Abstrak Pada dasarnya pembuktian tindak pidana pemerkosaan harus memenuhi unsur barangsiapa dan unsur dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia sebagaimana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP. Permasalahan yang dihadapi adalah bagaimana Implementasi pengaturan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana pembunuhan disertai persetubuhan dengan orang meninggal? dan bagaimana upaya hukum atas tindak pidana pembunhan disertai persetubuhan pada orang meninggal bagi keluarga korban? Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif. Bahan-bahan yang dikaji adalah bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan hukum terhadap pembunuhan disertai persetubuhan pada orang yang sudah meninggal tidak dituntut dalam dakwaan jaksa penuntut umum disebabkan pelaku perkosaan mayat sulit dijerat dengan pasal-pasal yang ada dalam KUHP dan tidak adanya pasal yang secara tegas mengatur mengenai persetubuhan/perkosaan terhadap mayat, sehingga hal tersebut menimbulkan kekosongan hukum. Hukum Indonesia belum mengatur secara jelas delik persetubuhan/ pemerkosaan terhadap mayat. Jadi, persetubuhan terhadap mayat bukanlah suatu tindak pidana pemerkosaan. Hal yang menjadi masalah besar adalah pelaku pemerkosaan atau yang menyebutuhi mayat lolos dari jerat hukum karena di KUHP tidak ada pasal yang mengatur hukuman untuk pelaku pemerkosa dan yang menyetubuhi mayat. Meskipun perbuatan menyetubuhi mayat bukan tindak pidana pemerkosaan sebagaimana diatur dalam Pasal 285 KUHP. Upaya hukum atas tindak pidana pembunuhan disertai persetubuhan pada orang meninggal sehingga dapat menimbulkan rasa keadilan bagi keluarga korban, tentunya pelaku dihukum dengan hukuman yang seberat-beratnya dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kata Kunci: Sanksi Pidana, Tindak Pidana Pembunuhan, Persetubuhan, Orang Meninggal.