Oscha Davan Kharisma
Universitas Sunan Giri Surabaya

Published : 1 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 1 Documents
Search

Implementasi Pembuktian Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Adi Herisasono; Anggraini Rosiana Efendi; Oscha Davan Kharisma
Jurnal Preferensi Hukum Vol. 4 No. 3 (2023): Jurnal Preferensi Hukum
Publisher : Warmadewa Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55637/jph.4.3.7760.292-298

Abstract

Sexual violence as a form of crime is often difficult to prove in the criminal justice system. Terlebih lagi, kekerasan seksual seringkali dilakukan secara tertutup dan hanya diketahui oleh korban dan pelaku. Hal ini mempersulit proses penyelidikan dan pengumpulan bukti oleh pihak kepolisian dan jaksa penuntut. Implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), diharapkan pembuktian tindak pidana kekerasan seksual dapat dilakukan dengan lebih mudah dan transparan. Penelitian ini menganalisis Implementasi pembuktian tindak pidana kekerasan seksual dalam perspektif Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022. Melalui penelitian normatif, diketahui bahwa pada UU TPKS memperluas alat bukti yang sudah diatur pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, sehingga lebih menyesuaikan dengan dinamika perkembangan zaman untuk meminimalisir multitafsir oleh para penegak hukum. Dengan diakuinya informasi, dokumen, dan perekaman elektronik, serta keterangan saksi testimonium de auditu yang terkait dengan tindak pidana tersebut, perkara tersebut dapat dilakukan proses hukum. Dalam konteks pembuktian tindak pidana kekerasan seksual, faktor-faktor pendukung dan penghambat menjadi hal yang penting untuk dipertimbangkan. Faktor-faktor pendukung mencakup kemungkinan pembuktian tanpa bukti fisik, perlindungan yang lebih jelas bagi korban, peran saksi ahli yang ditingkatkan, serta dukungan sosial dan budaya. Sementara itu, faktor-faktor penghambat meliputi perbedaan penafsiran tindak pidana kekerasan seksual, masih kurangnya struktur unit penegak hukum yang memadai, dan adanya kultur atau budaya hukum yang cenderung mendiskreditkan korban.