Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Prevalensi dan Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Simtom Depresi pada Penduduk di Indonesia (Analisis Data IFLS5 Tahun 2014-2015) Tri Damayanti Simanjuntak; Adistha Eka Noveyani; Citra Anggun Kinanthi
Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia Vol 6, No 2 (2022)
Publisher : Department of Epidemiology, FoPH, UI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.7454/epidkes.v6i2.6313

Abstract

Berdasarkan data WHO, secara global prevalensi jumlah orang yang hidup dengan depresi diperkirakan mengalami peningkatan sebesar 18,4% antara tahun 2005 dan 2015.  Depresi merupakan fenomena yang kompleks, karena diduga beberapa simtom depresi memiliki faktor risiko yang berbeda. Beberapa penelitian sebelumnya tentang depresi fokus pada kelompok tertentu, misalnya lansia, pelajar, maupun ibu setelah melahirkan yang dilakukan pada cakupan wilayah yang cukup kecil. Penelitian ini bertujuan meneliti prevalensi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan simtom depresi di Indonesia. Desain penelitian ini adalah cross-sectional dan menggunakan data sekunder, yaitu survei nasional Indonesia Family Life Survey ke-5 (IFLS5). Teknik sampling yang digunakan adalah teknik stratified random sampling dimana ditemukan sebanyak 27.622 orang yang memenuhi kriterian inklusi dan eksklusi. Penelitian ini menunjukkan prevalensi simtom depresi pada populasi Indonesia pada tahun 2014 - 2015 adalah 23,14%.  Dari analisis multivariat dengan cox regression ditemukan bahwa kelompok usia 18-25 (PR=1,64, 95% CI 1,52-1,77), perempuan (PR=1,39, 95% CI 1,29-1,49), berpisah/cerai (PR=1,31, 95% CI 1,20-1,42), merokok (PR=1,28, 95% CI 1,19-1,38), aktivitas berat (PR=1,61, 95% CI 1,52-1,71), hipertensi (PR=1,32, 95% CI 1,24 - 1,41), dan kanker (PR=1,31, 95% CI 1,53-1,63) berhubungan dengan simtom depresi. Studi ini menunjukkan bahwa risiko depresi dapat diturunkan dengan mengendalikan faktor risiko, seperti untuk tidak merokok, aktivitas fisik disesuaikan dengan kebutuhan, cegah hipertensi, dan cegah kanker. Dimasa mendatang diperlukan penelitian lebih lanjut terkait faktor sosial dengan depresi dengan desain studi yang lebih baik untuk menunjukkan hubungan kausalitas.
The IMPACT OF SOCIOECONOMIC STATUS AND DEMOGRAPHIC ON SUBJECTIVE WELL-BEING IN INDONESIA 2014-2015: A CROSS-SECTIONAL STUDY Maria Veronika Simanjuntak; Tri Damayanti Simanjuntak
Jurnal Sosial Humaniora Vol. 14 No. 2 (2023): Oktober
Publisher : Universitas Djuanda Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30997/jsh.v14i2.9969

Abstract

Subjective well-being is described as a person’s level of happiness and satisfaction with their life. Subjective well-being is critical in developing and sustaining a healthy and productive society. The negative consequence of not achieving subjective well-being is the formation of bad sentiments, emotions, or moods, which can harm health and raise the risk of disease. Several early studies were confined to certain groups, and this subjective will-being research across Indonesia utilizing IFLS secondary data is still limited. This research aims to examine the impact of socioeconomic status and demographic characteristics on subjective well-being in the Indonesian population using a cross-sectional study design using secondary data from the Indonesia Family Life Survey (IFLS5) wave 5, 2014-2015, the inclusion and exclusion criteria were met by a total of 30,147 respondents. This study will employ stratified random sampling, which is consistent with that used in IFLS5, and the data acquired will be examined through univariate, bivariate, and multivariate analysis. As many as 13.69% of respondents were unsatisfied with their lives in general. After controlling job satisfaction, job stress, economic level, age, and gender, the greatest variable on subjective well-being is job satisfaction, which is equal to 5.38 times (95% CI 4.94 - 5.987; p-value 0.001). This means that respondents who are dissatisfied with their work are also at risk of feeling dissatisfied with subjective well-being.