Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Strategi Adaptasi Orang Laut Masa Pandemi Covid-19 di Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau Dedi Arman; Anastasia Wiwik Swastiwi
Warisan: Journal of History and Cultural Heritage Vol 4, No 1 (2023)
Publisher : Mahesa Research Center

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34007/warisan.v4i1.1817

Abstract

This paper examines the adaptation strategies used by Orang Laut in Lingga Regency, Riau Archipelago Province during the Covid 19 pandemic. The research uses historical research methods. From research, it is known, data from the the Kajang Lingga Foundation, that at the peak of the 2020-2021 pandemic, no Orang Laut were found to have contracted Covid 19. Orang Laut had adaptation strategies during the Covid 19 pandemic. Social restrictions were very effective because the Orang Laut villages were separated from the community. other. The sea people do not understand the disease outbreak that is happening but what they do know is that they are not allowed to leave their village. The nature that is still maintained and the diversity of food, make marine people more prepared to face a pandemic in the long term. Staple foods in the form of sago and fish help them remain independent during the pandemic. In medicine, the Orang Laut rely on traditional medicine to cure certain diseases. Medicines come from plants and animals which during treatment are usually accompanied by a spell by a bomoh (dukun). The ability to recognize plant and animal species, as well as the spells used, is passed down from generation to generation through oral speech from parents
Sejarah Penuba sebagai Ibukota Onderafdeling Lingga Tahun 1908-1939 Dedi Arman
Jurnal Ceteris Paribus Vol 2 No 2 (2023)
Publisher : Faculty of Humanities, Andalas University, Padang, West Sumatra in cooperation with Kato Institute.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jcp.v2i2.17

Abstract

Tulisan ini mengkaji Sejarah Penuba sebagai Ibukota Onderafdeling Lingga tahun 1908-1939. Kajian menggunakan metode penelitian sejarah yang dalam pengumpulan data melalui studi kepustakaan. Dari penelitian diketahui Penuba yang awalnya sebuah kampung yang sepi tahun 1904 dijadikan pusat sementara Onderafdeling Lingga dan secara resmi jadi ibukota Onderafdeling Lingga mulai 19 Juli 1908. Perpindahan ibukota Onderafdeling Lingga yang semula di Tanjungbuton (Lingga) ke Penuba tidak terlepas kondisi daerah Lingga yang semakin sepi. Tahun 1900, pusat Kesultanan Riau Lingga pindah dari Daik Lingga ke Pulau Penyengat di Tanjungpinang. Usai ditunjuk jadi ibukota, pemerintah kolonial Belanda membangun banyak fasilitas di Penuba, seperti gedung perkantoran, rumah candu, perbaikan pelabuhan, rumah peristirahatan dan juga sekolah. Penduduk Penuba makin ramai dan jadi multi etnik, diantaranya Melayu, Bugis, Tionghoa, dan Orang Laut. Kejayaan Penuba tidak berlangsung lama. Ibukota Onderafdeling Lingga tahun 1939 dipindahkan dari Penuba ke Dabo Singkep. Alasan perpindahan adalah Dabo Singkep cocok jadi ibukota karena daerahnya makin maju karena adanya penambangan timah oleh Singkep Tin Exploitatie (SITEM). Bangunan perkantoran dan perumahan bisa dipakai tanpa dipungut biaya. Sementara, bangunan perkantoran di Penuba dinilai juga sudah banyak yang rusak dan daerahnya juga rawan penyakit malaria. Tidak ada dokter yang bertugas di Penuba.
Sejarah Perdagangan Babi dari Pulau Bulan Batam ke Singapura, 1987-2023 Dedi Arman
Warisan: Journal of History and Cultural Heritage Vol 4, No 3 (2023)
Publisher : Mahesa Research Center

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34007/warisan.v4i3.1977

Abstract

This research delves into the pig trade history from Pulau Bulan, Batam, to Singapore spanning 1987 to 2023. In response to the 1984 policy eliminating domestic livestock farming, Singapore became reliant on imported meat. Employing a historical research method and drawing on literature reviews, the study identifies PT Indo Tirta Suaka's Pulau Bulan pig farm as Southeast Asia's largest and Singapore's primary live pig importer, initiating exports in 1987. Disruptions occurred, such as Singapore's cessation of pig supplies from Malaysia during Foot and Mouth Disease (FMD) outbreaks in Sarawak (1999-2017) and the Covid-19 pandemic. However, a significant setback unfolded with the detection of African Swine Fever (ASF) on April 19, 2023. Subsequent tests confirmed ASF in Pulau Bulan pig samples, prompting Singapore to officially halt pig supplies. This resulted in a substantial monthly and yearly loss of approximately IDR 3.5 billion and IDR 1.1 trillion, respectively, in pig exports from Pulau Bulan to Singapore.
SITUS-SITUS MAHKAMAH DAN LEMBAGA PERADILAN KERAJAAN RIAU-LINGGA PADA ABAD KE-19-20 MASEHI Anastasia Wiwik Swastiwi; Dedi Arman
Naditira Widya Vol. 18 No. 1 (2024): Naditira Widya Volume 18 Nomor 1 April Tahun 2024
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kepulauan Riau memiliki tinggalan budaya berupa situs-situs dan artefak-artefak yang berkaitan dengan keberadaan lembaga mahkamah dan lembaga peradilan masa Kerajaan Riau-Lingga. Penelitian ini memakai metode penelitian sejarah yang tahapannya adalah heuristic, kritik, interpretasi, dan penulisan sejarah (historiografi). Metode taksonomi digunakan pula dalam mendeskripsikan situs, bangunan dan artefak. Sumber primer yang digunakan antara lain Undang-Undang Melaka, Undang-Undang Polisi Kerajaan Riau-Lingga 1893, serta Kitab Tsamarat al Muhimmah, Pedoman Pemerintahan dan Hukum Kerajaan Riau-Lingga karya Raja Ali Haji. Subyek penelitian lainnya berupa situs mahkamah di Daik Lingga, situs kantor mahkamah besar di Pulau Penyengat, gedung hakim di Pulau Penyengat, rumah Hakim Raja Haji Abdullah, dan makam Raja Haji Abdullah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kantor mahkamah besar Kerajaan Riau-Lingga awalnya berada di Daik Lingga kemudian pindah ke Pulau Penyengat. Situs kantor mahkamah juga ada di Midai yang wilayahnya meliputi gugusan Kepulauan Natuna. Fungsi mahkamah pada zaman Kerajaan Riau Lingga tidak hanya mengadili perkara terkait hukum pidana dan perdata saja, namun lembaga tersebut juga yang mengeluarkan surat-surat keputusan Kerajaan Riau-Lingga. Mahkamah juga menerbitkan perizinan di bidang pertanahan, membuka kebun dan perizinan lainnya. Setelah Kerajaan Riau-Lingga dibubarkan secara politis pada tahun 1913, Belanda mendirikan landraad atau kantor pengadilan negeri. Gedung Landraad sampai saat ini masih berfungsi sebagai Kantor Pengadilan Tinggi Agama Kepulauan Riau. Pada masa pendudukan Jepang selama 1942-1945, lembaga pengadilan yang dibangun Belanda dibubarkan. Jepang mendirikan lembaga peradilan sendiri bernama Mahkamah Islam Besar Bintan To yang membawahi Kepulauan Riau. Pada masa Jepang, segala aspek sistem peradilan masa Belanda dihapuskan, termasuk penamaan kelembagaan peradilan. This research focuses on sites and artefacts related to courts and judicial institutions during the sovereignty of the Riau-Lingga Kingdom in the Riau Islands. Therefore, this study uses historical methods consisting of heuristics, criticism, interpretation, and historical writing (historiography). Taxonomic methods are also used to describe sites, buildings, and artifacts. Research results show during the Riau Lingga Kingdom sovereignty, the court acted to adjudicate cases relating to criminal and civil law and issued the kingdom's decrees. The court also issues permits concerning land, plantation establishment, and other concessions. After the Riau-Lingga Kingdom was politically dissolved in 1913, the Dutch established a landraad office or district court. During the Japanese occupation in 1942-1945, the judicial institutions built by the Dutch were dissolved. The Japanese government established its judicial institution called the Bintan To Islamic High Court which oversees the Riau Islands.