Muhammad Rutabuz Zaman
Institut Keislaman Abdullah Faqih

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Penyelesaian Sengketa Alternatif (Alternative Dispute Resolution) Pada Layanan Jasa Perbankan Muhammad Rutabuz Zaman
MIYAH : Jurnal Studi Islam Vol. 11 No. 1 (2015)
Publisher : Institut Keislaman Abdullah Faqih Gresik

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (236.017 KB) | DOI: 10.33754/miyah.v11i1.6

Abstract

Dalam memberikan layanan jasa perbankan, bank lebih sering berada pada posisi dominan dibandingkan dengan nasabah debitur.Secara hukum kedudukan antara bank dengan nasabah dalam hubungan kontraktual adalah sejajar.Dalam perjanjian, nasabah debitur biasanya dihadapkan pada sebuah kontrak/perjanjian baku yang disodori oleh pihak Bank dimana hampir tidak ada ruang untuk duduk bersama membicarakan terkait dengan negosiasi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Sehingga apabila di kemudian hari timbul sengketa, nasabah tidak bisa berbuat apa-apa.Belum lagi terkait dengan berbagai macam keluhan para nasabah yang kurang begitu pendapatkan respon dari pihak bank.Apabila keluhan nasabah kurang mendapatkan respon dan timbul sengketa, nasabah lebih cenderung menggunakan lembaga pengadilan dalam menyelesaikan sengketanya.Padahal penyelesaian sengketa di pengadilan cenderung membutuhkan waktu lama. Selain itu, putusan yang dijatuhkan seringkali mencerminkan tidak adanya unified legal work dan unified legal opinion antara Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Dalam proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lain, selain itu penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimum remidium) setelah alternatif penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan hasil.
Tinjauan Hukum Terhadap Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Istilah, Konsep, Ruang Lingkup Serta Implikasi Hukumnya) Muhammad Rutabuz Zaman
MIYAH : Jurnal Studi Islam Vol. 12 No. 1 (2016)
Publisher : Institut Keislaman Abdullah Faqih Gresik

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (234.189 KB) | DOI: 10.33754/miyah.v12i1.31

Abstract

Di berbagai negara yang industrinya maju, Tanggungjawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) atau  disingkat CSR, bukanlah merupakan suatu kewajiban hukum, melainkan suatu tindakan yang berdimensi etis dan moral sehingga pelaksanaanya bersifat sukarela (Voluntery). Di Indonesia, Tanggungjawab perusahaan dijadikan sebagai sebuah kewajiban hukum yang harus dipatuhi oleh perusahaan. Pasal 74 ayat (1) Undang Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang  Perseroan Terbatas menyatakan, “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Pasal yang mewajibkan Perusahaan melaksanakan Tanggungjawab Sosial Perusahaan ini, pernah dimohonkan hak uji materil terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi oleh para asosiasi pengusaha, dengan dasar bahwa Pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945[1], yaitu pada prinsipnya Tanggung jawab perusahaan bersifat sukarela (voluntery). Atas permohonan tersebut Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materiil dan menyatakan bahwa Pasal 74 UU PT tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) jo Pasal 28I ayat (2) jo Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Tanggungjawab Sosial Perusahaan sebagai Kewajiban hukum (legal mandatory) menjadi sebuah ambiguitas di saat tidak didukung dengan kejelasan istilah, konsep, ruang lingkup, mekanisme penerapan yang jelas dan lengkap serta keberadaan sanksi yang tegas yang bersifat imperatif.  Metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), pendekatan argumentasi hukum (legal reasoning) dan membandingkan berbagai peraturan perundang-undangan (comparative approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa, tidak adanya ketentuan jelas yang mengatur tentang istilah, konsep, ruang lingkup, mekanisme penerapan yang jelas dan lengkap serta keberadaan sanksi yang tegas yang bersifat imperatif. 
TINJAUAN HUKUM TERHADAP TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN (ISTILAH, KONSEP, RUANG LINGKUP SERTA IMPLIKASI HUKUMNYA) Muhammad Rutabuz Zaman
MIYAH : Jurnal Studi Islam Vol. 12 No. 2 (2016)
Publisher : Institut Keislaman Abdullah Faqih Gresik

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (175.742 KB) | DOI: 10.33754/miyah.v12i2.156

Abstract

Abstrak: Di berbagai negara yang industrinya maju, Tanggungjawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) atau  disingkat CSR, bukanlah merupakan suatu kewajiban hukum, melainkan suatu tindakan yang berdimensi etis dan moral sehingga pelaksanaanya bersifat sukarela (Voluntery). Di Indonesia, Tanggungjawab perusahaan dijadikan sebagai sebuah kewajiban hukum yang harus dipatuhi oleh perusahaan. Pasal 74 ayat (1) Undang Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang  Perseroan Terbatas menyatakan, “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Pasal yang mewajibkan Perusahaan melaksanakan Tanggungjawab Sosial Perusahaan ini, pernah dimohonkan hak uji materil terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi oleh para asosiasi pengusaha, dengan dasar bahwa Pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, yaitu pada prinsipnya Tanggung jawab perusahaan bersifat sukarela (voluntery). Atas permohonan tersebut Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materiil dan menyatakan bahwa Pasal 74 UU PT tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) jo Pasal 28I ayat (2) jo Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Tanggungjawab Sosial Perusahaan sebagai Kewajiban hukum (legal mandatory) menjadi sebuah ambiguitas di saat tidak didukung dengan kejelasan istilah, konsep, ruang lingkup, mekanisme penerapan yang jelas dan lengkap serta keberadaan sanksi yang tegas yang bersifat imperatif.  Metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), pendekatan argumentasi hukum (legal reasoning) dan membandingkan berbagai peraturan perundang-undangan (comparative approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa, tidak adanya ketentuan jelas yang mengatur tentang istilah, konsep, ruang lingkup, mekanisme penerapan yang jelas dan lengkap serta keberadaan sanksi yang tegas yang bersifat imperatif.Kata kunci: Tinjauan hukum, tanggung jawab sosial perusahaan, implikasi hukum
PELAKSANAAN PARATE EKSEKUSI TERHADAP OBYEK PEMBIAYAAN MURABAHAH BARANG BERGERAK (KENDARAAN BERMOTOR) PADA BANK SYARIAH. Muhammad Rutabuz Zaman
MIYAH : Jurnal Studi Islam Vol. 15 No. 2 (2019)
Publisher : Institut Keislaman Abdullah Faqih Gresik

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (224.301 KB) | DOI: 10.33754/miyah.v15i2.174

Abstract

Abstrak Bank Syariah dalam memberikan pembiayaan barang bergerak (kendaraan bermotor), melakukan perjanjian dengan nasabah debitur melalui akad pembiayaan murabahah. Agar Bank Syariah tidak mengalami kerugian atau permasalahan hukum dikemudian hari dalam mengambil langkah penyelesaian pembiayaan bermasalah/gagal bayar pada nasabah debitur, maka akad pembiayaan murabahah dengan obyek kendaraan bermotor tersebut, seyogyanya diikat dengan jaminan fidusia. Sehingga apabila di kemudian hari terjadi pembiayaan bermasalah/gagal bayar pada nasabah debitur, Bank Syariah dapat mengambil langkah pelaksanaan parate eksekusi terhadap obyek akad pembiayaan murabah yang diikat dengan jaminan fidusia. Selain itu, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di lapangan dalam melakukan parate eksekusi, agar Bank Syariah walaupun memiliki kelengkapan dokumen dokumen hukum dalam pelaksanaan parate eksekusi untuk tetap meminta bantuan pengamanan dari pihak aparat yang berwajib (kepolisian).Kata Kunci: Parate Eksekusi, Murabahah
EKSEKUSI SERTIFIKAT JAMINAN FIDUSIA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 18/PUU-XVII/2019 Muhammad Rutabuz Zaman
MIYAH : Jurnal Studi Islam Vol. 16 No. 1 (2020)
Publisher : Institut Keislaman Abdullah Faqih Gresik

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (370.807 KB) | DOI: 10.33754/miyah.v16i1.250

Abstract

Abstrak: This article aims to discuss the Fiduciary Guarantee after the Constitutional Court decision. So far, the meaning of the phrase "executorial power" and the phrase "the same as a court decision that has obtained permanent legal force", in article 15 paragraph (2) of Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantee, are interpreted differently and differ. First, it is interpreted as granting power / legitimacy to the fiduciary recipient (creditor) to directly execute the object of the fiduciary guarantee in the event that the fiduciary (debtor) has committed a breach of promise, so that the execution of the fiduciary guarantee certificate can be carried out immediately without going through a court. Second, the implementation of the execution of the fiduciary guarantee must still be carried out in accordance with the procedure and mechanism of execution as in the execution of court decisions that have permanent legal force (inkracht van gewidj). The Constitutional Court in its decision number 18 / PUU-XVII / 2019 states, Article 15 paragraph (2) UUJF, in particular the phrase "executorial power" and the phrase "the same as court decisions having permanent legal force" can only be said to be constitutional as long as it is interpreted that "to guarantee fiduciary, where there is no agreement on the occurrence of "default" (default) and the debtor objected to voluntarily hand over the object which is the fiduciary guarantee, then all legal mechanisms and procedures in the execution of the Fiduciary Guarantee Certificate must be carried out and apply the same as the execution of court decisions has permanent legal force.