Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Pembangunan Sistem Pelayanan Publik melalui Penyederhanaan In-strumen Perizinan: Kajian Pasca Pengesahan Perppu Cipta Kerja sebagai Undang-Undang Fathul Hamdani; Ana Fauzia; Deny Noer Wahid
National Multidisciplinary Sciences Vol. 2 No. 4 (2023): Proceeding MILENIUM 1
Publisher : Universitas Muhammadiyah Jember

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32528/nms.v2i4.317

Abstract

Pelayanan publik merupakan ujung tombak bagi pemerintah dalam melaksanakan kekuasaannya, pun juga pelayanan publik merupakan suatu cerminan terhadap baik atau buruknya pemerintahan. Penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari ketentuan-ketentuan hukum administrasi pemerintahan, salah satunya mengenai perizinan. Dalam upaya pem-bangunan terhadap sistem pelayanan publik, instrumen hukum perizinan ini merupakan salah satu aspek yang dibenahi oleh pemerintah melalui UU Cipta Kerja, yakni dengan melakukan penyederhanaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perubahan instrumen hukum perizinan dalam UU Cipta Kerja, dan mengkaji bagaimana instrumen hukum perizinan dapat berperan dalam pembangunan sistem pelayanan publik. Penelitian ini didasarkan pada metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan kasus. Hasil penelitian mengetengahkan bahwa arti penting sistem pelayanan publik melalui instrumen hukum perizinan nampaknya mulai dibangun oleh pemerintah seiring dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Sebab salah satu semangat lahirnya UU Cipta Kerja adalah dalam rangka memberikan kemudahan perizinan, yakni harmonisasi terhadap regulasi yang tumpang tindih dan memangkas prosedur perizinan yang rumit. Dalam konsep negara kesejahteraan, salah satu fungsi negara adalah sebagai social services state atau an agency of services (negara sebagai alat pelayanan). Artinya bahwa fungsi negara kesejahteraan tersebut harus dibangun melalui suatu sistem yang dapat mencerminkan nilai-nilai kebermanfaatan. Berdasarkan hal tersebutlah maka reformasi terhadap segala kebijakan mengenai pe-layanan publik merupakan suatu keniscayaan untuk dilakukan, salah satunya adalah mengenai instrumen hukum perizinan.
Corruption and female regional heads in Indonesia according to feminist legal theory Fadila Nur Annisa; Rosa Ristawati; Ana Fauzia
Integritas: Jurnal Antikorupsi Vol. 10 No. 2 (2024): INTEGRITAS: Jurnal Antikorupsi
Publisher : Komisi Pemberantasan Korupsi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32697/integritas.v10i2.1350

Abstract

Corruption cases by regional heads nowadays do not only affect men but also women. This is evidenced by several cases that occurred in female regional heads. Normatively, regulations related to women's rights have been well accommodated, especially regarding their rights to run for regional heads. Therefore, the concept of feminism that is applied is no longer related to the struggle for women's rights, but to ensure the quality of women's leadership in accordance with the goals of feminism. The concept of the study carried out was raised by basing it on the concepts of lberal based, anti-essential model, and post-modern liberalism. These three concepts are studied based on the varieties of motives and accessibility of women's potential to commit corruption when they become regional heads. After that, this article discusses at a practical level the leadership of women in the regions involved in corruption. By basing on court decisions dealing with corruption of regional heads by women, this article analyzes the factors of accessibility, impulsive buying, women's powerlessness, and gender bias in sentencing. The results of this study show that in some cases, there are factors that indeed female regional heads commit corruption based on personal motives, but there are also those based on the context of powerlessness to regulatory factors that make women feel they are given “special” rights in the judicial process.