Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

Fungsi Tari Babangsai Dalam Upacara Aruh Ganal Di Desa Loksado Hulu Sungai Selatan Kalimantan Selatan Rahmani Rahmani; I Wayan Dana
Joged Vol 7, No 2 (2016): NOPEMBER 2016
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (410.374 KB) | DOI: 10.24821/joged.v7i2.1602

Abstract

Tari Babangsai disajikan sebagai ungkapan rasa syukur dan rasa gembira atas berhasilnya panen padi. Tarian ini tersaji menjadi bagian tak terpisahkan dari pelaksanaan upcara Aruh Ganal. Kegembiraan masyarakat penyangga ini tampak terlihat dengan hadirnya masyarakat Loksado sebagai pelaku maupun penyelenggara upacara Aruh Ganal.            Penyelengaraan upacara Aruh Ganal diadalan setahun sekali, sesuai dengan ketentuan masyarakat adat Loksado Hulu Sungai di Kalimantan Selatan. Kehadiran tari Babangsari dalam upacara Aruh Ganal berfungsi sebagai sarana upcara di satu sisi, dan di sisi yang lain juga untuk hiburan bagi masyarakat pelaku upacara sehingga dapat melaksanakan upacara secara berurutan selama tujuh hari tujuh malam. The Babangsaidance is performed as an expression of thankfulness and happiness due to the successful rice harvest. This dance is an inseparable part of the AruhGanalceremony. The joyfulness of the supporting community can be seen from the presence of the members of Loksado society as both the performers and organizers of the ceremony.            The AruhGanalceremony is carried out once a year, that is in accordance with the rule of the society of  the village of river upstream Loksado, south Borneo. The existence of the Babangsaidance in the AruhGanalritual ceremony functions as a means of ceremony on one hand, and as an entertainment for the society carrying out the ritual ceremony on the other. Consequently, the ceremony may take place continually for seven days and seven nights.
Paruman Tapakan Barong dalam Ritual Tapak Pertiwi I Wayan Dana
Resital: Jurnal Seni Pertunjukan (Journal of Performing Arts) Vol 11, No 2 (2010): Desember 2010
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/resital.v11i2.510

Abstract

Paruman Tapakan Barong on Tapak Pertiwi Ritual. Ritual tapak pertiwi siklus pelaksanaan ritual tahunandalam perhitungan kalender Bali, diselenggarakan terpusat dalam Paruman Tapakan Barong di Pura Natar SariApuan. Pelaksanaan ritual ini dihadiri oleh berbagai bentuk tapakan barong yang datang dari berbagai daerah sewilayah Bali Tengah yang memperoleh kekuatan pasupati di Pura Natar Sari Apuan. Aktivitas ritual ini bermaknamenyatunya kekuatan dewa sebagai simbol (purusa) dengan dewi pertiwi simbol (pradana). Pertemuan keduaunsur kekuatan suci itu melahirkan gerak kehidupan, menyucikan alam semesta dari segala pengaruh negatif yangmengancam hidup dan kehidupan umat manusia di alam semesta ini. Oleh karena itu, masyarakat Hindu di Balimenghadirkan berbagai bentuk ritual keagamaan untuk menghormati menyatunya energi alam positif dan negatifdalam beragam wujud, termasuk ritual tapak pertiwi.
Art Conservation for the Classical Masks at Sonobudoyo Museum, Yogyakarta I Wayan Dana
Journal of Urban Society's Arts Vol 8, No 1 (2021): April 2021
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/jousa.v8i1.4629

Abstract

Sonobudoyo Museum Yogyakarta is the complete museum after the National Museum in Jakarta. There are many art collections in the museum, including bronze statues, gold statues, various ceramics, leather puppets, batik, bamboo works of art, furniture, and various Indonesian mask characters. The masks are treated and displayed in a particular place so that they can last hundreds of years and be seen until now. The research was aimed at how art conservation was carried out for these masks and at a particular strategy in maintaining, protecting, and caring for them. Therefore, it is interesting to study and understand the art of conservation for classical masks at the Sonobudoyo Museum, Yogyakarta. The research results showed that the knowledge of caring for, maintaining, protecting the masks as objects of art collections and cultural products with aesthetic, artistic, and historical values can still be known by the public and the generations. Moreover, the art conservation is also essential to know, not only by conservators but also by the broader community, to preserve and develop classical masks in the archipelago.
TATANAN NILAI SOSIAL BUDAYA DAN MODRENISASI MASYARAKAT HINDU BALI DI DESA TAMBAN LUAR KECAMATAN BATAGUH KABUPATEN KAPUAS I Wayan Dana
Belom Bahadat Vol 8 No 1 (2018): Belom Bahadat : Jurnal Hukum Agama Hindu
Publisher : Institut Agama Hindu Negeri Tampung Penyang Palangka Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33363/bb.v8i1.221

Abstract

Modernisasi berdampak terhadap perbuahan sosial budaya suatu masyarakat . Dampak modernisasi terhadap perubahan sosial budaya masyarakat dapat berupa meningkatnya produktivitas masyarakat dalam berbagai bidang.Modernisasi terjadi dominan pada bidang teknologi yang mampu meningkatkan hasil suatu produk secara kuantitatif. Namun secara kualitatif peningkatan teknologi ini juga berdampak pada ketergantungan Indonesia terhadap perusahaan asing dalam pengadaan teknologi tersebut. Sebagian besar masyarakat Indonesia adalah petani yang masih belum siap menghadapi modernisasi yang terjadi, sehingga kemampuan sumber daya petani perlu untuk ditingkatkan. Selain itu, peningkatan teknologi pertanian yang terjadi belum sama besar dengan penigkatan sumber daya petani. Modernisasi yang terjadi pun sulit untuk dibendung dan memang harus terjadi. Oleh sebab itu, untuk membangun pertanian pemerintah Indonesia perlu lebih terfokus pada pengembangan sumber daya masyarakat dalam hal pemahaman perkembangan teknologi tersebut.. Metode yang digunakan dalam pembuatan makalah ini adalah metode kuantitatif. Makalah ini dibuat dengan menggunakan data primer dan sekunder yang merupakan data yang diperoleh dari narasumber langsung di lapangan dan dokumen tertulis baik yang berupa tulisan ilmiah maupun buku
PEMANFAATAN SAINS DAN TEKNOLOGI SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN SUMBER DAYA UMAT HINDU I Wayan Dana
Belom Bahadat Vol 7 No 1 (2017): Belom Bahadat : Jurnal Hukum Agama Hindu
Publisher : Institut Agama Hindu Negeri Tampung Penyang Palangka Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33363/bb.v7i1.288

Abstract

Perkembangan sains dan teknologi dewasa ini telah menuju pada suatu pendekatan akanperanan sains dalam menjelaskan fenomena spiritual. Toudam Damodara Singh Ph.D, seorangsaintis dan juga rohaniawan menyatakan dalam bukunya berjudul The Scientific Basic of KrishnaConsciousneess, menyebutkan bahwa ,”Hendaknya sains dijadikan sarana untuk menjelaskankeberadaan Tuhan (Krisna) dan bukannya menjadi semakin jauh dengan prinsip kesadaranmutlak”. (T.D. Singh. 2006). Kenyataannya, dalam beberapa bidang pengetahuan, ilmupengetahuan modern telah menemukan fakta-fakta yang sebelumnya sudah ada dalam literaturVeda ribuan tahun yang lalu.
Pengelolaan Pementasan Wayang Kulit Ki Eko Kondho Prisdianto di Tulung Agung Jawa Timur Fatoni Purwitoaji; I Wayan Dana
Dance and Theatre Review: Jurnal Tari, Teater, dan Wayang Vol 5, No 1: May 2022
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (909.464 KB) | DOI: 10.24821/dtr.v5i1.7660

Abstract

 Wayang kulit merupakan salah satu bentuk tradisi atau kebudayaan lisan yang cukup memiliki tempat di hati masyarakat Jawa. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang. Ki Eko Kondho Prisdianto merupakan dalang asli dari Jawa Timur lebih tepatnya dari Kabupaten Tulungagung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif, dengan menggunakan teori manajemen yang terdiri dari fungsi manajemen, prinsip-prinsip manajemen. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan tiga tahapan yaitu, wawancara, observasi, dan pemanfaatan dokumen yang ada. Penelitian ini mendeskripsikan bagaimana praktik manajemen dalam pementasan wayang kulit dengan landasan teori manajemen. Pada hasil penelitian ini disimpulkan bahwa Ki Eko Kondho Prisdianto telah menerapkan beberapa praktik manajemen sederhana, seperti fungsi manajemen, prinsip manajemen, yang dilaksanakan dengan baik. Beberapa temuan kasus di lapangan memang belum sesuai dengan teori manajemen. Hal ini didasari dengan latar belakang Ki Eko Kondho Prisdianto yang bukan seorang akademisi melainkan belajar secara tradisional.Kata kunci: Pementasan Wayang Kulit, Ki Eko Kondho Prisdianto, Tulungagung, Manajemen.AbstractWayang kulit is a form of tradition or oral culture that has quite a place in the hearts of Javenese people in particular and is played by a puppeteer. Ki Eko Kondho Prisdianto, an original puppeteer from East Java, more precisely Tulungagung regency, has a fairly high popularity in the community, especially in East Java. The method used in this research is descriptive qualitative using management theory which consists of management functions. Management principles, and management fields. Data collection techniques were carried out by three methods, namely, interviews, observation, and the use of existing documents. This study describes how management practices in wayang kulit performances are based on management theory. The results of this study show that Ki Eko Kondho Prisdianto had implemented several existing management functions, management principles, and areas almost perfectly. Nevertheless, some of the cases in the field ar not in accordance with existing management theory. This is due to the fact that his educational background which is not necessarily academic as he got his expertise by learning traditionally.Keywords: Wayang Kulit Performances, Ki Eko Kondho Prisdianto, Tulungagung, Management  
Pengembangan Mamaca di Pamekasan Madura sebagai Penguatan Harmoni Kehidupan Sosial Supadma Supadma; I Wayan Dana
Dance and Theatre Review: Jurnal Tari, Teater, dan Wayang Vol 4, No 2: November 2021
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2281.999 KB) | DOI: 10.24821/dtr.v4i2.6454

Abstract

The Development of Mamaca in Pamekasan Madura as Strengthening Harmony of Social Life. This study aims to develop one of the traditional performing arts, namely Mamaca in Pamekasan Regency, Madura Island, which is abandoned, especially by the local younger generation. Mamaca, which emphasizes the nobility of values and norms in its form and implementation, is capable of strengthening the nation’s character and the harmony of social life. Thus, this research is an effort to reconstruct local cultural and community values. Seeing its essential role, this research on Mamaca will be carried out in three years. Mamaca presents the values of local wisdom and uses the hermeneutic approach. The reinforcement is designed in the form of new Mamaca choreography according to the spirit of the times. It also reflects the will of the supporting community but still does not leave its primary source. The design of the form of presentation is based on an emic and ethical point of view, namely using a choreographic approach by involving the ideas of local artists or actors. The “new” Mamaca choreography was introduced to students of several elementary schools, as well as to existing performing arts groups. By introducing and teaching it to young children, it is hoped that the stronger and longer roots will be planted for growth. Its introduction and application are followed up by contesting it to motivate others in arts and to promote it to a broader audience, Mamaca can be developed outside its original area, but with similar traditional performing arts. Based on this plan, further development of choreography is also designed to be taught to children and adapted to their distribution area.Keywords: mamaca; Pamekasan Madura; local wisdom; national character;social harmony
Legong Dan Kebyar Strategi Kreatif Penciptaan Tari Ni Nyoman Sudewi; I Wayan Dana; I Nyoman Cau Arsana
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 34 No 3 (2019): September
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31091/mudra.v34i3.784

Abstract

Artikel ini bertujuan untuk memaparkan sebuah strategi penciptaan tari yang menempatkan dua genre tari Bali yaitu Legong dan Kebyar sebagai sumber inspirasi. Legong, sering disebut Legong Keraton, adalah genre tari yang muncul sekitar abad XIX. Genre tari ini mengusung konsep estetika bentuk dan struktur yang secara keseluruhan disebut seni palegongan. Sementara Kebyar yang muncul pada awal abad XX, menunjuk pada pembaruan garap tabuh atau karawitan Bali yang membawa suasana baru dalam kehidupan seni pertunjukan Bali dalam konteks kreativitas seni demi kenikmatan estetis maupun untuk mendukung berbagai kepentingan sosial keagamaan. Dilihat dari struktur dan ragam geraknya, struktur dan ragam gerak Kebyar menunjukkan adanya kemiripan dengan Legong. Kedua genre tari tersebut dalam perkembangannya masing-masing menemukan kekhususannya, dan berpeluang untuk dipertemukan, serta dijadikan sumber inspirasi penciptaan tari. Dalam memanfaatkan keduanya sebagai sumber garap tari, tentu memerlukan suatu metode dalam pengertian tahapan proses kreatif tertentu. Metode yang dicoba untuk diterapkan adalah memadukan tiga metode penciptaan yaitu: pertama, konsep angripta sasolahan meliputi ngarencana, nuasen, makalin, nelesin, dan ngebah; kedua, menerapkan teori 3 N yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara meliputi nitheni, niroke, dan nambahi; serta ketiga, menerapkan metode dan tahapan proses eksplorasi, improvisasi, dan komposisi serta evaluasi. Penerapan ketiganya secara simultan dalam tahapan proses penciptaan tari diyakini akan dapat mengarahkan setiap langkah kreatif untuk mencapai sasarannya. Di sisi lain, pemanfaatan tari tradisonal sebagai sumber penciptaan tari, akan berdampak pada revitalisasi, penguatan dan pengembangan nilai-nilai budaya lokal (Bali) yang biasanya menjadi acuan dalam berkesenian sekaligus hidup bermasyarakat.
Bondres Clekontong Mas sebagai Media Pendidikan Etis dan Estetis di Masyarakat I Wayan Dana; Ni Wayan Rizka Arisanti; I Made Agus Tresna Tanaya
PANGGUNG Vol 33, No 1 (2023): Nilai-Nilai Seni Indonesia: Rekonstruksi, Implementasi, dan Inovasi
Publisher : LP2M ISBI Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26742/panggung.v33i1.2472

Abstract

Bondres digunakan sebagai sebutan tokoh-tokoh rakyat jelata, yang karakternya mempresentsikan masyarakat pada umumnya. Tokoh ini hadir sebagai simbol kehidupan masyarakat dalam pertunjukan dramatari topeng di Bali. Pemainnya dilalukan oleh pemeran yang mampu mengekspresikan berbagai karakter melalui ungkapan tata rias-busana, gerak, tembang, humor, vokal-dialog sesama Bondres maupun berkomunikasi langsung dengan penonton. Ungkapan para pemeran melalui tindakan kocak dan menghibur itu, mampu menjadi media pendidikan etis dan estetis bagi masyarakat pentontonnya. Pendidikan etis berhubungan dengan etika, diungkap melalui penilaian sifat kebenaran atau kebaikan dari tindakan sosial berdasarkan tradisi budaya yang bersumber dari ajaran agama Hindu. Pendidikan estetis, mengenai penilaian terhadap keindahan, kenikmatan melalui ekspresi karya seni. Percakapan-percakapan etis dan estetis itu selalu digaungkan di setiap sajian Trio Bondres Clekontong Mas, sehingga masyarakat penonton mendapat tontonan segar yang menghibur dan mengedukasi. Dalam nilai hiburan itu dibingkai dan dibumbui lawakan yang memuat nilai-nilai moral sebagai tuntunan instrospektif dalam tatanan hidup, kehidupan dan berpenghidupan di masyarakat. Kata Kunci: Clekontong Mas, Pendidikan etis, Estetis, di masyarakat
Kuratorial Solo International Performing Arts (SIPA) 2021 sebagai Bentuk Inovasi dan Konsistensi Festival Berskala International I Wayan Dana; Rika Amalia Putri
Dance and Theatre Review: Jurnal Tari, Teater, dan Wayang Vol 5, No 2: November 2022
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/dtr.v5i2.9538

Abstract

Solo International Performing Arts (SIPA) 2021 Curatorial as a Form of Innovation and Consistency on an International Scale Festival This research focuses on the curatorial process in Performing Arts practice by taking a case study at the largest annual Performing Arts event in the city of Solo, SIPA (Solo International Performing Arts) in 2021. SIPA Festival has a curatorial concept that is detailed and mature and relevant to the circumstances of the times. Curatorial at the SIPA Festival focuses on the selection of event themes, mascots, and the selection of performers. The research method used is a qualitative method, which will focus on observation, documentation, and structured interviews. The main source of data is from the description of the source, and the memory of the source. The results of this study are about the explanation of the curatorial process in the series of SIPA 2021 events,- and the identification of the concept of curatorial thinking. Each SIPA 2021 performer has their own reasons why they were chosen to perform on the magnificent stage of SIPA 2021, this reason is in the description of the curators. The standards applied by SIPA Festival for its performers are absolute requirements that must be met by performers in order to be able to display their works on the SIPA 2021 stage.Keywords: Solo International Performing Arts, Festival, Performance Art, Curatorship, Curator