Penelitian ini bertujuan menganalisis urgensi serta potensi pengenaan cukai pada minuman berenergi di Indonesia. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif berupa studi naratif (literatur) dan studi kasus. Minuman berenergi mengandung bahan-bahan antara lain kafein, taurin, pemanis, dan ginseng. Konsumsi minuman berenergi cenderung meningkat dibandingkan jenis minuman berpemanis lainnya. Hasil studi literatur dan studi kasus menunjukkan bahwa dampak negatif minuman berenergi antara lain apabila dikonsumsi secara bersamaan dan berlebihan dalam jangka panjang dapat berdampak buruk bagi kesehatan dan menyebabkan penyakit seperti gagal ginjal kronik, diabetes, dan jantung. Hal ini bertolak belakang dengan persepsi dan preferensi masyarakat bahwa minuman berenergi merupakan suplemen kesehatan. Dampak negatif lainnya minuman berenergi adalah campuran yang paling banyak digunakan dalam membuat minuman keras oplosan, yang telah mengakibatkan kematian. Dampak negatif tersebut menghasilkan eksternalitas negatif bagi kesehatan yang harus ditanggung oleh masyarakat dan Pemerintah. Penetapan minuman berenergi sebagai BKC dapat mengimbangi eksternalitas negatif tersebut. Hasil analisis menunjukkan minuman berenergi memenuhi lima aspek policy test penetapan BKC yaitu aspek legal, filosofis, sosial ekonomi, referensi, dan operasional. Minuman berenergi memiliki potensi menjadi BKC dinilai dari fungsi regulerend dan fungsi budgetair (potensi penerimaan cukai Rp554,5 miliar dari minuman berenergi berbentuk cairan, dan Rp14,25 triliun dari satu merk minuman berenergi berbentuk konsentrat).