Penelitian tentang lemahnya kebijakan kuota keterwakilan politik perempuan memang sudah banyak dibahas oleh banyak akademisi atau pemerhati politik. Namun studi tentang keterwakilan perempuan dengan melihat lokasi sosial dalam kultur tertentu belum pernah diteliti. Salah satunya adalah studi pemaknaan politik perempuan di Adat Minangkabau. Studi ini mencoba untuk mengeksplorasi alasan kaum perempuan untuk terjun dan terlibat dalam dunia politik ketika mereka hidup dan berada di tengah-tengah budaya matrilineal dan abstraknya kebijakan tentang kebijakan afirmatif action yang diatur di PKPU no 31 tahun 2018 tentang perubahan atas PKPU no 20 Tahun 2018 tentang pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Penelitian ini menjelaskan data empiris yang ditemukan dilapangan sehingga mendapatkan gambaran mengenai fenomena politik hukum dalam kebijakan afirmative action yang diteliti dengan menggunakan teknik wawancara mendalam (indepth interview). Temuan data dianalisis menggunakan Teori Feminisme Post Strukturalis dari Sandra Harding. Hasil studi menunjukkan bahwa ada 3 alasan pemaknaan politik bagi perempuan di Minangkabau dalam keikusertaannya dalam kontestasi perpolitikan di level daerah dan nasional. Pertama, bahwa para politisi perempuan memaknai politik sangat identik dengan kekuasaan, dimana sebagai seorang perempuan harus berani untuk meraih sebuah kekuasaan, karena kekuasaan ditangan perempuan itu justru lebih bagus dari pada kekuasaan ditangan laki-laki. Kedua, pemaknaan dan pemahaman mereka terhadap politik lebih besar dipengaruhi oleh pengalamannya dalam organisasi sosial/politik, profesi atau pengalaman kerja. Ketiga, adanya kontribusi budaya matrilineal bagi politisi perempuanya. Kata Kunci: Affirmative Action, Perempuan, Kontestasi.