12.4%, approbation maxim of 6.2%, modesty maxim of 0.9%, obligation S to O maxim of 18.6%, obligation O to S maxim of 8,8%, agreement maxim of 19,5%, opinion reticence maxim of 20,4%, sympathy maxim of 5,3%, and feeling reticence maxim of 2,7%. Based on these results, the forms of Chinese students’ politeness language at Pah Tsung School are dominated by the opinion reticence maxim, the agreement maxim, and the obligation S to O maxim. The lingual forms in speaking also have unique characteristics in each maxim.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan secara mendalam model kesantunan berbahasa siswa Tionghoa di Sekolah Pah Tsung Jakarta dengan melihat wujud-wujud kesantunan berbahasa yang dipergunakan siswa Tionghoa dalam bertutur. Pendekatan penelitian yang digunakan yakni pendekatan kualitatif dengan metode etnografi komunikasi. Peneliti mengumpulkan data penelitian dengan metode pustaka/dokumentasi, rekam, wawancara, observasi langsung, dan FGD dengan pakar bahasa dan kesantunan berbahasa. Pengolahan data menggunakan metode analisis isi yang dilengkapi dengan tabel analisis. Data penelitian ini berupa tuturan siswa dan guru, baik secara lisan maupun tulis. Pada tuturan tersebut, diperoleh hasil sebagai berikut: penerapan wujud dari sepuluh kesantunan Leech (2014), yaitu generosity maxim 5,3%, tact maxim 12,4%, approbation maxim 6,2%, modesty maxim 0,9%, obligation S to O maxim 18,6%, obligation O to S maxim 8,8%, agreement maxim 19,5%, opinion reticence maxim 20,4%, sympathy maxim 5,3%, dan  feeling reticence maxim 2,7%. Berdasarkan hasil tersebut model kesantunan berbahasa siswa Tionghoa di Sekolah Pah Tsung didominasi oleh opinion reticence maxim, agreement maxim, dan obligation S to O maxim. Penanda lingual yang digunakan dalam petuturan pun memiliki karakteristik yang khas pada setiap maksimnya.