AbstrakKorupsi menimbulkan dampak yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas untuk menegakkan keadilan dan mewujudkan masyarakat yang sejahtera sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan UUD 1945. Adanya uang pengganti sebagai hukuman tambahan dalam kasus korupsi diharapkan dapat memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi dan mengembalikan uang yang telah dikorupsi oleh para koruptor. Uang pengganti hanyalah hukuman tambahan, jadi tidak bisa berdiri sendiri melainkan mengikuti hukuman utama.Di Pengadilan Negeri Yogyakarta, terdapat putusan tindak pidana korupsi yang memuat pidana tambahan berupa uang pengganti dan ada pula yang tidak. Oleh karena itu, menurut penulis perlu untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara korupsi di pengadilan. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus.Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah uang pengganti dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa uang pengganti berjumlah sama dengan uang pengganti. nilai harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Sedangkan pada tahap persidangan, para Hakim memiliki interpretasi yang berbeda terhadap peraturan tersebut. Hakim memaknai bahwa hukuman uang kompensasi hanya diterapkan pada tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam pertimbangan Majelis Hakim, besarnya uang pengganti itu dihitung dari berapa banyak harta benda yang dikorupsi para koruptor. Alasan pertimbangan tersebut karena hakim berpendapat bahwa uang hasil korupsi tidak hanya dinikmati oleh para koruptor, tetapi juga dialihkan kepada orang lain atau pihak ketiga