Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Politik hukum: menakar kualitas reformasi regulasi dalam central oversight body Ahmad Heru Romadhon; Sadjijono Sadjijono
Ekspose: Jurnal Penelitian Hukum dan Pendidikan Vol 20, No 2 (2021)
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bone

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30863/ekspose.v20i2.1389

Abstract

Improving the quality of regulatory reform in legal politics, which has implications for the direction of the formation of laws and regulations, demands counter-cultural changes within the regulatory institution itself. External controls and oversight are essential but not sufficient to overcome bureaucratic resistance and the growing philosophy of command and control. A number of approaches have been used through training and dissemination of information, repetition of writing on job descriptions and evaluation criteria, and building reform units, to support the functions of regulatory agencies. This research method is normative juridical, which emphasizes the study of literacy, laws and regulations, books and other related information sources. Juridical analysis shows clearly that bureaucratic reform should be seen as a long-term investment in building effectiveness, not just a solution to actual problems. This understanding will reduce the tendency for dysfunctional products to form regulations, due to the intervention of certain organizational or political interests. The change in the perspective of the bureaucrats in viewing the possible regulations will not be achieved in several decades without seriousness in improving the bureaucracy itself.Perbaikan kualitas reformasi regulasi dalam politik hukum yang berimplikasi pada arah pembentukkan peraturan perundang-undangan menuntut adanya perubahan counter cultural di dalam badan institusi pengaturan itu sendiri. Kontrol eksternal dan oversight merupakan hal yang penting tetapi tidak cukup untuk mengatasi resistansi birokrasi dan berkembangnya filosofi command and control. Sejumlah pendekatan telah dipergunakan melalui training dan desiminasi informasi, pengulangan penulisan pada job description dan kriteria evaluasi, serta membangun unit reformasi, untuk mendukung fungsi badan pengaturan. Metode penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu menekankan pada studi literasi, peraturan perundang-undangan, buku dan sumber informasi lainya yang masih berkaitan. Analisis yuridis menunjukkan secara jelas bahwa reformasi birokrasi haruslah dipandang sebagai investasi jangka panjang dalam membangun efektifitas, bukan sekedar suatu solusi bagi masalah aktual. Pemahaman ini akan mengurangi kecenderungan disfungsional produk pembentukan peraturan, karena adanya intervensi kepentingan organisasi atau politik tertentu. Perubahan cara pandang para birokrat dalam memandang peraturan kemugkinan tidak akan tercapai dalam beberapa dekade tanpa keseriusan dalam memperbaiki tubuh birokrasi itu sendiri.
KEKUASAAN NEGARA MENURUT UUD 1945 (ANALISA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA) Sadjijono Sadjijono
Perspektif Vol 10, No 4 (2005): Edisi Oktober
Publisher : Institute for Research and Community Services (LPPM) of Wijaya Kusuma Surabaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1094.665 KB) | DOI: 10.30742/perspektif.v10i4.195

Abstract

The division of power in the government system is an effort in cheking and balancing the interaction between agencies in the governance activity, and preventing power to be held by only one hand. Amandement of The Indonesian Constitution 1945 by Indonesia government is a step to represent the democrazy an constitution of the state, according to the constitusional system. The Amandement consists same changes to the Indonesian constitution, related to the check and balance of power. Firstly it has one agency which level is decreased from the highest agency into a high level agency.Secondly, the amandement has several agencies to experience a reduction and a boost up of power; More ever, a new agency is being establishedi as an impact of the amandement. Due to the alteration in the constitution system, the Parliament, at present, has very limited authority. It only responsible for composing amandement of the Constitution 1945, installing the President and Vice President, and also addressing empeachement. Ironically, with so few duties, its existence still absorb a big budget.
KEPUTUSAN FIKTIF POSITIF SEBAGAI BENTUK REFORMASI BIROKRASI BERDASARKAN PRINSIP GOOD GOVERNANCE / FICTIVE POSITIVE DECISION AS A FORM OF BUREAUCRATIC REFORM BASED ON THE GOOD GOVERNANCE PRINCIPLES BAGUS TEGUH SANTOSO; NFN SADJIJONO
Jurnal Hukum Peratun Vol 1 No 1 (2018)
Publisher : Puslitbang Hukum dan Peradilan bekerja sama dengan Ditjen Badimiltun

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25216/peratun.112018.%p

Abstract

Hadirnya perubahan paradigma dan konsep terkait keputusan tata usaha negara dari yang semula fiktif negatif sesuai ketentuan Pasal 3 UU PTUN, menjadi keputusan fiktif positif sebagaimana diatur dalam Pasal 53 UU AP mencerminkan adanya spirit peningkatan kualitas pelayanan publik sebagai bagian dari reformasi birokrasi bagi aparatur pemerintahan dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Pada perkembangannya, PTUN tidak hanya menguji terhadap sengketa kepegawaian, namun juga berperan aktif memberikan perlindungan terhadap rakyat apabila terdapat tindakan dan/atau keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah dinilai merugikan kepentingan konstitusional (cacat yuridis dan/atau maladministrasi). Melalui semangat perubahan dalam pasal 53 UU AP jo Perma No 8 Tahun 2017 tentang konsep Keputusan Fiktif Positif, menjadikan pemerintah bersikap responsif dan komunikatif ketika melakukan pelayanan publik. Artinya apabila 10 hari kerja atau batas waktu tertentu sesuai amanat perundang-undangan permohonan yang diajukan oleh warga masyarakat/subjek hukum telah diterima dan berkas lengkap oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan, namun badan dan/atau pejabat pemerintahan tidak menetapkan dan/atau memberikan keputusan dan/atau tindakan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum. Dengan demikian, diam/lambatnya pemerintah dalam melakukan pelayanan publik, berdasarkan UU AP menjadikan tindakan tersebut sebagai objek sengketa pemerintahan yang dapat dipersoalkan melalui PTUN agar badan dan/atau pejabat pemerintahan melaksanakan dan/atau memberikan permohonan yang dimohonkan tersebutThe emerge of the fictive positive decision as mention in Act No 30/2014 as previously known as the negative decision in article 3 Administrative Court Act (Act No 5/1986 jo 9/2004 jo 51/2009) reflecting the spirit of bureaucratic reform in the frame of public service (bestuurzorg). In the spirit of changes, nowadays in the article 53 Government Administration Act jo Supreme Court Regulation No 8/ 2017 about fictive positive decision concept, enhance the public officer/government to be transparent and communicative (perceptive) in order to the public service. It means, if 10 work day or the due date was selected in law provision about proposal which has been sent by applicant and the document has accepted fully by public officer or government and the public officer or government not immediately answer the proposal, so the proposal automatically will be accepted legally. Thus, the stagnant (silent) of the public officer or the government in order to public service duty, referring to Administrative Government Act make it becomes part of the government dispute and incompetence in assessing by the administrative court, so that the final decree from the administrative court can be forcing to the public officer or government to do the command and take the executive action or the executive decision to issued the proposal which has applied before for the applicant interest.
PENERAPAN SANKSI PIDANA ATAS PELANGGARAN PENGUPAHAN KETENAGAKERJAAN Dwi Hariyanti; Sadjijono
Dekrit (Jurnal Magister Ilmu Hukum) Vol 12 No 1 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (251.507 KB)

Abstract

Tenaga kerja dalam hubungan industrial berada pada posisi yang lemah dibandingkan posisi pengusaha. Pemerintah berperan penting untuk melindungi kepentingan tenaga kerja. Bentuk perlindungan pemerintah adalah dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diatur mengenai perbuatan tindak pidana ketenagakerjaan beserta sanksinya bagi yang melanggar. Tidak pidana ketenagkerjaan yang sering dilakukan adalah pelanggaran atas pengupahan. Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan ketentuan tidak pidana atas pelanggaran pengupahan diatur dalam Pasal 85 ayat (3), Pasal 90 ayat (1) dan Pasal 93 ayat (2), sedangkan ketentuan sanksinya diatur dalam Pasal 185 ayat (1), Pasal 186 ayat (1) dan Pasal 187 ayat (1). Penelitian bertujuan untuk mengetahui dan menganalisa sejauh mana penerapan sanksi pidana dalam tindak pidana ketenagakerjaan atas pelanggaran pengupahan, mengetahui dan menganalisa bagaimana penerapan sanksi pidana dalam tindak pidana ketenagakerjaan atas pelanggaran pengupahan dan mengetahui Lembaga mana yang berwenang dalam menerapkan sanksi tindak pidana ketenagkerjaan atas pelanggaran pengupahan. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dan menggunakan pendekatan hukum normatif yaitu melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, khususnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terutama Pasal 85 ayat (3), Pasal 90 ayat (1), Pasal 93 ayat (2), Pasal 185 ayat (1), Pasal 186 ayat (1) dan Pasal 187 ayat (1) dan peraturan perudangan lainnya yang ada kaitannya. Hasil penelitian ini adalah bahwa penerapan sanksi pidana dalam tindak pidana ketenagakerjaan atas pelanggaran pengupahan masih sangat lemah.
KONSEP HUKUM PASAL 27 AYAT (3) UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Effendi Kusuma; Sadjijono
Dekrit (Jurnal Magister Ilmu Hukum) Vol 13 No 1 (2023)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56943/dekrit.v13n1.157

Abstract

Kemajuan teknologi informasi telah memberi dampak positif, sekaligusdampak negatif yang membuka ruang sarana efektif perbuatan melawan hukum yangmemunculkan hukum baru, yaitu kejahatan siber (cyber crime). Dengan munculnyaberagam tindak pidana baru di dunia maya, maka dibentuklah Undang-UndangNomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimanadiubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE).Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep hukum Pasal 27 ayat (3)UU ITE terkait penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, benarkah pasal tersebutmenabrak UU HAM atas kebebasan menyampaikan pendapat. Penelitian inimenggunakan metode penelitian hukum normative dengan menggunakan pendekatanperundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach) danpendekatan konseptual (conceptual approach).Hasil Penelitian menunjukkan bahwa norma dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE,sebagaimana Putusan MK Nomor 50/PUU-VI/2008 Jo. Nomor 2/PUU-VII/2009menjelaskan bahwa keberlakuan dan tafsir dari pasal tersebut tetap mengacu kepadaPasal 310 dan 311 KUHP sebagai Genus Delik. Dan pasal tersebut tidak bertentangandengan UU HAM sebagaimana anggapan banyak orang. Untuk itu, setiap orangdalam penyampaian pendapat hendaknya tetap mengindahkan norma atau kaidahhukum yang ada supaya tidak sampai berujung pidana dan tetap terciptakeharmonisan dan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa danbernegara.