Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

BARONG KET SATU BENTUK PENOMENA TRANSFORMASI BUDAYA  DARI SAKRAL KE PROFAN DI BALI (Barong Jet a Fenomena Culture Trnasformation Form Sakral to Profan in Bali) Arsana, I Nyoman Cau
Harmonia: Journal of Arts Research and Education Vol 4, No 1 (2003)
Publisher : Department of Drama, Dance, and Musik (Sendratasik), Semarang State University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/harmonia.v4i1.706

Abstract

Bagi masyarakat Bali, Barong dianggap sebagai binatang mitologi yang mempunyai kekuatan gaib dan dianggap sebagai binatang pelindung masyarakat Bali dan mara bahaya. Dengan kekuatan ini, barong didudukkan sebagai benda sakral. Kesakralannya di samping dilegitirnosioleh   adanya mitos-mitos yang ada dalam masyarakat, juga   proses pembuotan hingga terbentuknya barong yang tidak terlepas dari hal-hal sakral. Barong diekpresikan dalam bentuk tari bebali yang amat angker. Dengan semakin terbukanya masyarakat Ball dalam menerima pengaruhbudaya dari luar, menyebabkan terjadinya perubahan polo pikir masyarakat, khususnya bagi   sang   seniman. Borong yang tadinya dianggap sebagai benda   sakral, sekarang dijadikan sebagai sumber ide dan   sarana pengungkapan emosional estetis. Barong tidak hanya dipentaskan dalam rangkaian upacara ritual sakral, namun juga di luar konteks ritual, seperti untuk kepentingan pariwisata, dengan cara membuat tiruan dari barong asli. Sudah barang tentu konsep pertunjukan yang menyangkut estetika, waktu, pemain, dan lain sebagainyo disesuaikan dengan kepentingan wisata.Kata Kunci: Barong, Transformasi, Sakral, Profan.
BARONG KET SATU BENTUK PENOMENA TRANSFORMASI BUDAYA  DARI SAKRAL KE PROFAN DI BALI (Barong Jet a Fenomena Culture Trnasformation Form Sakral to Profan in Bali) Arsana, I Nyoman Cau
Harmonia: Journal of Arts Research and Education Vol 4, No 1 (2003)
Publisher : Department of Drama, Dance and Music, FBS, Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/harmonia.v4i1.706

Abstract

Bagi masyarakat Bali, Barong dianggap sebagai binatang mitologi yang mempunyai kekuatan gaib dan dianggap sebagai binatang pelindung masyarakat Bali dan mara bahaya. Dengan kekuatan ini, barong didudukkan sebagai benda sakral. Kesakralannya di samping dilegitirnosioleh   adanya mitos-mitos yang ada dalam masyarakat, juga   proses pembuotan hingga terbentuknya barong yang tidak terlepas dari hal-hal sakral. Barong diekpresikan dalam bentuk tari bebali yang amat angker. Dengan semakin terbukanya masyarakat Ball dalam menerima pengaruhbudaya dari luar, menyebabkan terjadinya perubahan polo pikir masyarakat, khususnya bagi   sang   seniman. Borong yang tadinya dianggap sebagai benda   sakral, sekarang dijadikan sebagai sumber ide dan   sarana pengungkapan emosional estetis. Barong tidak hanya dipentaskan dalam rangkaian upacara ritual sakral, namun juga di luar konteks ritual, seperti untuk kepentingan pariwisata, dengan cara membuat tiruan dari barong asli. Sudah barang tentu konsep pertunjukan yang menyangkut estetika, waktu, pemain, dan lain sebagainyo disesuaikan dengan kepentingan wisata.Kata Kunci: Barong, Transformasi, Sakral, Profan.
TETABUHAN DALAM UPACARA NGABEN SEBUAH TINJAUAN MUSIKOLOGIS I Nyoman Cau Arsana
SELONDING Vol.2, No.2, September 2012
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/selonding.v2i2.336

Abstract

The study aims to explore the musical aspects of percussions in the process of Ngaben ritual with musicological approach. There are three types of percussion to be analyzed; Balaganjur Peponggangan, Gender Wayang, and Angklung. The analysis indicates that the processing of musical elements that include melody, rhythm, harmony, tempo, and dynamics established in the three types of percussions are quite harmonious with the ritual procession. This indicates a close relationship between the percussion and the ritual that reflects the concept of the Balinese Hindus on their culture and religion.   Keywords: Tetabuhan, Ngaben, Musical Aspect
BARONG JANGGOL "PUSPA KENCANA" DI DUSUN JURUG BANGUNHARJO SEWON BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA I Nyoman Cau Arsana
Imaji Vol 3, No 1 (2005): IMAJI FEBRUARI
Publisher : FBS UNY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (12713.514 KB) | DOI: 10.21831/imaji.v3i1.6920

Abstract

Legong Dan Kebyar Strategi Kreatif Penciptaan Tari Ni Nyoman Sudewi; I Wayan Dana; I Nyoman Cau Arsana
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 34 No 3 (2019): September
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31091/mudra.v34i3.784

Abstract

Artikel ini bertujuan untuk memaparkan sebuah strategi penciptaan tari yang menempatkan dua genre tari Bali yaitu Legong dan Kebyar sebagai sumber inspirasi. Legong, sering disebut Legong Keraton, adalah genre tari yang muncul sekitar abad XIX. Genre tari ini mengusung konsep estetika bentuk dan struktur yang secara keseluruhan disebut seni palegongan. Sementara Kebyar yang muncul pada awal abad XX, menunjuk pada pembaruan garap tabuh atau karawitan Bali yang membawa suasana baru dalam kehidupan seni pertunjukan Bali dalam konteks kreativitas seni demi kenikmatan estetis maupun untuk mendukung berbagai kepentingan sosial keagamaan. Dilihat dari struktur dan ragam geraknya, struktur dan ragam gerak Kebyar menunjukkan adanya kemiripan dengan Legong. Kedua genre tari tersebut dalam perkembangannya masing-masing menemukan kekhususannya, dan berpeluang untuk dipertemukan, serta dijadikan sumber inspirasi penciptaan tari. Dalam memanfaatkan keduanya sebagai sumber garap tari, tentu memerlukan suatu metode dalam pengertian tahapan proses kreatif tertentu. Metode yang dicoba untuk diterapkan adalah memadukan tiga metode penciptaan yaitu: pertama, konsep angripta sasolahan meliputi ngarencana, nuasen, makalin, nelesin, dan ngebah; kedua, menerapkan teori 3 N yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara meliputi nitheni, niroke, dan nambahi; serta ketiga, menerapkan metode dan tahapan proses eksplorasi, improvisasi, dan komposisi serta evaluasi. Penerapan ketiganya secara simultan dalam tahapan proses penciptaan tari diyakini akan dapat mengarahkan setiap langkah kreatif untuk mencapai sasarannya. Di sisi lain, pemanfaatan tari tradisonal sebagai sumber penciptaan tari, akan berdampak pada revitalisasi, penguatan dan pengembangan nilai-nilai budaya lokal (Bali) yang biasanya menjadi acuan dalam berkesenian sekaligus hidup bermasyarakat.
Kosmologis Tetabuhan dalam Upacara Ngaben Arsana, I Nyoman Cau; Lono L. Simatupang, G. R.; Soedarsono, R. M.; Dibia, I Wayan
Resital: Jurnal Seni Pertunjukan Vol 15, No 2 (2014): Desember 2014
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/resital.v15i2.846

Abstract

Penelitian ini difokuskan pada dua hal, yaitu: (1) mendeskripsikan hubungan musik dan ritual melalui penggunaan tetabuhan dalam upacara ngaben dan (2) menemukan aspek-aspek kosmologis tetabuhan dalam upacara ngaben. Penelitian ini menggunakan perspektif etnomusikologis dipadukan dengan konsep agama dan filsafat bunyi yang tertuang dalam lontar Prakempa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang sangat erat antara tetabuhan dan upacara ngaben yang teraplikasi lewat penggunaan tetabuhan dalam prosesi upacara ngaben. Penggunaan tetabuhan dalam upacara ngaben berkaitan erat dengan aspek-aspek kosmologis. Suara yang dijadikan dasar dari nada-nada gamelan Bali adalah suara (bunyi) yang keluar dari alam. Suara tersebut digabungkan menjadi sepuluh suara yaitu panca suara patut pelog dan panca suara patut slendro yang menyebar ke seluruh penjuru alam. Tetabuhan dalam upacara ngaben, melalui jalinan nada-nada merupakan manifestasi dari pemujaan kepada ista dewata sebagai cermin konsep keseimbangan mikrokosmos, makrokosmos, dan metakosmos. Penelitian ini difokuskan pada dua hal, yaitu: (1) mendeskripsikan hubungan musik dan ritual melalui penggunaan tetabuhan dalam upacara ngaben dan (2) menemukan aspek-aspek kosmologis tetabuhan dalam upacara ngaben. Penelitian ini menggunakan perspektif etnomusikologis dipadukan dengan konsep agama dan filsafat bunyi yang tertuang dalam lontar Prakempa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang sangat erat antara tetabuhan dan upacara ngaben yang teraplikasi lewat penggunaan tetabuhan dalam prosesi upacara ngaben. Penggunaan tetabuhan dalam upacara ngaben berkaitan erat dengan aspek-aspek kosmologis. Suara yang dijadikan dasar dari nada-nada gamelan Bali adalah suara (bunyi) yang keluar dari alam. Suara tersebut digabungkan menjadi sepuluh suara yaitu panca suara patut pelog dan panca suara patut slendro yang menyebar ke seluruh penjuru alam. Tetabuhan dalam upacara ngaben, melalui jalinan nada-nada merupakan manifestasi dari pemujaan kepada ista dewata sebagai cermin konsep keseimbangan mikrokosmos, makrokosmos, dan metakosmos.
GITA SEWANA: Strategi Penciptaan Musik pada Masa Pandemi Arsana, I Nyoman Cau
Resital: Jurnal Seni Pertunjukan Vol 23, No 2 (2022): Agustus 2022
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/resital.v23i2.7097

Abstract

ABSTRACT On December 2, 2020, the Department of Ethnomusicology, Faculty of Performing Arts, ISI Yogyakarta, showcased faculty works entitled "Knitting the Tones of Nusantara" (Merajut Nada Nusantara). The event was broadcasted online via YouTube. The students presented five works during the proceedings, one of which was Gita Sewana. This paper aims to elaborate on Gita Sewana as a case study related to the process of artistic creativity during the pandemic. Two subjects are explored in this research: the methods used for Gita Sewana and their application to creative work in general. The research data is taken from the author's experience during the process of Gita Sewana's creation and the video documentation of the event. The results of this study are presented through analytical and descriptive methodologies. These results demonstrate that the method used in the composition of Gita Sewana is based on the Panca Sthiti Ngawi Sani concept. The concept was applied to create Gita Sewana and adapted to the COVID-19 pandemic, referring to planning and performance activities. This work provides a model for music creation strategy during the pandemic.ABSTRAK Jurusan Etnomusikologi Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta pada penghujung tahun 2020, tepatnya tanggal 2 Desember, melangsungkan gelar karya dosen bertajuk “Merajut Nada Nusantara”. Kegiatan tersebut disiarkan secara daring melalui platform youtube. Ada lima karya yang ditampilkan dalam acara tersebut, salah satunya adalah Gita Sewana. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkap karya Gita Sewana sebagai studi kasus berkaitan proses kreativitas seni pada masa pandemi. Ada dua hal yang digali dalam penelitian yaitu metode yang digunakan dalam penciptaan Gita Sewana dan aplikasinya dalam proses penciptaan karya. Data penelitian bersumber dari pengalaman pada saat proses karya Gita Sewana dan dokumentasi pertunjukan. Hasil penelitian disajikan dengan metode deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode yang digunakan dalam proses karya Gita Sewana adalah metode Panca Sthiti Ngawi Sani. Tahap perencanaan sampai pada tahap pertunjukan dalam metode tersebut, diaplikasikan dalam proses penciptaan karya Gita Sewana dengan beradaptasi pada situasi pandemi Covid-19, sebagai strategi penciptaan musik pada masa pandemi.
Genikng Niti dalam Upacara Adat Kematian Suku Dayak Tunjung Rentenukng Desa Linggang Muara Batuq Kabupaten Kutai Barat Alya, Farah; Arsana, I Nyoman Cau; Laksono, Joko Tri
SELONDING Vol 20, No 1 (2024): : Maret 2024
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/sl.v20i1.7677

Abstract

Genikng menurut masyarakat suku Dayak Tunjung Rentenukng berarti Instrumen Gong dan Niti berarti sebutan bunyi dari pada Genikng ketika terdapat adanya kabar duka. Genikng Niti merupakan tindakan yang wajib dalam upacara adat kematian suku Dayak Tunjung Rentenukng. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui bentuk penyajian Genikng Niti dalam upacara adat kematian serta mengetahui wujud komunikasi Genikng Niti dalam upacara adat kematian. Untuk menganalisis objek material tersebut, menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan Etnomusikologis. Genikng Niti dalam upacara adat kematian suku Dayak Tunjung Rentenukng, memiliki ciri-ciri yang dapat dilihat dari aspek tekstual dalam penyajiannya yaitu, pelaku, instrumen, pola Genikng, tempat, dan waktu. Wujud komunikasi pada Genikng  dapat dilihat dari komunikasi vertikal dan horizontal. Komunikasi horizontal yaitu, komunikasi Genikng Niti sebagai aktivitas simbolis, komunikasi Genikng Niti sebagai proses upacara adat kematian, komunikaasi Genikng Niti sebagai makna.Kata kunci: Genikng Niti, Upacara adat kematian, Suku Dayak Tunjung Rentenukng, Komunikasi.
Makna Hadrah dalam Prosesi Baharak pada Masyarakat Negeri Olok Gading Lampung Hidayatulloh, Nofriyan; Arsana, I Nyoman Cau; Haryono, Timbul
Resital: Jurnal Seni Pertunjukan Vol 25, No 2 (2024): Agustus 2024
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/resital.v25i2.11904

Abstract

 Hadrah adalah musik yang mengiringi prosesi baharak (prosesi arak-arakan pengantin pada upacara pernikahan). Hadrah sebagai tanda yang berisi pengetahuan dan nilai, terus melahirkan interpretasi dalam mengonstruksi makna. Dengan kata lain, hadrah (sebagai material) bisa dibaca sebagai sebuah peristiwa bahasa atau gejala kebahasaan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan etnografi sebagai metode pengumpulan data. Analisis tanda menggunakan teori semiotika dari Charles S. Peirce. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hadrah bagi masyarakat adat Lampung adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari pandangan masyarakat terhadap dunia natural (aspek sosial) dan supernatural (aspek religius). Hadrah dalam aspek sosial yakni mengatur bagaimana berperilaku berdasarkan norma adat dan norma dalam Islam, sedangkan dalam aspek religius, hadrah adalah upaya manusia dalam mendekatkan diri kepada Allah melalui dzikir. Dengan kata lain, hadrah berisi pandangan hidup masyarakat dalam membentuk perilaku. Hadrah sebagai musik yang mengiringi prosesi baharak dalam gawi adat, memiliki makna bagi masyarakat Negeri Olok Gading sebagai sebuah simbolisasi dari perjalanan hidup manusia. Bahwa perjalanan hidup seorang Lampung harus diikuti oleh perubahan kualitas hidup (terkait pemenuhan kebutuhan lahir dan batin manusia). Hal ini menunjukkan bahwa hadrah sebagai kebudayaan masyarakat Negeri Olok Gading adalah materialisasi dari nilai dan pengetahuan yang mengandung dimensi religius sekaligus dimensi sosial.Kata kunci: Hadrah, religius, sosial, dan maknaHadrah is the music that accompanies the baharak procession (bridal procession at a wedding ceremony). Hadrah as a sign that contains knowledge and values, continues to give birth to interpretations in constructing meaning. In other words, hadrah (as material) can be read as a language event or linguistic symptom. This research uses a qualitative research method with ethnography as the data collection method. Sign analysis uses Charles S. Peirce's pragmatic semiotics theory. The results showed that hadrah for Lampung indigenous people is something that cannot be separated from the community's view of the natural world (social aspect) and supernatural (religious aspect). Hadrah in the social aspect is regulating how to behave based on customary norms and norms in Islam, while in the religious aspect, hadrah is a human effort to get closer to Allah through dhikr. In other words, hadrah contains the community's worldview in shaping behaviour. Hadrah, as the music that accompanies the baharak procession in the traditional gawi, has a meaning for the people of Negeri Olok Gading as a symbolisation of the journey of human life. The life journey of a Lampungese must be followed by changes in the quality of life (related to the fulfilment of human physical and spiritual needs). This shows that hadrah as a culture of the people of Negeri Olok Gading is a materialisation of values and knowledge that contains both religious and social dimensions.Keywords: Hadrah, religious, social, and meaning.Hadrahadalah musik yang mengiringi prosesibaharak(prosesi arak-arakanpengantinpadaupacarapernikahan).Hadrahsebagaitandayangberisipengetahuandannilai,terusmelahirkaninterpretasidalammengonstruksimakna.Dengankatalain,hadrah(sebagaimaterial)bisadibacasebagaisebuahperistiwabahasaataugejala kebahasaan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif denganetnografisebagaimetodepengumpulandata.AnalisistandamenggunakanteorisemiotikadariCharlesS.Peirce.HasilpenelitianmenunjukkanbahwahadrahbagimasyarakatadatLampungadalahsesuatuyangtidakdapatdipisahkandaripandanganmasyarakatterhadapdunianatural(aspeksosial)dansupernatural(aspekreligius).HadrahdalamaspeksosialyaknimengaturbagaimanaberperilakuberdasarkannormaadatdannormadalamIslam,sedangkandalamaspekreligius,hadrahadalahupayamanusiadalammendekatkandirikepadaAllahmelaluidzikir.Dengankatalain,hadrahberisipandangan
HIP HOP MUSIC OF SIANTAR RAP FOUNDATION AT PEMATANGSIANTAR, NORTH SUMATERA Sinaga, Dea; Amir Razak; I Nyoman Cau Arsana
Sorai: Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Musik Vol. 18 No. 1 (2025): July
Publisher : Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33153/sorai.v18i1.7223

Abstract

This research examines how Siantar Rap Foundation (SRF) integrates traditional Batak musical elements into the modern hip hop genre through creative musical practices. SRF does not merely adopt hip hop as a global trend, but also fuses it with Batak identity and values through the selection of instruments, musical arrangement, the use of Batak-language lyrics, and the strengthening of visual identity in every performance. Using a qualitative method and an ethnomusicological approach, this research explores the mechanisms of cultural integration in SRF’s works and their impact on the cultural identity of Batak youth. The findings reveal that SRF has successfully created a phenomenon of musical hybridity that is relevant to contemporary developments and capable of reaching national and even global audiences. Through strategies such as consistent music production, live performances in various cities, digital media utilization, and the reinforcement of Batak visual culture, SRF demonstrates that hip hop music can serve as a dialogic space between local and global cultures. This study is expected to enrich the discourse on music, culture, and identity, as well as inspire other musicians to explore local culture through global music genres.