AbstrakPenelitian ini menganalisis implementasi kewenangan amnesti dan abolisi Presiden dalam kasus Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong menggunakan pendekatan normatif-yuridis. Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang divonis 3,5 tahun penjara dalam kasus suap dan abolisi kepada eks Mendag Tom Lembong yang divonis 4,5 tahun penjara dalam kasus korupsi impor gula. Kewenangan ini didasarkan pada Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 dan UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 yang memberikan prerogatif kepada presiden untuk mengampuni dengan pertimbangan DPR dan nasihat Mahkamah Agung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun secara prosedural telah memenuhi persyaratan formal, implementasi amnesti dan abolisi ini menimbulkan persoalan mengenai batasan konstitusional dan implikasi politik hukum. Konsep "kepentingan negara" sebagai dasar pemberian amnesti memerlukan interpretasi yang lebih objektif untuk menghindari subjektivitas politik. Implikasi yang ditimbulkan meliputi potensi pelemahan independensi peradilan, erosion supremasi hukum, dan penurunan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan pidana Indonesia. Penelitian merekomendasikan perlunya kriteria objektif kepentingan negara, penguatan mekanisme checks and balances, pembatasan jenis tindak pidana yang dapat diampuni, dan peningkatan transparansi untuk memastikan implementasi yang berkeadilan dan sejalan dengan prinsip negara hukum demokratis.Kata kunci : Amnesti Dan Abolisi, Kewenangan Konstitusional, Politik Hukum AbstractThis research analyzes the implementation of presidential amnesty and abolition powers in the cases of Hasto Kristiyanto and Tom Lembong using a normative-juridical approach. President Prabowo Subianto granted amnesty to PDIP Secretary-General Hasto Kristiyanto, who was sentenced to 3.5 years imprisonment for bribery, and abolition to former Trade Minister Tom Lembong, who was sentenced to 4.5 years imprisonment for sugar import corruption. This authority is based on Article 14 paragraph (2) of the 1945 Constitution and Emergency Law No. 11 of 1954, which grants presidential prerogative to pardon with DPR considerations and Supreme Court advice. Research findings indicate that while procedurally meeting formal requirements, the implementation of amnesty and abolition raises concerns regarding constitutional limitations and legal-political implications. The concept of "state interest" as the basis for granting amnesty requires more objective interpretation to avoid political subjectivity. The implications include potential weakening of judicial independence, erosion of rule of law supremacy, and decreased public trust in Indonesia's criminal justice system. The research recommends the need for objective state interest criteria, strengthening checks and balances mechanisms, limiting types of crimes eligible for pardon, and increasing transparency to ensure just implementation aligned with democratic rule of law principles.Key words: Amnesty And Abolition, Constitutional Authority, Legal Politics