Provinsi DKI Jakarta menghadapi tantangan kemacetan lalu lintas yang serius sebagai akibat dari pertumbuhan populasi dan urbanisasi yang cepat. Upaya pemerintah dalam mengatasi masalah ini melalui sistem three in one dan sistem ganjil-genap belum memberikan hasil yang signifikan. Oleh karena itu, pemerintah mengusulkan penerapan sistem Jalan Berbayar atau Electronic Road Pricing (ERP) sebagai solusi. Namun, kebijakan ini menghadapi sejumlah permasalahan, termasuk dampaknya terhadap pengguna kendaraan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan wawancara sebagai pelengkap. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan Jalan Berbayar di Jakarta memiliki dampak yang signifikan terhadap pengguna kendaraan, terutama bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah yang bergantung pada kendaraan pribadi. Sistem ini juga dianggap tidak memadai dalam memenuhi aksesibilitas dan keterjangkauan angkutan umum, yang membuat sebagian besar penduduk Jakarta tetap bergantung pada kendaraan pribadi. Selain itu, pemerintah DKI Jakarta dinilai melanggar beberapa peraturan, seperti UU No. 2 Tahun 2022 tentang Jalan dan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Penerapan jalan berbayar juga dianggap kurang memperhatikan partisipasi masyarakat dalam penyusunan peraturan daerah terkait. Dalam konteks ini, penelitian ini menggarisbawahi pentingnya peningkatan angkutan umum yang terintegrasi dan penyesuaian kebijakan jalan berbayar agar lebih memperhitungkan kebutuhan dan kemampuan masyarakat. Selain itu, perlu ada upaya yang lebih besar dalam melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan terkait kebijakan transportasi.